kip lhok
Beranda / Berita / Dunia / ABK Indonesia Diperbudak, Minum Air Laut dan Bekerja 18 Jam

ABK Indonesia Diperbudak, Minum Air Laut dan Bekerja 18 Jam

Kamis, 07 Mei 2020 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Potongan gambar dari video kru kapal nelayan Cina yang membuang jenazah ABK Indonesia ke laut. [YouTube MBCNEWS]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Sebanyak 14 ABK Indonesia diduga diperbudak saat bekerja untuk kapal tuna asal Cina. Bahkan, menurut laporan stasiun televisi Korea Selatan MBC NEWS, mereka yang meninggal saat bertugas akan dilarung ke laut. Dengan kata lain, pilihan ABK hanya dua, bertahan hidup atau dibuang ke laut.

Bertahan hidup bukan perkara gampang bagi belasan ABK tersebut. Sebab, dalam sehari, mereka bisa diperkajakan secara tidak wajar. Misalnya, menurut salah satu pengakuan ABK yang selamat, dirinya bisa bekerja hingga 18 jam per hari atau lebih.

"Bahkan, kadang-kadang, saya harus bekerja hingga 30 jam. Saya tidak boleh istirahat maupun duduk kecuali ketika nasi keluar setiap 6 jam," ujar salah satu ABK yang selamat sebagaimana dikutip dari MBC News, Rabu (7/52020).

Bekerja untuk jangka waktu yang tak wajar bukan satu-satunya perkara yang dihadapi ABK tersebut. Selain jam kerja tak wajar, mereka juga dipaksa meminum air laut. Padahal, air laut tak seharusnya diminum karena memicu dehidrasi.

Hal itu kontras dengan yang dialami ABK dan nelayan asal Cina. Mengutip MBC News, sementara ABK Indonesia meminum air laut, nelayan Cina meminum air botol mineral.

"Ketika saya mencoba meminum air laut (yang telah difilter), saya merasa pusing. Tak lama kemudian, sputum mulai keluar di tenggorokan saya," ujar ABK Indonesia lainnya.

Perlakuan yang tak wajar, menurut MBC News, tak ayal berujung pada tewasnya sejumlah ABK asal Indonesia. Dikabarkan ada tiga ABK Indonesia yang meninggal, mereka berinsial A (24), Al (19), dan S (24). Yang tidak terbayangkan oleh ABK Indonesia lainnya, jenazah dilarung ke laut.

Sebelum dilarung, prosesi yang dilakukan pun sederhana. Jenazah hanya dibungkus terpal warna merah, diperciki alkohol, dan kemudian diasapi dengan dupa. Bayangan para ABK Indonesia, jenazah akan dikremasi untuk kemudian dibawa pulang ke Indonesia.

"Sebelum meninggal, ABK tersebut mengaku kakinya bengkak dan mati rasa. Perlahan pembengkakan itu terjadi ke seluruh tubuh dan ia kesulitan bernafas," menurut pengakuan sejumlah ABK yang digaji setara Rp135 ribu per bulan.

Pengacara asal Korea Selatan, Kim Jong Chul, menyampaikan bahwa praktik yang dialami ABK asal Indonesia sudah kerap terjadi. Dan, kata ia, mereka tidak bisa berbuat banyak karena biasanya passport mereka akan ditahan. Itulah kenapa pilihan mereka biasanya hanya antara bertahan atau mati di laut.

"Ini kasus eksploitasi yang sangat sering terjadi. Penahanan dokumen yang membuat mereka terjebak. Selain itu, juga soal ongkos pulang," ujar Jong Chul, dikutip dari MBC News.

Para ABK tersebut baru bisa selamat ketika kapal berlabuh di Busan pada 14 April lalu. Saat menanti keberangkatan berikutnya pada 24 April, salah satu dari mereka menderita sesak nafas hingga kemudian dilarikan ke rumah sakit. Sayang, nyawanya tak terselamatkan. Dari 15 ABK Indonesia tinggal tersisa 14.

Kasus tersebut memicu sorotan dari penegak hukum dan lembaga hak asasi manusia. Mengacu pada protokol internasional untuk pencegahan perbudakan dan eksploitasi, otoritas Korea Selatan bisa menggelar investigasi. ABK yang bertahan meminta Korea Selatan untuk melakukannya secara menyeluruh.

Direktur Perlindungan WNI dari Kementerian Luar Negeri Indonesia, Judha Nugraha, menyebut para ABK itu berasal dari Kapal bernama Long Xing 629. Para ABK Indonesia itu dijadwalkan pulang ke Indonesia pada tanggal 8 Mei nanti.

"Mereka ingin kembali ke Indonesia namun bingung siapa yang membiayai. Kami membantu membelikan tiket pulang untuk tanggal 8 Mei, setelah karantina," ujar Judha. Judha menambahkan bahwa sepanjang Mei sudah ada 705 ABK yang pulang ke Indonesia.

Khusus maslaah jenazah yang dilarung ke laut, Juru Bicara Kemenlu, Teuku Faizasyah, mengatakan insiden itu terjadi saat kapal berada di perairan Selandia Baru. Alhasil, kasus dugaan perbudakan ini diselidiki perwakilan di tiga tempat yaitu Cina, Korea Selatan, dan Selandia Baru.

"Pelarungan jenazah dilakukan di perairan yang masuk wilayah kerja KBRI Selandia Baru. Kemudian, KBRI Beijing menindaklanjuti dengan pemerintah setempat dan KBRI Seoul yang mengurusi penanganan ABK Indonesia, termasuk pemulangan," ujar Faizasyah. (Tempo/MBC NEWS)

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda