BPMA Marak Masalah Internal
Font: Ukuran: - +
Kepala Divisi Formalitas dan Hubungan Eksternal BPMA Radhi Darmansyah
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Melalui Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi Aceh, Badan Pengelola Migas Aceh, atau yang lazim disingkat BPMA, diberikan wewenang untuk melakukan pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap kontrak kerja sama kegiatan usaha hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jelang 5 tahun berjalan, lika liku dan dinamika kerap menyertai lembaga yang konon memiliki 'segudang' kewenangan mengurusi sektor migas Aceh itu. Berbagai penilaian dan kritikan publik terhadap kinerja BPMA menjadi salah satu indikator tentang harapan dan asa rakyat Aceh agar lembaga tersebut dapat memberikan sumbangsih nyata bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Namun, apakah harapan rakyat itu dapat diwujudkan oleh BPMA? Dengan besarnya kewenangan yang dimiliki, apa kontribusi yang telah diberikan BPMA terhadap pembangunan Aceh, khususnya bagi penerimaan pendapatan dari sektor migas?
Baru-baru ini, tepatnya pada awal Desember 2019, pasca dilantiknya Teuku Mohammad Faisal sebagai Kepala Definitif, BPMA melakukan terobosan dengan membentuk Tim Realignment. Secara prinsip, tim tersebut ditunjuk untuk memberikan rekomendasi atas sejumlah persoalan internal, serta melakukan evaluasi terhadap efektifitas struktur BPMA saat ini.
Apakah pembentukan tim tersebut merupakan respon atas pengamatan publik yang menilai kinerja BPMA lemah? Lantas, sudah sejauh mana tim tersebut bekerja? Apa saja capaiannya?
Untuk mengetahui hal tersebut, secara khusus Dialeksis.com mewawancarai Kepala Divisi Formalitas dan Hubungan Eksternal BPMA Radhi Darmansyah. Awalnya memang agak sulit karena Radhi terkendala pada sempitnya waktu dan padatnya pekerjaan yang dihadapi. Namun, pada Selasa, (7/1/2020), Radhi bersedia diwawancara di sebuah lokasi warkop dikawasan Lambhuk, Banda Aceh. Berikut petikan wawancaranya.
Apakah pembentukan Tim Realignment itu merupakan respon dari masukan publik yang melihat kacaunya manajemen BPMA saat ini?
Sebuah organisasi selalu membutuhkan penyegaran untuk mempercepat akselarasi positif. Ini adalah tugas pak Faisal selaku kepala defenitif BPMA yang baru dilantik Menteri ESDM. Pak Faisal sedang membangun tim yang baik dan solid guna memperbaiki kinerja BPMA, agar lebih produktif.
Terkait tim realignment ini, mereka kan punya tugas dan fungsi. Ada 6 tugas yang menjadi tanggung jawab tim ini sesuai dengan SK Kepala BPMA. Diantaranya, tim memberikan rekomendasi dari hasil evaluasi struktur organisasi.
Saya pikir untuk lebih detil soal realignment, silahkan ditanyakan langsung ke Ketua Tim saja. Karena itu tupoksi beliau.
Beredar sinyalemen di publik bahwa internal BPMA saat ini sedang tidak solid. Apa sinyalemen itu benar?
Organisasi ini baru dibangun. Semua pegawai yang ada di BPMA punya latar belakang, budaya, pengalaman dan pendidikan yang berbeda. Nah mereka semua bekerja dalam sebuah wadah yang disebut BPMA. Melting pot baru ini.
Mungkin katakanlah teman-teman yang dulu bekerja di bidang teknis, tidak terbiasa bekerja dengan teman-teman non teknis. Misalnya teman-teman yang bekerja di bidang teknis kan biasa dilayani dengan cepat. Sebut saja teman-teman yang di driling itu, resikonya sangat besar, cost nya sangat besar, ada resiko fatality yang bisa terjadi. Jadi apapun yang dibutuhkan oleh tim ini harus disediakan saat itu juga.
Tapi ketika berada pada organisasi pemerintahan, ini kan ada konsepsi yang berbeda. Ada aturannya, ada tahapan, ada mekanismenya, ada SOP yang musti dilakukan.
Apa masalah utama yang dihadapi BPMA saat ini?
Sebenarnya tidak ada masalah. Budaya organisasi yang berbeda ini kan dapat disatukan. Tapi harus ada effort yang agak kuat ya agar perbedaan budaya kerja ini dapat disatukan.
Saya sangat yakin, dengan kepemimpinan pak Faisal saat ini, budaya yang berbeda dari berbagai latar belakang pegawai BPMA ini akan dapat disatukan. Dibangun menjadi budaya BPMA untuk mampu menggenjot produksi migas Aceh.
Banyak opini publik yang menyebutkan kinerja BPMA saat ini tidak memberikan dampak signifikan bagi pembangunan Aceh. Tanggapan anda?
BPMA baru terbentuk pada 2015 berdasarkan PP 23 Tahun 2015. Saat Pak Marzuki Daham (Kepala BPMA pertama) menjabat, sebenarnya fungsi sudah full diberikan kepada BPMA. Tapi pak Marzuki masih sendiri saat itu. Oleh karena itu ada peran dan fungsi teknis yang masih dilakukan oleh SKK Migas. Karena BPMA ini kan menggantikan peran dan fungsi SKK Migas, selaku lembaga pengawasan migas di Aceh. Kemudian, pada masa Pak Marzuki terjadi proses rekruitmen, mencari kantor, agar BPMA ini bisa eksis.
Selanjutnya di masa Pak Azhari Idris menjadi Plt, pegawai mulai aktif bekerja dan kantor BPMA diresmikan. Kemudian, budaya organisasi yang saya sebutkan tadi mulai terbentuk secara perlahan. Inilah proses yang dijalani BPMA.
Kendala BPMA dalam mengawasi bisnis hulu migas banyak sekali. Kendala yang saya maksud adalah soal transisi dari SKK Migas ke BPMA secara full. Karena peran-peran yang selama ini SKK Migas dan sebagian peran Kementrian ESDM diambil alih BPMA.
Transisi ini, proses yang berjalan secara perlahan, karena masih ada kendala terkait dengan peraturan menteri yang 40 tadi (Kepmen). Semua ini, mudah-mudahan dapat diselesaikan secara bertahap berkat dukungan penuh dari Pemerintah dan Pemerintah Aceh.
Apa masalah detilnya dalam 40 Kepmen (Keputusan Menteri) itu?
Jadi begini, semua aturan yang terkait dengan pengawasan industri hulu migas, yang disebutkan dalam peraturan menteri hanya disebutkan SKK Migas selaku satu-satunya badan pengawasan yang mengawasi industri hulu migas.
Nah, sekarang karena BPMA sudah ada. Harusnya disebutkan juga BPMA. Makanya perlu ada revisi terhadap aturan itu, agar peran dan fungsi BPMA bisa berjalan secara optimum.
Apa yang seharusnya dilakukan BPMA sehingga dapat memberikan keuntungan optimal bagi pembangunan Aceh secara umum?
Sebenarnya apa yang dilakukan BPMA sudah on the track, artinya BPMA bekerja sesuai dengan kesepakatan pemerintah. Selama ini yang kita lakukan adalah menggenjot eksplorasi, baik di darat maupun di laut. Karena kita punya kewenangan sampai 12 mil laut.
Selama ini yang kita lakukan mencoba mempercepat ini. Beberapa perusahaan seperti Repsol yang beroperasi di WK Andaman 3 itu, kita bantu agar aktifitas yang mereka lakukan itu bisa on the track dan dapat melakukan pengeboran ekplorasi yang pertama. Mudah-mudahan tahun 2020 ini bisa berjalan.
Saat ini, ada berapa perusahaan migas di Aceh yang diawasi oleh BPMA?
Saat ini ada 6 yang beroperasi di Aceh. Ada Pertamina Hulu Energi (PHE), Triangle Pase Inc, Zaratex NV (sedang Plan of Development (POD)), Medco E&P Malaka, Talisman Andaman BV dan Renco Elang Energi. Yang sudah berproduksi ada tiga yakni, Medco E&P Malaka, Triangle Pase, dan PHE NSB.
Terhadap yang sudah berproduksi, bagaimana kontribusi mereka terhadap pendapatan Aceh?
Kontribusi mereka cukup positif, tapi jika dibandingkan tahun 2000-an jauh lebih kecil.
Seingat saya setoran dari industri hulu migas ke pemerintah Aceh itu lebih kurang 500 miliar setahun. Itu hanya dari 3 perusahaan yang aktif tadi.
Mudah-mudahan hasil yang didapat Aceh akan lebih baik setelah perpanjangan kontrak WK B (Blok yang saat ini dikelola oleh Pertamina Hulu Energi) tuntas. Jadi operator WK B ke depannya bisa fokus pada eksplorasi dan produksi dari lapangan-lapangan yang potensial disana.