Senin, 17 Maret 2025
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Kritik Revisi RUU TNI, Polri, dan Kejaksaan: Pengawasan Publik Diabaikan, Kewenangan Dilebarkan

Kritik Revisi RUU TNI, Polri, dan Kejaksaan: Pengawasan Publik Diabaikan, Kewenangan Dilebarkan

Senin, 17 Maret 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Ilustrasi Revisi RUU TNI Polri. Foto: Instagram pengamatnegeri.id. 


DIALEKSIS.COM | Dialektika - Revisi Undang-Undang (RUU) TNI, Polri, dan Kejaksaan yang tengah bergulir di DPR menuai kritik tajam dari kalangan akademisi, peneliti, hingga organisasi masyarakat.

Al Araf, Peneliti Senior Imparsial dan Ketua Centra Initiative, menilai pembahasan ketiga RUU ini tidak urgent dan berpotensi mengembalikan praktik otoritarianisme Orde Baru.

“Penguatan pengawasan publik lebih penting ketimbang perluasan kewenangan dalam RUU Polri dan Kejaksaan,” tegas Araf dalam diskusi daring bertajuk 'Memperluas Kewenangan Vs Memperkuat Pengawasan' yang disiarkan kanal YouTube FHUB Official, Minggu (16/3/2025).

Araf menegaskan, ketiga RUU ini harus dievaluasi ulang. “Tidak perlu dibahas DPR saat ini,” tambahnya. Kritik serupa disampaikan Dosen Hukum Universitas Trisakti, Bhatara Ibnu Reza, yang menyayangkan absennya gerakan oposisi di parlemen. “DPR tidak terlihat ada perlawanan politik terhadap RUU ini,” ujarnya dalam forum terpisah.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turut angkat bicara. Lembaga ini menilai revisi UU TNI-Polri berpotensi melegitimasi kembalinya dwifungsi ABRI seperti era Orde Baru, yang dinilai mengancam kondisi HAM Indonesia.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin P Siagian, mengungkapkan lembaganya telah melakukan kajian cepat terhadap RUU Polri dan TNI.

“Kami mengusulkan revisi delapan pasal dalam RUU Kepolisian dan lima pasal dalam RUU TNI. Beberapa pasal perlu diperbaiki atau dihapus karena bertentangan dengan semangat pemajuan HAM,” tegas Saurlin dalam keterangan resmi, Minggu (16/3), seperti dikutip Republika.

Meski mendukung peningkatan kesejahteraan anggota Polri dan TNI, Komnas HAM menolak perluasan kewenangan tanpa evaluasi mendalam.

“Perluasan kewenangan harus dikaji ulang berdasarkan evaluasi pelaksanaan UU yang berlaku saat ini. Pemerintah dan DPR perlu punya dasar kuat sebelum mengesahkan RUU ini,” tambah Saurlin.

Poin utama kritik tertuju pada RUU TNI. Pasal 47 draf revisi dinilai membuka ruang militer aktif menduduki jabatan sipil, seperti di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Mahkamah Agung (MA).

“Ini keliru. Di masa Orde Baru, ini disebut dwifungsi ABRI,” kata Araf. Menurutnya, tugas TNI seharusnya fokus pada pertahanan, bukan non-militer seperti pemberantasan narkotika atau separatisme.

Bhatara Ibnu Reza menguatkan argumen ini. “TNI bukan aparat penegak hukum. Tugas memberantas narkotika harusnya di bawah kepolisian,” tegasnya.

Sementara Savic Ali, Ketua PBNU, menilai masuknya TNI ke lembaga hukum seperti Kejagung dan MA “tidak masuk akal” karena kompetensi militer tidak sejalan dengan kebutuhan hukum. “Ini kemunduran dari semangat reformasi 1998,” ujarnya.

Tambahan 16 kementerian/lembaga yang bisa diisi prajurit aktif termasuk BNPB, BNPT, dan Kejagung juga dikritik Yenny Wahid. “TNI harus fokus pada pertahanan. Jika masuk jabatan sipil, mereka harus melepas seragam,” tegas Direktur Wahid Foundation itu.

