Investigasi Penindasan China Terhadap Muslim Uighur Ditolak ICC
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM - Pejabat Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) tidak akan membuka investigasi atas penindasan China terhadap Muslim Uighur. ICC beralasan hal itu tidak bisa dilakukan karena kurangnya yurisdiksi dalam kasus tersebut.
"Bukan kabar baik bagi kami," kata Presiden Kongres Uighur Dunia Dolkun Isa sebelum mengakui bahwa ICC tidak dalam posisi untuk memeriksa China seperti dikutip dari Washington Examiner, Rabu (16/12/2020).
Pejabat ICC menegaskan posisi mereka dengan menolak permintaan dari kelompok diaspora Muslim Uighur lainnya yang dikenal sebagai Pemerintah Turkestan Timur di Pengasingan, atau ETGE. Pengacara penggugat berharap pengadilan akan memobilisasi untuk melawan deportasi paksa warga Uighur dari negara tetangga Kamboja dan Tajikistan, yang merupakan negara anggota ICC, tetapi pejabat ICC menyatakan bahwa deportasi tersebut berada di bawah ambang kejahatan internasional bahkan jika mereka adalah "pendahulu" atas pelanggaran di China daratan.
"Sementara perilaku para pejabat tersebut mungkin telah berfungsi sebagai pendahulu dari dugaan tindak kejahatan berikutnya di wilayah China, di mana ICC tidak memiliki yurisdiksi," bunyi laporan ICC.
“Tingkah laku yang terjadi di wilayah Negara-Negara Pihak tampaknya, berdasarkan informasi yang tersedia, tidak memenuhi unsur-unsur material dari kejahatan deportasi berdasarkan pasal 7 (1) (d) Statuta Roma,” sambung laporan itu.
Kelompok diaspora Uighur berharap untuk meyakinkan pengadilan untuk mempertimbangkan kembali dengan mengumpulkan lebih banyak informasi tentang deportasi paksa.
"Jaksa penuntut akan menerima bukti lebih lanjut tentang penangkapan warga Uighur di luar negeri oleh Pemerintah China, dan memaksa mereka kembali ke Turkistan Timur (Xinjiang) yang diduduki," tulis ETGE pada hari Selasa menanggapi pengumuman ICC.
"Pengaduan tersebut menjelaskan bahwa kejahatan yang dilakukan terhadap orang Uighur telah meluas dan sistematis," pernyataan itu menambahkan.
Dalam beberapa tahun terakhir, pejabat China telah mendirikan kamp "pendidikan ulang" massal untuk Muslim Uighur, minoritas etnis dan agama yang penganiayaannya ingin dibenarkan oleh Beijing sebagai kontraterorisme. Aktivis Uighur memandang ICC sebagai alternatif dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, di mana kursi China di Dewan Keamanan dan pengaruh politiknya dengan negara-negara otoriter memungkinkan Beijing memblokir sebagian besar inisiatif terhadap nasib Muslim Uighur.
“Ini tentu saja secara luas mencerminkan keterbatasan lembaga multilateral. Ini mencerminkan kemampuan terbatas komunitas internasional untuk melakukan sesuatu,” kata Adrian Zenz, peneliti senior dari Victims of Communism Memorial Foundation.
“Alasan (mendekati) ICC adalah impotensi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mekanisme utama untuk melakukan hal seperti itu seharusnya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan terutama Dewan Hak Asasi Manusia," jelasnya.
Zenz, seorang penyelidik yang dihormati secara internasional atas penindasan China terhadap Uighur, adalah penulis laporan terbaru bahwa pejabat China telah memaksa setidaknya 570.000 orang untuk memetik kapas di Xinjiang. Laporan tersebut menunjukkan cara akuntabilitas yang paling layak, katanya, karena kapas diambil dengan kerja paksa untuk diekspor ke negara-negara Barat dan perusahaan-perusahaan.
"Tekanan harus ada pada industri fashion untuk melakukan sesuatu," ucap Zenz.
“Sekarang, kita tidak perlu menunggu politisi yang lamban dan tidak mau pindah. Sekarang, ini bisa berada di tangan warga dan konsumen serta kelompok advokasi," ujarnya.
Isa pun setuju dengan hal itu. “Kami berharap tidak (ada istilah) 'bisnis seperti biasanya',” ujarnya. "Semua perusahaan di negara Barat harus menghentikan bisnis (dengan Xinjiang)," serunya. (SINDOnews)