kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Dialetika / Sengkarut Cerita Pro Kontra Vaksin di Aceh

Sengkarut Cerita Pro Kontra Vaksin di Aceh

Minggu, 17 Januari 2021 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

Ilustrasi Vaksin [Dok. Reuters]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Helaan nafas panjang kini sudah bisa dihembuskan masyarakat. Akhirnya masyarakat sudah bisa berehat sejenak dari kekangan parasit jahanam Covid-19 dengan adanya kebijakan pemerintah pusat yang mendatangkan vaksin Sinovac dan mendistribusikan ke wilayah-wilayah di Indonesia.

Pandemi Covid-19 berdampak besar bagi masyarakat. Tidak hanya bagi kelas menengah ke bawah, para elit politik pun harus kena imbas dari amukan ganas sebuah virus yang berasal dari Wuhan itu.

Salah satu contoh yang menjadi buah bibir banyak orang ialah tergesernya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Aceh. Akan tetapi, jika sedikit kita meluangkan waktu untuk kembali mengkroscek beberapa referensi berita-berita lokal, dampak yang paling terasa bagi masyarakat khususnya warga Aceh ialah menurunnya pemasukan ekonomi selama pandemi.

Sebelumnya, tim Dialeksis.com telah merangkum dampak pandemi bagi para nelayan. Di sana Dialeksis.com mengabarkan dan memberi gambaran nyata bagaimana pandemi meluluhlantahkan pendapatan di sektor perikanan sehingga ada yang berkomitmen untuk lebih memaksimalkan mata pencaharian di darat. 

Artikel tentang itu telah tayang di rubrik Dialektika dengan judul "Pontang-panting Nelayan di Tengah Pandemi."

Pada hari Selasa (5/1/2021) tempo lalu, Aceh kedatangan vaksin. Vaksin itu tiba di Gudang Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh. Kedatangan vaksin itu langsung diterima oleh Kadinkes Aceh sendiri yaitu Dr Hanif.

Saat itu jumlah vaksin yang tiba berjumlah sebanyak 8 koli/kotak dengan total berat mencapai 292 Kg. Untuk jumlah dosis sebanyak 14.000 dengan jenis Corona Vac.

"Tadi jam 8 pagi sudah kita terima 14.000 dosis vaksin dan akan didistribusikan ke kabupaten/kota setelah ada instruksi dari pusat," kata Dr hanif ketika di konfimasi Dialeksis.com, Selasa (5/1/2021).

Memang pada saat itu belum ada izin vaksin Sinovac untuk didistribusikan ke kabupaten/kota, karena masih harus menunggu keluaran surat uji Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta menunggu Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Cepatnya pemerintah pusat mendistribusikan vaksin sebelum uji klinis BPOM dan Fatwa MUI keluar bukan tanpa alasan, hal itu terjelaskan sebagaimana yang diungkapkan oleh Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 BPOM, Rizka Andalusia.

Sebagaimana dilansir dari laman media Sindonews.com, Rizka menjelaskan sebab-musabab kenapa vaksin didistribusikan sebelum keluar surat BPOM. Katanya, hal itu dilakukan untuk mempercepat pelaksanaan program vaksinasi dan sebagai langkah awal bagi petugas-petugas medis di daerah untuk bersiap-siap.

"Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dan tentunya dibutuhkan suatu usaha yang besar untuk dapat mendistribusikan vaksin sampai ke titik-titik penyuntikan. Oleh sebab itu, sesuai dengan arahan Bapak Menteri Kesehatan maka pendistribusian vaksin mulai dilaksanakan ke daerah-daerah," katanya saat konferensi pers, Senin (4/1/2021).

Beberapa hari setelah vaksin tiba di Aceh, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Aceh juga ikut memberi masukan. Melalui Ketua IDI Aceh, Dr dr Safrizal Rahman SpOT menjelaskan, fungsi vaksin sebagai pembantu melawan virus jahannam itu dengan cara meningkatkan imunitas tubuh manusia.

"Upaya yang dilakukan dengan vaksin ini tentunya untuk mendapatkan kekebalan imunitas, semakin banyak orang yang kebal terhadap Covid maka virus itu tidak akan mampu berkembang di tubuh kita lagi,” Jelasnya dokter itu saat diminta penjelasan oleh Dialeksis.com, Jum'at (8/1/2021).

Setelah izin suntik vaksin dikeluarkan BPOM dan MUI, nada-nada kontra justru berseliweran di tengah masyarakat Aceh. Entah di sosial media maupun obrolan-obrolan di tongkrongan, banyak orang membicarakan masalah efektivitas vaksin Sinovac itu.

Saat itu, semua orang takut untuk di suntik vaksin. Masyarakat menduga-duga bahwa vaksin itu merupakan alat konspirasi para elit global yang menanam sejenis chip mikro di dalam cairan vaksin tersebut atau berdampak buruk bagi kesehatan karena telah termakan hoaks-hoaks yang tersebar di media sosial.

Dugaan-dugaan liar itu lantas menumbuhkan rasa kekhawatiran luar biasa bagi masyarakat umum. Akan tetapi tidak sedikit pula yang berprasangka baik. Pransangka baik itu datang dari beberapa kalangan, salah satunya dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Wilayah Aceh.

Melalui Ketua Pengurus PDGI Aceh, drg Eka Darma Putra mengatakan, dirinya tidak khawatir dengan program vaksinasi apalagi pada saat itu prioritas utama vaksinasi pemerintah Aceh justru kepada para petugas kesehatan.

"Secara kelembagaan, saya sebagai Ketua PDGI Aceh berprasangka baik terhadap upaya yang dilakukan oleh pemerintah. Kita mempunyai kelembagaan yang menjamin itu seperti BPOM yang beberapa waktu lalu sudah menyatakan vaksin ini aman, kemudian MUI juga sudah memfatwakan vaksin ini halal," ujar drg Eka Darma Putra, kepada Dialeksis.com, Kamis (14/1/2021).

Namun, apalah daya prasangka buruk sudah tersiar kemana-mana. Bahkan dari hasil survei penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan bersama Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) dengan dukungan UNICEF dan WHO menunjukkan masyarakat Indonesia bersedia menerima vaksin Covid-19 tetapi tidak bagi provinsi Aceh.

Masyarakat Aceh berada di provinsi paling rendah yang menerima vaksinasi atau masyarakat Aceh paling banyak menolak diri untuk divaksin.

Lantas hasil survei itu membuat Kadinkes Aceh, Dr Hanif kebingungan. Berdasarkan pengakuannya, ia tidak mengetahui mengenai hasil riset tersebut karena lagi sibuk melakukan proses sosialisasi vaksinasi bagi warga.

Sedangkan Ketua IDI Aceh, Dr dr Safrizal Rahman SpOT mengatakan, hasil riset tersebut berbeda dengan temuannya hasil kajiannya di lapangan. 

“Meskipun survei dan kondisi sebelumnya memperlihatkan bahwa penerimaan vaksin rendah, tetapi saat ini semua persyaratan yang sering menghalangi penerimaan vaksin akan kita kawal dengan baik, seperti sertifikasi halal, dan rekomendasi BPOM untuk penggunaan darurat, apalagi medis adalah penerima vaksin pertama,” kata Ketua IDI Aceh itu kepada Dialeksis.com, Minggu (10/1/2021). 

Sengkarut kenapa masyarakat Aceh menolak vaksin masih menjadi misteri. Tidak ada alasan logis yang diutarakan yang jelas pernyataan-pernyataan penolakan vaksin giat beredar di media-media sosial.

