Modernisasi, Ibuisme, dan Perempuan Aceh: Perspektif Baiquni Hasbi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Baiquni Hasbi, M.A., Ph.D., dosen IAIN Lhokseumawe,
DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Pemikiran Baiquni Hasbi, M.A., Ph.D., dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe, menawarkan pandangan kritis terhadap dampak modernisasi yang sering dianggap sebagai langkah maju bagi masyarakat Indonesia. Mengambil inspirasi dari karya Prof. Eka Srimulyani, Islam, Adat, and the State: Matrifocality in Aceh Revisited, Baiquni menyoroti sisi gelap modernisasi yang jarang dibahas, khususnya dampaknya terhadap perempuan dalam konteks budaya Aceh.
Menurut Baiquni, proyek modernisasi yang digalakkan oleh pemerintah pusat, terutama di era Suharto yang dikenal sebagai Bapak “Pembangun” Indonesia, tidak hanya memperluas akses pendidikan tetapi juga membawa konsekuensi lain yang lebih kompleks. Modernisasi ini, katanya, memiliki pengaruh besar terhadap domestikasi perempuan di perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.
“Modernisasi sering kali dilihat melalui lensa kemajuan, tetapi juga bisa dipahami melalui konsep ‘ibuisme’,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Rabu (15/01/2025).
Ibuisme: Perempuan dalam Bayang-bayang Nyai
Ibuisme yang berkembang di era Suharto, jelas Baiquni, cenderung mengarahkan perempuan untuk menjadi “ibu yang baik” dan “warga negara yang patuh.” Model ini terinspirasi oleh gambaran ideal perempuan Jawa, yaitu “Nyai.” Namun, menurut Baiquni, model ini tidak mencerminkan keberagaman budaya dan peran perempuan di Aceh.
Dalam kerangka ibuisme, perempuan lebih banyak diharapkan untuk mendukung suami mereka dalam pekerjaan, sementara kontribusi mereka dalam ekonomi dan politik sering kali diabaikan. “Kebijakan ibuisme Suharto secara tidak langsung menggantikan nilai-nilai matrifokal di Aceh,” kata Baiquni.
Ia melanjutkan, nilai-nilai matrifokal yang awalnya menempatkan perempuan sebagai sosok dominan dalam keluarga, kini tergerus oleh pandangan yang mengutamakan peran perempuan sebagai pendukung.
Dampak pada Peran Perempuan Aceh
Menurutnya tradisi agraris Aceh pada dasarnya menempatkan perempuan sebagai mitra setara dalam pengelolaan lahan dan kehidupan ekonomi keluarga. Namun, dengan berkembangnya modernisasi dan tenaga kerja profesional yang didominasi laki-laki, peran aktif perempuan mulai tergeser.
Baiquni menjelaskan bahwa istilah “po rumoh,” yang awalnya bermakna “pemilik rumah,” kini lebih sering diartikan sebagai “ibu rumah tangga,” sebuah refleksi dari pergeseran peran perempuan dalam masyarakat modern.
Program-program seperti Kesejahteraan Keluarga dan Dharma Wanita, yang digagas di era Orde Baru, memposisikan perempuan sebagai pendukung, bukan sebagai pemimpin. “Padahal, perempuan Aceh dahulu dikenal mandiri dan produktif secara ekonomi,” tegas Baiquni.
Modernisasi dan Struktur Patriarki
Baiquni menilai, meskipun modernisasi diharapkan membawa kemajuan, proses ini justru sering memperkuat struktur patriarki yang ada.
“Modernisasi yang tidak sensitif terhadap budaya lokal dapat mengabaikan potensi perempuan dalam pembangunan masyarakat,”ungkapnya.
Pemikiran kritis dari buku Eka Srimulyani, menurut Baiquni,”mengingatkan kita bahwa pembangunan tidak hanya soal pencapaian fisik dan ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana nilai-nilai budaya lokal, termasuk posisi perempuan, dipertahankan dan diberdayakan,”pungkasnya.