kip lhok
Beranda / Berita / Dunia / Pelopor Kemanusiaan: Jejak Solidaritas Nelson Mandela dan Afrika Selatan Terhadap Palestina

Pelopor Kemanusiaan: Jejak Solidaritas Nelson Mandela dan Afrika Selatan Terhadap Palestina

Minggu, 14 Januari 2024 23:50 WIB

Font: Ukuran: - +

Nelson Mandela. Foto: nbritannica.com


DIALEKSIS.COM | Dunia - Nelson Mandela dan Palestina punya cerita. Hampir dua pekan setelah dibebaskan dari penjara pada tahun 1999, dia terbang ke Zambia untuk bertatap muka dengan para pemimpin Afrika yang mendukung perjuangannya melawan sistem apartheid yang memaksa segregasi rasial di Afrika Selatan.

Salah satu sosok yang tidak sabar menunggu untuk menyambut Mandela di landasan bandara adalah pemimpin Palestina saat itu, Yasser Arafat. Dia kemudian memeluk Mandela dan mencium kedua pipinya, gestur yang dimaknai sebagai wujud solidaritas antar dua pemimpin yang bangsanya sama-sama berjuang mencapai kebebasan.

Hingga hari ini, rakyat Afrika Selatan terus mendukung perjuangan Palestina. Melalui langkah berani, Afrika Selatan menyeret kasus dugaan genosida oleh Israel terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza ke Mahkamah Internasional (ICJ).

Afrika Selatan sendiri bukanlah negara dengan kekuatan diplomasi tinggi dan secara geografis jauh dari konflik. Namun, Partai Kongres Nasional Afrika (ANC) yang berkuasa dan sempat dipimpin Mandela, terus mempertahankan sikap pro-Palestina setelah Mandela meninggal pada tahun 2013.

"Kami telah berdiri bersama rakyat Palestina dan kami akan terus berdiri bersama saudara-saudari kami di Palestina," ujar cucu Mandela, Mandla Mandela, dalam aksi pro-Palestina di Cape Town pada Oktober 2023 seperti dilansir AP, Minggu (14/1/2024).

Mandla adalah anggota parlemen dari ANC. Saat berbicara di hadapan massa dalam demonstrasi pro-Palestina beberapa hari pasca perang Hamas Vs Israel meletus itu, dia tampil mengenakan keffiyeh di lehernya.

Retorika Anti-Israel Menguat

Mandela secara rutin mengangkat penderitaan rakyat Palestina. Tiga tahun setelah apartheid dan pemerintahan minoritas kulit putih dibubarkan di Afrika Selatan dan Mandela terpilih sebagai presiden dalam pemilu bersejarah semua ras pada tahun 1994, dia tidak hanya berterima kasih kepada komunitas internasional atas bantuannya.

"Tetapi, kami tahu betul bahwa kebebasan kami tidak lengkap tanpa kebebasan rakyat Palestina," tambahnya saat itu.

Mandela dan para pemimpin Afrika Selatan setelahnya membandingkan pembatasan yang diterapkan Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat dengan perlakuan terhadap warga kulit hitam Afrika Selatan selama apartheid. Dia menggambarkan keduanya sebagai isu mendasar mengenai orang-orang yang tertindas di tanah air mereka.

Israel disebut menyediakan sistem senjata kepada pemerintah apartheid Afrika Selatan dan mempertahankan hubungan militer rahasia dengan negara tersebut hingga pertengahan tahun 1980-an, bahkan setelah secara terbuka mengecam apartheid.

ANC telah secara konsisten mengkritik Israel sebagai negara apartheid, bahkan sebelum perang Hamas Vs Israel terjadi.

"Kelompok hak asasi manusia internasional juga menuduh Israel melakukan kejahatan apartheid terhadap warga Palestina dan hal itu sangat berpengaruh pada Afrika Selatan," kata pengacara hak asasi manusia Afrika Selatan Thamsanqa Malusi.