Di RUU Polri, Pasal 14 Ayat 1 yang memuat frasa “keamanan nasional” dianggap problematis. Araf menilai diksi ini tidak ada dalam UU Polri sebelumnya (UU No. 2/2002). “Ini ambigu dan berpotensi melebarkan kewenangan Polri ke ranah yang tidak jelas,” ujarnya.

Bhatara menambahkan, RUU ini mengadopsi konsep human security yang berisiko mengaburkan batas antara keamanan negara dan keamanan warga. “Polri bisa terjebak pada kepentingan politik jika tidak ada pengawasan ketat,” katanya.

Komnas HAM juga menyoroti draf RUU Polri yang memuat klausul penggalangan intelijen, pengawasan siber, dan penyadapan. “Pasal-pasal ini berpotensi mengancam ruang gerak masyarakat sipil,” tegas Saurlin. Menurutnya, perlu batasan jelas agar kewenangan intelijen tak melanggar privasi warga.

RUU Kejaksaan mendapat sorotan karena memperkuat fungsi intelijen. Araf menilai pemberian kewenangan penyelidikan tanpa alat bukti berpotensi melanggar hak warga. “Memanggil seseorang harus berdasarkan dua alat bukti. Tanpa itu, warga berhak menolak,” tegasnya.

Bhatara mengkritik ekspansi tugas intelijen Kejaksaan yang kini masuk ke ranah penyelidikan. “Sejak UU Kejaksaan 2021, Kasi Intel sudah bisa memanggil orang dengan dalih ‘dugaan tindak pidana’. Ini berbahaya,” ujarnya.

Dosen Hukum Universitas Brawijaya, M. Ali Safa’at, mempertanyakan urgensi ketiga RUU. “Apa masalah yang ingin diselesaikan? Harus ada identifikasi jelas,” katanya. Ia mencontohkan keraguan TNI dalam tugas non-militer yang justru diperkuat revisi.

Savic Ali juga menyayangkan pembahasan RUU TNI yang dilakukan tertutup di Fairmont Hotel, Jakarta (15/3). “Prosesnya tidak transparan,” sesalnya.

Sudut Pandang Pembenaran

Guru Besar Universitas Pertahanan, Kolonel Sus Halkis, mengajukan uji materi UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menilai Pasal 39 Ayat 3 yang melarang prajurit berbisnis bertentangan dengan hak konstitusional.

“Di AS dan Jerman, prajurit boleh berusaha dengan pengawasan. Di Indonesia dilarang, tapi kesejahteraan tidak dijamin,” protesnya.

Ia juga mempersoalkan Pasal 47 Ayat 2 yang membatasi jabatan sipil prajurit aktif hanya di tujuh lembaga. “Ini bertentangan dengan hak warga negara atas kesempatan sama di pemerintahan,” tegas Halkis.

Klarifikasi penjelasan disampaikan di respon Kapuspen TNI dalam keterangan tertulis (16/3) menegaskan revisi UU TNI bertujuan menyempurnakan tugas pokok TNI agar lebih adaptif terhadap ancaman militer dan non-militer.

“Penempatan prajurit di lembaga sipil akan diatur ketat tanpa ganggu netralitas TNI,” tegasnya.

Panglima TNI dalam rapat dengan Komisi I DPR (13/3) menekankan komitmen pada supremasi sipil. “TNI tetap berada di koridor demokrasi,” ujarnya.

Perdebatan tiga RUU ini menyisakan pertanyaan besar: apakah perluasan kewenangan institusi militer dan penegak hukum akan diimbangi mekanisme pengawasan yang transparan? Jika tidak, rezim otoritarianisme mungkin bukan sekadar kenangan masa lalu, tapi bayangan masa depan.


Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    ultah dialektis
    bank Aceh
    dpra
    bank Aceh pelantikan
    pers