DIALEKSIS.COM | Kongo - Setidaknya 32 orang tewas di Republik Demokratik Kongo (RDK), menurut para pejabat, setelah sebuah jembatan di tambang tembaga dan kobalt runtuh akibat kepadatan penduduk.
"Insiden tersebut terjadi di tambang Kalando di Provinsi Lualaba bagian tenggara pada hari Sabtu," ujar Menteri Dalam Negeri provinsi tersebut, Roy Kaumbe Mayonde dalam keterangannya, Minggu (16/11/2025).
“Meskipun ada larangan resmi akses ke lokasi tersebut karena hujan lebat dan risiko tanah longsor, para penambang liar tetap memaksa masuk ke tambang,” kata Mayonde.
Para penambang yang bergegas menyeberangi jembatan darurat, yang dibangun untuk menyeberangi parit yang terendam banjir, menyebabkan jembatan itu runtuh, tambahnya.
Sebuah laporan dari Dinas Dukungan dan Bimbingan Pertambangan Skala Kecil dan Artisanal Republik Demokratik Kongo, atau SAEMAPE, mengatakan tembakan dari tentara di lokasi tersebut telah memicu kepanikan di antara para penambang.
Para penambang kemudian bergegas ke jembatan, mengakibatkan mereka jatuh dan "bertumpuk satu sama lain, menyebabkan kematian dan cedera", katanya.
Meskipun Mayonde menyebutkan korban tewas setidaknya 32 orang, laporan itu mengatakan setidaknya 40 orang telah kehilangan nyawa mereka.
Laporan tersebut mengatakan tambang tersebut telah menjadi inti dari perselisihan yang telah berlangsung lama antara para penambang liar, sebuah koperasi yang seharusnya mengatur penggalian di sana, dan operator resmi lokasi tersebut, yang dikatakan memiliki keterlibatan Tiongkok.
Arthur Kabulo, koordinator provinsi untuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa lebih dari 10.000 penambang liar beroperasi di Kalando.
Pemerintah provinsi menghentikan operasi di lokasi tersebut pada hari Minggu.
Sementara itu, Inisiatif untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia menyerukan penyelidikan independen terhadap peran militer dalam kematian tersebut, dengan mengutip laporan bentrokan antara penambang dan tentara.
Belum ada komentar langsung dari militer.
RDK adalah produsen kobalt terbesar di dunia, mineral yang digunakan untuk membuat baterai litium-ion untuk kendaraan listrik dan produk lainnya, dengan perusahaan-perusahaan Tiongkok mengendalikan 80 persen produksi di negara Afrika tengah tersebut.
Tuduhan pekerja anak, kondisi tidak aman, dan korupsi telah lama menghantui industri pertambangan kobalt di negara tersebut. Kekayaan mineral RDK juga menjadi inti konflik yang telah menghancurkan wilayah timur negara itu selama lebih dari tiga dekade. [News Agencies]