Malusi menuturkan banyak orang di pemerintahan Afrika Selatan yang mengalami penindasan apartheid dan hal ini dapat membantu menjelaskan keputusan pemerintah untuk mengajukan kasus terhadap Israel ke pengadilan tinggi PBB.

Israel dengan tegas menolak karakterisasi itu dan mengklaim bahwa minoritas Arab di sana mempunyai hak-hak sipil penuh.

Meskipun Mandela, negarawan pemenang Nobel Perdamaian juga berupaya mendorong solusi damai, retorika anti-Israel di Afrika Selatan semakin menguat selama bertahun-tahun, terkadang merembet ke dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, sayap pemuda ANC menekan jaringan toko kelontong di Afrika Selatan untuk menghentikan produk-produk Israel dan mengancam akan menutup paksa toko-toko tersebut jika mereka tidak mengindahkannya.

Palestina: Terima Kasih Afrika Selatan

Serangan Israel terhadap Jalur Gaza memicu solidaritas baru terhadap perjuangan Palestina di Afrika Selatan. Ribuan orang berdemonstrasi di Cape Town dan Johannesburg, sementara bangunan-bangunan di lingkungan Bo Kaap di Cape Town dihiasi dengan grafiti pro-Palestina pada minggu-minggu setelah perang terbaru pecah.

Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa – pemimpin ANC saat ini – mengkritik Israel dan Hamas atas apa yang dia sebut sebagai kekejaman yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam konflik tersebut. Namun, dia juga muncul di depan umum dengan mengenakan keffiyeh dan memegang bendera Palestina, bahkan saat dia menyampaikan belasungkawa kepada Israel atas serangan Hamas pada 7 Oktober, sehingga tidak diragukan lagi di mana letak simpati Afrika Selatan.

Para pejabat ANC, termasuk Mandla, menjadi tuan rumah bagi tiga pejabat Hamas di Afrika Selatan bulan lalu, termasuk perwakilan utama kelompok itu di Iran. Mereka menghadiri upacara peringatan 10 tahun kematian Nelson Mandela sebagai penghormatan atas hubungan bersejarahnya dengan perjuangan Palestina.

Bagaimanapun, kunjungan petinggi Hamas ke Afrika Selatan tidak disambut baik semua pihak. Partai oposisi utama melabeli kelompok itu sebagai organisasi teroris, seperti halnya mayoritas negara Barat. Mereka juga dilaporkan menilai dukungan terhadap Palestina di Afrika Selatan telah memperumit konotasi rasial.

Pada Rabu (10/1), menjelang persidangan ICJ, warga Palestina di Kota Ramallah, Tepi Barat, berkerumun di sekitar patung Mandela, mengibarkan bendera Palestina dan Afrika Selatan dan memegang tanda bertuliskan: "Terima Kasih Afrika Selatan".

Bergantung pada DK PBB

Pemerintah Afrika Selatan menjelaskan pihaknya mengambil sikap moral dalam kasus dugaan genosida terhadap Israel, yang diawali dengan desakan munculnya perintah agar Israel menghentikan operasi militernya di Jalur Gaza yang telah menewaskan lebih dari 23.300 rakyat Palestina.

Israel membantah keras tuduhan genosida. Mereka mengaku bahwa perang di Jalur Gaza adalah tindakan membela diri pasca serangan Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan, yang menurut mereka menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera sekitar 250 orang - 110 sandera telah dibebaskan.

Selain itu, Israel mengklaim tindakannya mematuhi hukum internasional dan mereka telah melakukan yang terbaik untuk mencegah kerugian terhadap warga sipil. Mereka menyalahkan Hamas karena beroperasi dari wilayah permukiman dan menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia.

Sidang dengar pendapat oleh ICJ telah berlangsung, di mana sesi Afrika Selatan digelar pada Kamis (11/1) dan sesi Israel pada Jumat (12/1).

Belum dapat dipastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan ICJ untuk menghasilkan keputusan final, yang sekalipun mengikat dan tidak dapat diajukan banding, namun bergantung pada Dewan Keamanan (DK) PBB untuk menegakkannya.  [liputan6.com]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda