DIALEKSIS.COM | Taiwan - Perjalanan akademik Irfandi Djailani menuntaskan studi doktoralnya di National Central University, Taiwan, bukan sekadar kisah tentang meraih gelar tertinggi pendidikan. Ini adalah cerita tentang integritas, keteguhan, dan keyakinan bahwa rezeki adalah urusan Tuhan, tugas manusia adalah bergerak dan berjuang.
Delapan tahun silam, sebelum menginjakkan kaki di Taiwan, Irfandi dihadapkan pada sebuah pilihan sulit. Saat itu, ia mendapat tawaran untuk mengerjakan proyek pembuatan lima film pendek senilai Rp150 juta. Namun, ada syarat tersembunyi yang harus dipenuhi sejumlah “uang kembali” yang diminta secara tidak formal.
“Saya diajak bertemu di tempat gelap, tanpa cahaya. Wajah lawan bicara saya pun tak terlihat. Dan yang menemui saya bukan pimpinan, tapi bendahara,” kenang Irfandi. Sebagai seseorang yang pernah bekerja di organisasi anti-korupsi selama tiga tahun dan membangun kursus antikorupsi, naluri Irfandi langsung menolak.
Tanpa berpikir panjang, ia menjawab, “Nanti ketahuan KPK, Bang.”
Jawaban itu membuat proyek tersebut tak jadi. Irfandi di-ghosting, tak ada kabar lanjutan dari pihak pemberi tawaran. Namun ia tak menyesal. Menurutnya, keputusan menolak itu bukan semata karena alasan agama, melainkan karena hal tersebut tak masuk akal secara logika dan etika.
“Walaupun saya cukup agamis, entah mengapa saat itu bukan agama yang mendorong saya menolak, melainkan kesadaran bahwa ini tidak masuk akal. Mungkin karena hukuman dalam agama terasa tidak langsung, sementara hukum dunia begitu nyata penjara dan sanksi,” ujarnya jujur.
Penolakan proyek itu ternyata menjadi titik awal rezeki lain datang menghampiri. Tak lama setelah itu, Irfandi mendapat beberapa proyek pembuatan film lain yang sah dan bersih secara prosedural. “Saya percaya, rezeki seperti anak burung yang diberi makan oleh induknya. Bahkan ketika belum bisa terbang, rezeki tetap datang,” ujarnya mengutip pandangan dai ternama, Nouman Ali Khan.
Irfandi kemudian berangkat ke Taiwan untuk melanjutkan studi S3, membawa serta istri dan anak. Setelah tiga tahun, ia mulai menghadapi tantangan finansial, apalagi ketika anak kedua lahir. Biaya hidup keluarga meningkat drastis.
Di tengah kesulitan itu, jalan terbuka. Ia mendapat pekerjaan sebagai guru Bahasa Inggris di sejumlah sekolah di Taiwan. Gajinya cukup fantastis sekitar Rp350 ribu per jam. Jika mengajar tiga jam saja sehari, penghasilannya sudah jauh lebih dari cukup. Bahkan, ia pernah mengajar hingga delapan jam dalam satu hari.
Namun, tantangan lain datang. Pandemi COVID-19 melanda. Istrinya lulus sebagai dosen PNS dan ditempatkan di kota yang jauh dari tempat tinggal mereka di Taiwan. Sementara Irfandi masih harus menyelesaikan studi dan tetap bekerja demi kebutuhan keluarga. Di saat yang sama, anak ketiga mereka lahir.
“Saya bingung bagaimana istri saya harus mengurus anak-anak sendirian. Saat itu saya hanya bisa berdoa dan berharap,” tuturnya.
Di tengah kegamangan itu, bantuan datang secara tak disangka. Seorang asisten rumah tangga bersedia membantu istrinya sesuatu yang saat itu sangat sulit ditemukan oleh banyak orang di Taiwan. “Ini definisi rezeki sesuatu yang datang untuk menguatkan,” katanya.
Tak hanya itu, Irfandi juga berhasil mendapatkan pendanaan sebesar USD 10.000 (sekitar Rp160 juta) untuk membuat film dokumenter tentang kehidupan imigran di Taiwan. Film yang diberi judul 3 Immigrant Life in Taiwan itu didanai oleh lembaga TaiwanPlus dan menjadi salah satu karya dokumenter yang menyoroti dinamika diaspora di negeri Formosa.
Berbekal dana tersebut, Irfandi tidak hanya menyelesaikan film, tetapi juga membeli mobil sederhana untuk kebutuhan mobilitas istri dan anak-anaknya di tengah perantauan. Mobil itu menjadi solusi nyata di tengah beban jarak dan waktu.
“Peserta lain menggunakan hampir seluruh dana untuk produksi. Saya bisa berhemat karena berbagai faktor yang tidak saya kendalikan. Lagi-lagi, rezeki itu urusan Allah,” katanya.
Kini, setelah satu dekade “mengembara” 1,5 tahun di Thailand untuk studi S2 dan 8 tahun di Taiwan untuk S3 Irfandi dan keluarganya bersiap kembali ke Indonesia. Mereka pulang dengan tiga anak dan satu calon bayi yang akan lahir dalam beberapa bulan ke depan.
Namun, kepulangan itu disertai kekhawatiran. Jaringan profesionalnya banyak yang telah hilang. Ia merasa tak lagi relevan. Terlebih, ia tidak akan kembali ke Banda Aceh, tempat ia tumbuh dan berjejaring, melainkan ke Meulaboh kota baru yang belum sepenuhnya ia kenal.
“Ada rasa khawatir, tapi perjuangan 10 tahun di luar negeri telah mengajarkan saya bahwa rezeki adalah urusan Allah. Tugas saya adalah bergerak, berusaha, dan berjuang,” ujarnya mantap.
Irfandi mengungkapkan bahwa pemahaman tentang rezeki menjadi semacam bekal batin. Dalam kondisi tidak cukup, gelisah, dan ragu, manusia bisa menemukan pemahaman baru yang menguatkan. “Apakah pemahaman itu juga bentuk rezeki? Iya. Karena ia menguatkan manusia. Menjadikannya tidak gelisah berlebihan, tidak sombong, dan terus berharap kepada Allah,” ujarnya mengakhiri.