Akibat itulah kemudian usulan-usulan terkait kampanye menggalakkan masyarakat untuk ikut vaksin mulai diprogramkan. Salah satu usulan yang datang ialah dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang meminta Satuan Polisi Pamung Praja (Satpol PP) untuk ikut mengampanyekan vaksinasi dengan jadi duta perubahan perilaku, menegakkan protokol kesehatan, serta mendukung program vaksinasi.

Usulan itu langsung direspon cepat oleh Satpol PP-WH Aceh. Melalui Kepala Satpol PP-WH Aceh, Jalaluddin telah menetapkan dua personil untuk jadi duta pendukung vaksinasi Covid-19.

"Terkait itu, kita telah tetapkan dua petugas sebagai duta, Marzuki dan Tarmizi," kata Jalaluddin saat dikonfirmasi Dialeksis.com,  Jumat (15/1/2021).

Tak hanya dari pemerintah pusat, usulan untuk mengampanyekan program vaksinasi juga datang dari Pengamat Kebijakan Publik Aceh, Dr Nasrul Zaman ST M Kes menyarankan agar Pemerintah Provinsi Aceh ikut melibatkan para pemuka agama dalam mengampanyekan vaksinasi Covid-19.

Nasrul menilai, tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah Aceh terus menurun terutama terkait vaksinasi di Aceh. 

“Satgas Covid-19 harus mampu melibatkan tokoh-tokoh agama maupun tokoh masyarakat dan tokoh pendidikan dalam kampanye manfaat vaksin bagi masyarakat," kata Nasrul sebagaimana dilansir dari Aceh.Antaranews.com, Senin (11/1/2021).

Usulan tersebut ditanggapi langsung oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Wakil MPU Aceh, Tgk Faisal Ali mengatakan, biarlah para pemuka agama yang ada di Aceh mengampanyekan hasil fatwa MUI terkait vaksin, sedangkan untuk masalah keamanan vaksin ia mengharapkan para ahli kesehatan mengampanyekan dengan lantang.

"Untuk mengharapkan agar masyarakat Aceh mau menerima vaksin, jangan ditugaskan ke ulama. Nanti kalau misalnya kita mendesak masyarakat untuk menerima, terus pada waktu di vaksin nanti bermasalah, seperti demam lah, ini-itu. Makanya masalah vaksin itu harus betul-betul ada penjelasan yang kongkrit dari pihak yang kompeten,” kata Tgk Faisal kepada Dialeksis.com, Rabu (13/1/2021).

Sikap dilematis masyarakat Aceh menerima vaksin kali itu juga datang dari segi hukum. Dugaan-dugaan masyarakat semakin hari semakin liar saja. Hal itu di perkuat karena wilayah DKI Jakarta pernah membuat Peraturan Daerah (Perda) yang ditanda tangani oleh Gubernur Jakarta, Anies Baswedan.

Dalam perda Nomor 2 Tahun 2020 itu mengatur sanksi bagi masyarakat Jakarta yang menolak vaksin. Pada pasal 30 Perda Jakarta itu memuat setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Akan tetapi Perda Jakarta itu kemudian menjadi kontroversi karena telah bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Kesehatan dan UU Hak Asasi Manusia. 

Di saat yang sama Dialeksis.com juga menghubungi seorang praktisi hukum asal Aceh, Hermanto untuk dimintai pendapat. Ia mengatakan, setiap masyarakat diberi kebebasan untuk menentukan jenis pengobatan yang diinginkan dan itu juga termaktub dalam pasal 5 ayat (3) UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Ketika ditanya bisakah para warga menolak vaksin dengan memakai pasal 5 ayat (3) UU Kesehatan itu sebagai acuan masyarakat untuk menolak vaksin, Hermanto menuturkan bisa.

"Alasan penolakan vaksin pakai Undang-Undang itu bisa, pakai pasal itu saja sudah cukup," kata Hermanto saat dikonfirmasi Dialeksis.com, Jumat (15/1/2021).

