DIALEKSIS.COM | Aceh - Gejolak politik di Nepal yang berujung kerusuhan dan membuat pemerintahan goyah menyisakan pelajaran penting bagi daerah lain, termasuk Aceh. Akademisi UIN Ar-Raniry, Dr. Teuku Zulkhairi, M.A., menilai tragedi politik di Kathmandu tak bisa dibaca sekadar sebagai berita luar negeri, melainkan refleksi bagaimana rapuhnya stabilitas jika aspirasi publik diabaikan.
“Demo yang awalnya damai bisa berubah chaos karena pemerintah lalai merespons tuntutan rakyat, dan aparat bertindak represif. Itu menjadi alarm bagi daerah yang pernah berkonflik seperti Aceh, agar tidak mengulangi kesalahan serupa,” kata Zulkhairi kepada Dialeksis, Sabtu, 13 September 2025.
Berdasarkan laporan media internasional, ada tiga faktor utama yang memicu kolapsnya pemerintahan Nepal. Pertama, akumulasi krisis ekonomi, mulai dari inflasi, harga kebutuhan pokok, hingga pengangguran yang menekan masyarakat. Kedua, lemahnya institusi negara dan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat maupun elit politik. Ketiga, adanya insiden pemicu di lapangan yang memicu ledakan amarah massa.
Kronologi mencatat, aksi yang semula damai meluas menjadi kerusuhan setelah terjadi bentrok dengan aparat. Fasilitas publik terbakar, penjarahan marak, dan situasi keamanan tak terkendali. Pemerintah baru merespons dengan pengerahan kekuatan keamanan lebih besar, langkah yang justru memperdalam krisis kepercayaan.
Zulkhairi menyebutkan, kondisi Nepal mencerminkan rapuhnya bangunan politik ketika saluran dialog buntu. “Aceh harus belajar bahwa keadilan sosial, transparansi, dan mekanisme partisipatif bukan sekadar jargon. Ia menjadi fondasi menjaga stabilitas,” ujarnya.
Menurutnya, ada lima pelajaran utama bagi Aceh, respons cepat terhadap aspirasi rakyat, terutama isu ekonomi, penguatan institusi hukum dan keamanan agar tidak represif, manajemen krisis yang terukur untuk mencegah eskalasi, komunikasi publik yang jujur guna meredam kabar bohong, dan solidaritas sosial sebagai penopang masyarakat di masa krisis.
Aceh, kata Zulkhairi Wakil Ketua Majelis Akreditasi Dayah Aceh (MADA), pernah menjadi saksi bagaimana konflik bisa menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Perdamaian pasca-MoU Helsinki harus dirawat dengan kesadaran penuh.
“Nepal menunjukkan kepada kita, betapa mudahnya sebuah negara jatuh dalam kekacauan jika pemerintah tidak hadir secara adil dan responsif. Aceh tidak boleh lengah,” ucapnya.
Ia menutup dengan peringatan, stabilitas bukanlah hadiah permanen, melainkan hasil kerja terus-menerus. “Jika kita abai, pengalaman Nepal bisa terulang di sini dalam bentuk lain," pungkas mantan Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).