kip lhok
Beranda / Berita / Dunia / Hutan vs. Pekerja, Dilema Larangan Impor Uni Eropa

Hutan vs. Pekerja, Dilema Larangan Impor Uni Eropa

Sabtu, 16 Maret 2024 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi bendera Uni Eropa. Foto: AFP


DIALEKSIS.COM | Dunia - Keputusan Uni Eropa (UE) untuk melarang impor yang berhubungan dengan deforestasi telah dianggap sebagai tonggak penting dalam kebijakan iklim. Langkah ini dipuji karena dianggap sebagai standar emas dalam upaya melindungi hutan global dan memperangi gas rumah kaca yang berbahaya di atmosfer.

Kebijakan tersebut mengharuskan para pedagang untuk melacak asal-usul berbagai produk, mulai dari daging sapi hingga buku, dari cokelat hingga arang, dan dari lipstik hingga kulit. Bagi UE, langkah ini merupakan bukti komitmennya sebagai pemimpin global dalam perubahan iklim.

Namun, kebijakan ini juga menimbulkan ancaman terhadap mata pencaharian di negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia. Kedua negara tersebut adalah pemasok 85% minyak sawit dunia, salah satu dari tujuh komoditas penting yang terkena dampak larangan UE.

Pertanyaan krusial muncul: Bisakah UE menyelamatkan hutan tanpa mengorbankan lapangan kerja di Indonesia dan Malaysia?

Menurut Pamela Coke-Hamilton, direktur eksekutif International Trade Center yang dikutip oleh New York Times, banyak petani kecil bahkan tidak menyadari larangan tersebut, apalagi tahu bagaimana membuktikan kepatuhan mereka. Situasi ini membuka peluang bagi mereka untuk semakin terpinggirkan dan terjerumus dalam kemiskinan.

Meskipun sejak 1 Januari 2020 semua pelaku bisnis di Malaysia diwajibkan mendapatkan sertifikasi dari Dewan Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia, upaya tersebut tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Meskipun demikian, Malaysia berhasil mempertahankan tingkat deforestasi yang stabil menurut survei tahunan World Resources Institute pada tahun 2022.

Upaya kolaborasi antara Komisi Eropa dan pemerintah Malaysia dan Indonesia juga tengah dilakukan untuk menerapkan aturan deforestasi. Namun, ada tantangan besar terkait persepsi bahwa negara-negara Eropa sedang mendikte kebijakan, serta kebencian terhadap standar ganda yang dianggap diterapkan oleh negara-negara kaya.

Kritik terhadap penegakan standar yang ketat sekaligus perdagangan bebas dan iklim juga muncul. Menteri Lingkungan Hidup Malaysia, Nik Nazmi, menegaskan bahwa suara negara-negara Asia Tenggara, terutama yang berbicara atas kepentingan ekonomi, seringkali tidak didengar dalam dialog internasional.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda