kip lhok
Beranda / Berita / Dunia / Akibat Konflik Hamas vs Israel, Kondisi Ekonomi Indonesia Terganggu

Akibat Konflik Hamas vs Israel, Kondisi Ekonomi Indonesia Terganggu

Minggu, 15 Oktober 2023 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi.(Foto: Okezone)


DIALEKSIS.COM | Dunia - Konflik Israel dan Palestina jika terus berkepanjangan, bahkan meluas melibatkan negara lain, maka bisa berdampak besar terhadap perekonomian nasional . Konflik yang berkepanjangan dan meluas akan menaikkan harga minyak dunia .

"Konflik di Timur Tengah yang memanas bisa naikkan harga minyak mentah hingga USD90-92 per barel dengan asumsi ekskalasi konflik meluas dan melibatkan berbagai negara lain," kata Bhima Yudhistira, ekonom Chelios, seperti dilansir di Sindonews, Sabtu (14/10/2023).

Kenaikan harga itu belum memperhitungkan jumlah pemangkasan produksi minyak yang masih dibahas pada pertemuan Saudi Arabia dan Rusia pada November mendatang. 

Jika pemangkasan itu berpengaruh signifikan terhadap pasokan, tentu akan mengerek terus harga minyak. Faktor lain yang juga diperhitungkan oleh Indonesia adalah menguatnya dolar. Saat ini dolar berada di kisaran Rp15.700. Sejumlah pengamat memprediksi dolar masih akan terus menguat hingga akhir tahun akibat kebijakan lanjutan The Fed.

Kemudian faktor lain adalah dolar AS yang menguat menjadi kabar buruk bagi pemain komoditas minyak (sehingga), banyak negara mengurangi permintaan impor karena selisih kurs," jelas Bhima.

Indonesia merupakan negara net importir minyak. Sepanjang Januari-Agustus 2023 saja impor minyak Indonesia menyedot dolar sebesar USD13,11 miliar. Dengan dolar yang bertambah mahal dan harga minyak yang naik, tentu akan semakin memberatkan rupiah.

Mahalnya dolar juga akan membuat para importir di sektor industri lain mengompensasi dengan kenaikan harga produknya di dalam negeri. Tak pelak, imported inflation akan terdampak.

Kenaikan harga minyak juga akan mengerek harga bensin (BBM) di dalam negeri. Kondisi ini bisa membuat keuangan negara kedodoran akibat subsidi energi. Pasalnya, kenaikan harga minyak akan membuat gap antara BBM subsidi dengan yang tidak akan semakin melebar.

Saat ini saja, gap harga antara BBM subsidi dan non-subsidi (Pertalite-Pertamax) mencapai Rp4.000 per liter. Gap yang semakin lebar akan mendorong masyarakat beralih dari BBM non-subsidi ke subsidi.

"Efeknya bisa ke defisit migas yang akan melebar. Beban subsidi energi naik, bahkan terjadi pergeseran konsumen non-subsidi ke BBM subsidi. Gap harganya sudah terlalu jauh antara BBM non-subsidi dan subsidi," jelas Bhima.

Makanya, Menteri ESDM Arifin berharap konflik Israel dan Palestina tak membuat harga minyak mendidih. Arifin maunya harga minyak dunia tak melewati batas USD90 per barel. 

"Jadi minyaknya kemarin USD86 per barel, kemarin sempat tembus USD90 per barel, kita berharap ya jangan naik-naik dari USD90-lah, level situ dululah," katanya.

Memang defisit energi, terutama BBM, bisa dikendalikan lewat kebijakan pembatasan pembelian BBM subsidi, namun di sisi lain kenaikan harga BBM non-subsidi akan mendorong kenaikan inflasi. 

Belum lama ini, BPS mencatat terjadi inflasi secara bulanan (month-to-month/mtm) sebesar 0,19% Tingkat inflasi tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan posisi inflasi bulan sebelumnya. 

“Pada September 2023 terjadi inflasi sebsar 0,19% secara bulanan atau terjadi peningkatan IHK dari 115,22 pada Agustus 2023 menjadi 115,44 pada September 2023,” kata Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti Senin pekan lalu (2/10/2023). 

Amalia menyebut komoditas penyumbang inflasi secara mtm terbesar adalah beras, dengan andil 0,18% dan bensin dengan andil 0,6%.

Menurutnya, faktor bensin terhadap inflasi sejalan dengan penyesuaian BBM nonsubsidi, yakni Pertamax. Yang perlu dicatat juga adalah pelemahahan ekonomi China. Ekonomi Negeri Tirai Bambu diprediksi akan mealami slowdown hingga 2024 mendatang. 

"Dengan outlook pertumbuhan ekonomi 4,4% atau di bawah proyeksi Indonesia yang sebesar 5%," kata Bhima. 

Nah penurunan ekonomi China akan membetot perekonomian nasional. Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengungkap, kontraksi 1% ekonomi China dapat menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia antara 0,3%-0,6%. 

China merupakan salah satu eskposur ekspor terbesar Indonesia. Tahun lalu ekspor Indonesia ke China menembus USD65,9 miliar, tertinggi di ASEAN. Tahun lalu total nilai perdagangan Indonesia-China mencapai USD133,65 miliar, atau naik 17,70% dibandingkan 2021. 

Belitan kenaikan harga minyak, mahalnya dolar, dan slowdownnya ekonomi China akan menimbulkan kerepotan tersendiri buat Indonesia. Akan ada pergeseran inflasi hingga pertumbuhan ekonomi nasional.

Repot Indonesia. Proyeksi inflasi 4-4,5% di akhir 2023, pertumbuhan ekonomi 4,8-5%. Target pemerintah dalam APBN 2023 sulit tercapai," tandas Bhima. [sindonews.com]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda