kip lhok
Beranda / Dialog / Dosen FE Unsyiah: Aceh Miskin Karena Konflik dan Pemerintah belum Optimal

Dosen FE Unsyiah: Aceh Miskin Karena Konflik dan Pemerintah belum Optimal

Jum`at, 06 Juli 2018 18:04 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto: Ist

Dialeksis.com, Banda Aceh - Provinsi Aceh saat ini berada di urutan pertama sebagai provinsi termiskin di Sumatera dengan persentase penduduk miskin mencapai 15,92 persen.

Di urutan kedua disusul Bengkulu 15,59 persen, selanjutnya Sumatera Selatan, 13,10 persen, Lampung 13,04 persen, Sumatera Utara 9,28 persen, Jambi 7,90 persen, Sumatera Barat 6,75 persen dan Bangka Belitung 5,30 persen.

Secara nasional, Aceh berada di urutan keenam provinsi termiskin. Urutan pertama ditempati Papua dengan persentase penduduk miskin mencapai 27,76 persen, disusul Papua Barat 23,12 persen, NTT 21,38 persen, Maluku 18,29, Gorontalo 17,14, Aceh 15,92, Bengkulu 15,59, dan NTB 15,05.

Hal itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh per September 2017.

Hendra, staf bidang data di BPS Aceh seperti dilansir AcehTrend, Kamis (15/2/2018) menyebutkan bahwa data kemiskinan Aceh setahun dirilis per Maret dan September.

"Untuk angka kemiskinan per Maret biasanya kami rilis pada Mei atau Juni sementara data kemiskinan per September kami rilis setiap Januari," katanya.

Dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah, Fakhruddin menyatakan faktor kemiskinan di Aceh ini dipengaruhi oleh beberapa hal. Di antaranya faktor konflik bersenjata dan peran pemerintah yang dinilai belum optimal.

Berikut wawancara Fakhruddin dengan Dialeksis.com.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statiatik (BPS), tingkat kemiskinan dan pengangguran Aceh lebih tinggi dari nasional, dan Aceh juga provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera. Apa yang menyebabkan tingkat kemiskinan di Aceh tinggi?

Ada beberapa hal yang perlu dipahami mengenai kemiskinan di Aceh. Pertama, konflik yang panjang bukan hanya menghancurkan fasilitas fisik tetapi juga merusak mental. Karakter pekerja dan pemenang memang masih ada dalam masyarakat Aceh tetapi sifatnya individualistik, jadi sulit untuk bekerja sama.

Ada rasa ketidakpercayaan yang besar terhadap pihak lain (buah rasa saling curiga di masa konflik). Dan ini membuat sulit menciptakan sosial capital dalam pengentasan kemiskinan.

Kedua, peran pemerintah belum optimal. Peran pemerintah masih sebatas pada penyediaan infrastruktur fisik. Pemerintah belum mampu menghubungkan sentra produksi Aceh dengan rantai pasar yang ada. Di kalangan pemerintah dan juga anggota dewan perwakilan sepertinya Ada kecenderungan untuk menciptakan rantai pemasaran baru yang berbeda dari yang sudah ada. Hal ini sebenarnya sangat ideal tetapi juga membutuhkan tenaga yang besar (produksi yang besar dan kesinambungan produksi dalam jangka panjang). Padahal kedua hal tersebut belum mampu disediakan

Sebaiknya, sebelum mampu "menciptakan" rantai pemasaran sendiri, sebaiknya Aceh ikut dalam sistem pasar yang sudah ada agar produk Aceh dikenal agar pelaku ekonomi Aceh dapat belajar kondisi pasar yang riil dan dapat terkoneksi langsung dengan pelaku pasar lainnya sehingga memiliki nilai tawar yang tinggi. Setelah ini dimiliki, baru bisa berfikir untuk menguasai pasar atau menciptakan rantai pemasaran yang baru.

Kongkritnya, mengatasi ketertinggalan serta membangun kemandirian?

Ya bisa dibilang begitu. Tapi untuk mandiri juga sulit. Selain dua hal di atas, ada hal ketiga, yaitu ketersediaan SDM. Rata-rata usia sekolah tenaga kerja Indonesia sangat rendah. Hanya 8 tahun, sekolah sampai kelas 2 SMP.

Dalam konteks Aceh bagaimana keadaan SDM yang mendukung kemandirian ekonomi agar bebas dari kemiskinan di masyarakat Aceh?

Dibutuhkah kesabaran, karena butuh waktu untuk mengubah kualitas SDM, apakah kebutuhan sdm ditentukan potensi daerah?

Justru sebaliknya, yang dibutuhkan adalah SDM yang menguasai teknologi. Potensi alam memang dibutuhkan, tapi bukan yang utama. Aceh harus siapkan SDM yang menguasai teknologi.

Bagaimana menurut Anda cara pengelolaan yang tepat penggunaan dana otsus untuk pengentasan kemiskinan?

Berikan akses kepada masyarakat miskin. Ubah karakter malas dan manja menjadi pekerja.

Sebatas itu saja? Atau diperlukan blue print yang jelas penggunaan uang otsus yang berorientasi pengentasan kemiskinan?

Berikan skill dan ilmu. Blue print itu teknis perencanaan. Bisa jadi dibutuhkan dan perlu dan bisa sebaliknya. Kalau RPJPdan RPJM sdh solid maka seharusnya nggak perlu lagi blue print kemiskinan. Nah ini harus hati-hati, tidak ada negara yang kaya ketika penduduknya bodoh.

Blue print otsus tidak perlu jadinya dengan catatan isi RPJM dan RPJP berorientasi pengentasan kemiskinan?

Tapi banyak negara yang miskin SDA tapi kaya karena penduduknya pintar. Jika memang di Aceh kemiskinan dianggap masalah, maka mutlak RPJM fokus pada pengentasan kemiskinan

Hanya saja, biasanya dari sisi dokumen sudah ok. Tapi dalam tataran implementasi gagal. Karena koordinasi tidak lancar. Koordinasi dalam pembangunan tidak optimal. Keserasian tujuan dan sasaran pembangunan yang dilakukan oleh pusat, Aceh dan pemerintah kab/kota menjadi keharusan.

Ada tambahan lain?

Pengentasan kemiskinan itu bukan pekerjaan jangka pendek. Ini pekerjaan jangka panjang. Dibutuhkan setidaknya satu generasi untuk mengubah kemiskinan. Sayangnya banyak pemerintah yang tidak sabar dan terburu-buru. Jadi cenderung mengambil kebijakan yang populer tapi manfaatnya kecil. Harusnya, kebijakan yang manfaatnya besar harus diambil walau tidak populer. []

Keyword:


Editor :
Sammy

riset-JSI
Komentar Anda