Usai penyiaran langsung proses vaksinasi perdana Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia, Rabu (13/1/2021), kini giliran pemerintah daerah yang bersiap-siap di vaksin perdana.

Untuk wilayah Aceh, program vaksinasi tahap pertama wilayah Aceh di awali dengan vaksinasi Gubernur Aceh, Nova Iriansyah. 

Kegiatan itu berlangsung di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh pada Jumat (15/1/2021) kemarin.

Setelah divaksin, dihadapan para wartawan Nova mengatakan, jika ada masyarakat Aceh yang menolak vaksin, akan ada Undang-Undang yang melindungi.

"Saya menghimbau kalau ada rakyat menolak untuk divaksin ada Undang-Undang yang melindungi itu juga, tapi dalam konteks kedaruratan kita juga berpedoman pada agama dengan melihat banyaknya kemudharatan akibat Covid-19," Kata Nova saat konferensi pers.

Sehari usai tokoh penting Aceh divaksin perdana, ragam reaksi pun bermunculan di tengah masyarakat Seuramoe Mekkah. 

Dialeksis.com hari itu membuat survei kecil-kecilan untuk melihat reaksi masyarakat usai Nova di vaksin.

Seperti salah seorang warga Aceh Timur, David (bukan nama asli) mengaku masih ragu-ragu dengan vaksinasi Covid-19.

"Kami masih ragu terhadap vaksin, takutnya nanti pemerintah disuntik lain dan untuk masyarakat disuntik lain lagi, bahkan bagaimana kami bisa percaya, setelah beredarnya video di media sosial anggota DPR di Senayan menolak Vaksin, " katanya David kepada Dialeksis.com, Sabtu (16/1/2020).

Hal serupa juga disampaikan Cut Indah, seorang warga Aceh Besar. Ia tetap menolak vaksinasi karena beberapa referensi yang ia pelajari, keamanan vaksin masih diragukan walaupun telah ada sertifikasi halal. "Halal itu belum tentu aman," kata Indah.

Pendapat berbeda disampaikan oleh Zawata Afnan, warga kota Banda Aceh. Setelah ia melihat sosok pemimpin yang mengambil sikap untuk divaksin perdana di wilayah Aceh timbul kecamuk perspektif dalam dirinya.

Ia berujar memang sudah tanggung jawab Nova divaksin perdana karena dia merupakan Kepala Pemerintahan. Akan tetapi, lanjut Afnan, pertimbangan dari sisi kemanusiaan juga tidak boleh dikesampingkan.

"Saya yakin dengan beliau melakukan vaksin tersebut dapat merubah bahkan berdampak besar pada keyakinan masyarakat Aceh untuk tidak terbawa penggiringan isu-isu hoaks mengenai efek pada vaksin ini," kata Afnan.

Itulah hasil survei kecil-kecilan yang Dialeksis.com lakukan. Walaupun setelah Nova Iriansyah divaksin perdana untuk wilayah Aceh, sengkarut penolakan vaksinasi masih beredar di bumoe Aceh Seuramoe Mekkah ini. 

Drama serial season pertama terkait vaksinasi di Aceh telah selesai. Tinggal menunggu waktu bagaimana dengan cerita lanjutannya. Di luar sana, masih banyak masyarakat yang menolak vaksin tetapi akar masalah penolakan itu masih jadi kajian pemerintah. Namun, tidak sedikit pula para warga yang mengharapkan usaha maksimal dari pemerintah Aceh untuk mengampanyekan masyarakat menggalakkan vaksinasi, karena ini pandemi dan masalah semua umat. 

Oleh karena itu, kita berharap cerita Covid-19 berakhir manis seperti apa yang diimpi-impikan masyarakat. Jangan sampai akhir cerita vaksinasi Covid-19 di Aceh malah berakhir suram layaknya sinetron azab Indosiar. (Akhyar)

Keyword:


Editor :
Fira

riset-JSI
Komentar Anda