kip lhok
Beranda / Berita / Dunia / Dugaan Alexei Navalny Diracun, Uni Eropa Ancam Sanksi Rusia

Dugaan Alexei Navalny Diracun, Uni Eropa Ancam Sanksi Rusia

Selasa, 08 September 2020 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

[Foto: Evgeny Feldman/Novaya Gazeta]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Negara-negara Eropa mengancam akan menjatuhi sanksi terhadap Rusia atas dugaan serangan racun zat saraf terhadap pemimpin oposisi, Alexei Navalny.

Pekan lalu, Uni Eropa mengutuk penggunaan racun saraf Novichok yang ditemukan dalam tubuh Navalny. Uni Eropa mengutuk hal tersebut dan mengatakan sebagai sebuah 'pelanggaran serius dalam hukum internasional'.

Uni Eropa juga memperingatkan Moskow dengan kemungkinan "tindakan yang tepat, termasuk melalui tindakan pembatasan".

Seorang diplomat mengatakan, 'tindakan pembatasan' merupakan kode sanksi untuk melarang individu bepergian ke Uni Eropa dan akan membekukan aset yang dimiliki individu di blok tersebut.

Pada 2019, UE telah menambahkan empat anggota Dinas Intelijen Militer (GRU) Rusia ke daftar sanksinya.

Kasus Navalny menyusul serangan terhadap mantan Agen Ganda Rusia, Sergei Skripal dan putrinya yang diracuni pada Maret 2018 di kota Salisbury, Inggris.

Tapi kasus Skripal berbeda dengan Navalny. Serangan terhadap Skripal terjadi di negara anggota UE dan NATO, sedangkan Navalny diracuni di Rusia.

Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Jens Stoltenberg, mengatakan diperlukan "tanggapan internasional", tapi dia menolak berspekulasi tentang kemungkinan bentuk yang akan diambil.

Seorang Ahli Hukum Hubungan Eksternal UE, Steven Blockmans, di Pusat Kajian Kebijakan Eropa yang bermarkas di Brussel mengatakan perbedaan utama lainnya adalah setelah insiden di Salisbury, otoritas Inggris kemudian menemukan agen GRU berada di Inggris.

"Dalam kasus Navalny, tidak ada bukti forensik keterlibatan dinas intelijen Rusia. Pistol rokok masih hilang," ujarnya kepada AFP. 

Dia menuturkan jika intelijen Rusia terlibat dalam peracunan, mereka bisa dikenakan sanksi individu. Tapi mengingat itu terjadi di Rusia, ini akan sulit dibuktikan.

Menurutnya, sanksi terhadap individu harus ketat secara hukum, karena mereka dapat digugat di pengadilan. "Dugaan" saja tidak cukup untuk membenarkan mereka.

Meskipun Novichok dikembangkan oleh militer Soviet dan tidak tersedia secara bebas, tapi fakta penggunaan Novichok saja tidaklah cukup. Sementara itu, UE dan NATO telah menyerukan penyelidikan independen internasional terhadap kasus Navalny.

Rumah Sakit Charite di Berlin, Jerman yang merawat Navalny menyatakan pemimpin oposisi Rusia itu telah melewati masa kritis dan tidak lagi dalam kondisi koma.

"Pasien sudah dikeluarkan dari koma medis dan kini juga sudah lepas dari ventilator mekanis. Dia juga sudah merespons stimulan verbal," demikian pernyataan Rumah Sakit Charite, Senin (7/9).

Koma medis atau induced coma merupakan metode medis untuk membuat pasien tidak sadarkan diri dengan obat bius guna mencegah kerusakan otak.

Pihak rumah sakit menjelaskan bahwa mereka memutuskan untuk menyadarkan Navalny dari koma medis karena kondisinya terus membaik usai diduga diracun dengan agen saraf.

Navalny diduga diracun dalam penerbangan dari Kota Tomsk, Siberia, menuju Moskow, Rusia. Ia sempat dirawat di rumah sakit Siberia sebelum ditransfer ke Jerman.

Setelah proses pemeriksaan lebih lanjut, tim medis Jerman melaporkan bahwa mereka menemukan bukti terdapat kandungan racun saraf Novichok di dalam tubuh Navalny [cnnindonesia].

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda