DIALEKSIS.COM | Tokyo - Jepang, negara dengan teknologi pertanian termutakhir dan sistem logistik presisi, ternyata tak kebal dari krisis pangan. Negeri Sakura itu kini limbung dihantam krisis beras terparah dalam sejarah modern, memaksa pemerintah membuka keran impor dan menggelontorkan subsidi darurat. Lonjakan harga hingga dua kali lipat dalam setahun terakhir memicu kepanikan di masyarakat, sekaligus menjadi alarm bagi negara-negara produsen beras, termasuk Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang (MAFF), produksi beras 2023 anjlok ke angka 6,73 juta ton turun 7% dari capaian 7,25 juta ton pada 2022. Padahal, konsumsi domestik tetap tinggi di kisaran 7,36 juta ton per tahun. Defisit ini memicu lonjakan harga yang belum pernah terjadi sebelumnya: satu kantong beras 5 kilogram di Tokyo meroket hingga JPY 4.000 (Rp446.000), atau sekitar Rp89.376 per kilogram.
“Ini situasi luar biasa. Jepang bahkan harus mengimpor 100.000 ton beras dari Vietnam dan Thailand awal tahun ini, sesuatu yang sangat langka,” ujar analis pertanian Universitas Tokyo, Kenji Yamamoto.
Badan Meteorologi Jepang mencatat, musim panas 2023 menjadi yang terpanas sejak 1898. Gelombang panas berkepanjangan merusak pertumbuhan padi, terutama di prefektur barat seperti Kyushu dan Shikoku. Namun, masalah struktural justru lebih mengkhawatirkan: lebih dari 70% petani Jepang berusia di atas 60 tahun, sementara generasi muda enggan melanjutkan profesi bertani. Data Sensus Pertanian 2020 menyebut, jumlah rumah tangga petani menyusut hampir separuh dalam dua dekade terakhir.
“Anak muda lebih memilih kerja di perkotaan. Lahan pertanian pun tergerus: 400.000 hektare sawah hilang dalam 20 tahun, beralih jadi kawasan industri dan perumahan,” papar Yamamoto.
Di tengah krisis Jepang, Menteri Koordinator Pangan Indonesia Zulkifli Hasan mengklaim produksi beras dalam negeri hingga April 2025 mencapai 13,9 juta ton jauh di atas kebutuhan konsumsi 2,6 juta ton per bulan.
“Insya Allah, kita tidak perlu impor hingga 2026,” tegas Zulhas, optimis dengan penyerapan 1,5 juta ton beras petani oleh Bulog.
Namun, Zulhas mengingatkan: “Jepang bukti bahwa produksi besar hari ini tak menjamin ketahanan pangan esok. Jika petani tak dihargai dengan harga adil, mereka bisa berhenti menanam.”
Pemerintah Indonesia kini menggenjot sistem pangan berbasis desa lewat Koperasi Kelurahan (Kopdes), yang mengintegrasikan distribusi pupuk hingga sembako. Namun, Zulhas menekankan, Kopdes harus didukung empat langkah krusial:
Krisis Jepang mengingatkan betapa tradisi kuliner berbasis beras seperti onigiri, sushi, hingga mochi bisa terancam jika pasokan terus merosot. Indonesia pun, dengan nasi sebagai makanan pokok 270 juta jiwa, harus waspada.
“Swasembada sejati bukan soal berapa ton beras di gudang hari ini, tapi apakah kita masih bisa menanam dan menuai 10 - 15 tahun ke depan,” tegas Zulhas.
Ahli pangan Institut Pertanian Bogor, Prima Gandhi, menambahkan: “Jepang mengajarkan, krisis datang diam-diam. Indonesia punya waktu, tapi tak boleh lengah. Jika petani tak sejahtera, mochi Jepang dan serabi Indonesia bisa sama-sama jadi kisah usang di buku sejarah.”