Peneliti LIPI: Ada Kesamaan Piagam Madinah dan Pancasila
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Ahmad Najib Burhani, MA menyebutkan banyak kesamaan dan keselarasan antara Piagam Madinah pada Pemerintahan Islam pada masa Nabi Muhammad SAW dengan Pancasila.
Dia menjelaskan, salah satu konsep dalam konstitusi Madinah saat itu adalah ummatan wahidah, dimana maksud dari konsep ini adalah mencakup semua kelompok yang ada disana baik kaum Muslimin, Qurasy maupun Yatsrib, bukan hanya kelompok Islam saja.
"Bahwa dalam banyak elemen dalam Misakul Madinah termasuk Sohibah Madinah banyak kesamaan dalam Pancasila yang kita buat, bisa dikatakan Pancasila adalah Konstitusi Madinah dalam kontek modern sekarang. di mana Pancasila itu dibuat oleh berbagai etnis, agama yang berbeda duduk bersama, memiliki posisi yang sama dalam Pancasila," jelas Ahmad Najib Burhani saat menjadi narasumber dalam Seminar Nasional dengan tema Relasi Islam, Negara dan Pancasila yang diprakasai Jaringan Survei Inisiatif (JSI) bersama Unversitas Syiah Kuala Banda Aceh, Senin (5/11).
Di hadapan seratusan mahasiswa yang hadir dalam seminar yang berlangsung di Auditorium Fakultas Hukum Unsyiah itu, Ahmad Najib Burhani mengatakan peneguhan posisi Pancasila dan Misakul Madinah juga dilakukan oleh beberapa organisasi Islam, salah satunya adalah Muhammadiyah."Ini satu dokumen penting dari Muhammadiyah saat Muktamar tahun 2015 yang lalu di Makassar yang menyebutkan ummat Islam dapat melihat keselarasan semangat Pancasila di Indonesia dengan semangat Piagam Madinah yang menjadi landasan konstitusi pada awal Pemerintahan Islam di bawah Nabi Muhammad SAW," katanya.
Dalam Muktamar di Makassar itu ada konsep yang ditegaskan oleh Muhammadiyah tentang hubungannya dengan Pancasila, dalam dokumen yang sudah dikaji dan diresmikan itu disebutkan Pancasila adalah Darul Ahdi wa Syahadah.
"Bahwa Negara Pancasila adalah negara perjanjian dan negara tempat kita bersaksi. Dalam naskah itu Muhammadiyah ingin menunjukkan bahwa komitmena dan kesetiaannya didalam menerima negara bangsa dan Pancasila sebagai ideologi dari negara ini. Dan itu sekaligus sebagai penolakan terhadap yang biasanya disebutkan dan dipromosikan oleh Hizbut tahrir dengan konsep khilafah," katanya.
Menurutnya, kosep Khilafah itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip termasuk dengan piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi Mumammad SAW.
Sementara itu, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Rumadi Ahmad MA yang juga menjadi narasumber dalam seminar kebangsaan tersebut mengatakan kalau sudah mendefinisikan diri sebagai bangsa itu harus diikuti dengan kesiapan untuk hidup bersama dalam keberagaman ras dan agama.
"Itu satu titik yang menurut saya penting untuk kita acapkan karena kalau orang sudah tidak siap hidup dalam keanekaragaman itu artinya orang itu atau masyarakat itu sudah tidak siap menjadi bangsa," katanya.
Rumadi menyebutkan, dalam sejarah Kebangsaan di Indonesia memang antara agama dan politik itu tidak bisa sepenuhnya dipisahkan. bahkan ketika negara ini hendak didirikan sudah ada pembicaraan mengenai hubungan antara agama dan negara. Sehingga waktu itu dipisahkan menjadi dua, ada kelompok nasionalis Islam dan kelompok nasionalis sekuler.
"Kelompok nasionalis Islam itu aspirasinya adalah ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dalam kelompok itu ada Muhammadiyah, NU dan lain, meskipun nanti ada pencairan. sementara di kelompok nasionalis sekuler juga banyak orang Islam termasuk Bung Karno tetapi beliau tidak menginginkan Islam menjadi dasar negara," katanya.
Rumadi juga membenarkan bahwa Piagam Madinah Mirip dengan Pancasila, namun Piagam Madinah hanya berlaku dua tahun kemudian timbul kekacauan karena ada pengkhianatan di situ, tetapi Pancasila sudah sejak tahun 1945 sampai sekarang masih baik, sudah masuk 70 tahun.
Menurut Rumadi, sebagai bangsa seseorang harus punya tiga modal sosial yang luar biasa, salah satunya adalah modal sosial terkait proses Islamisasi di nusantara ini yang dilakukan dengan damai.
"Prose Islamisasi di Nusantara tidak dilakukan dengan perang, kalau misalnya proses Islamisasi dengan perang saya tidak yakin orang Islam di Indonesia itu bisa sampai 87 sekian persen. jadi ini modal sosial luar biasa yang kita miliki.," katanya.
Selain itu, Ulama Kharismatik Aceh Tgk H Nuruzzahri Yahya atau yang akrap disapa Waled Nu menyebutkan Republik Indonesia adalah rahmat pemberian Allah SWT, dengan gigihnya perjuangan mayoritas ummat Islam.
"Maka untuk mengikat Indonesia ini dibentuk suatu sistem kekuasaan republik," katanya.
Waled Nu, juga menceritakan peran Aceh dalam kemerdekaan Republik Indonesia, dimana saat itu penjajah mengira Indonesia sudah tidak ada, namun melalui Radio Rimba Raya diumumkan ke seluruh penjuru bahwa Indonesia masih ada dan Sukarno selaku pemimpin saat itu berada di Bireuen. Sehingga sampai saat ini Bireun dijuluki dengan Kota Juang.
Dikatakan Waled Nu, perbedaan bukanlah alasan perpecahan di Republik Indonesia melainkan modal untuk persatuan. dia mencontohkan di Aceh saja banyak perbedaan bahasa namun tetap harus saling menghargai.
"Aceh besar, Aceh Pidie, Singkil dan beberapa daerah lainnya itu beda-beda bahasa dan suku namun kita tetap Aceh," katanya.