DIALEKSIS.COM | Jakarta - Sarah Al-Awady (18) masih mengingat jelas pagi itu. Tanggal 22 Oktober 2023, remaja asal Al-Zawaida, Gaza, sedang duduk bersama keluarganya di kamp pengungsian ketika suara drone Israel mengguncang langit. Sebuah peluru menghujam kepalanya. "Rasanya seperti dipukul batang besi," kenangnya dalam wawancara eksklusif dengan CBS News.
Keluarga langsung membawanya ke Rumah Sakit Shuhada al-Aqsa. Namun, kondisi perang yang memporak - porandakan Gaza membuat pasokan medis nyaris habis. Dokter hanya bisa memastikan ada peluru berkarat tertanam di belakang mata kanannya.
"Mereka bilang tak bisa mengoperasi. Tak ada alat," ujar Sarah, suaranya bergetar.
Selama empat bulan, Sarah bertahan di rumah sakit dengan obat pereda nyeri. Infeksi mengintai setiap hari. Upaya mencari bantuan ke luar negeri kandas: "Banyak yang bilang, ‘Kami menunggu lebih lama’," tuturnya.
Hingga secercah harapan datang dari Dr. Mohamed Tawfik, relawan medis asal Mesir. Bersama ayahnya, Ahmed Tawfik—dokter mata berpengalama ia berusaha membantu, tetapi blokade Israel di perbatasan Rafah menghalangi.
"Kasus ini seperti milik saya sendiri. Saya terus pantau kondisinya," kata Ahmed lewat sambungan telepon. Namun, agresi Israel yang terus memanas membuat rencana itu tertunda.
Januari 2024, gencatan senjata Israel-Hamas membuka pintu evakuasi. Pada 8 Februari, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberitahu Sarah: ia bisa ke Mesir esok hari. "Saya menangis. Ini keajaiban," ujarnya.
Di Rumah Sakit Al Nour, Provinsi Sharqia, Mesir, tiga tim spesialis dokter mata, bedah saraf, dan radiologi bersatu. Tantangannya besar: mengeluarkan peluru berkarat seukuran kacang almond yang nyaris menempel saraf optik. "Lokasinya terbaik untuk pasien, terburuk untuk kami," kata Dr. Mohamed Khaled Shawky, ahli radiologi.
Mereka merancang simulasi 3D untuk memetakan jalur aman. "Jika meleset 1 milimeter, penglihatan atau otaknya bisa rusak permanen," jelas Shawky. Dr. Tawfik pun jujur: "50% peluang sukses. Risiko perdarahan atau kebutaan ada."
Sarah memilih bertaruh. "Saya masuk ruang operasi sambil tertawa. Tim dokter memberi saya keberanian," ceritanya.
Operasi minggu lalu berjalan 3 jam. Dokter mengakses peluru melalui rongga mata, menghindari otak. Yang mengejutkan: karat peluru telah memicu abses dan infeksi parah. "Luka dalamnya seperti terowongan," ungkap Tawfik.
Kini, Sarah dalam pemulihan. Infeksi mereda, penglihatan kanannya stabil. "Dia minum obat dan mulai ceria lagi," kata Tawfik. Tim medis optimis ablasi retina bisa diperbaiki seiring waktu.
Sarah berterima kasih pada nasib baiknya. "Banyak yang tak seberuntung saya. Gaza masih hancur, tapi saya percaya ada cahaya setelah gelap," ucapnya.
CBS News meminta konfirmasi ke Pasukan Pertahanan Israel (IDF) soal penggunaan drone bersenjata di Gaza. IDF menyatakan, "Operasi kami patuh hukum internasional, hanya targetkan militer." Namun, mereka tak memberi detail spesifik terkait insiden Sarah.
Di Gaza, kisah Sarah menjadi simbol ketahanan warga sipil. Data PBB menyebut 70% fasilitas kesehatan di Gaza rusak berat sejak Oktober 2023. Ribuan warga masih mengantre evakuasi medis.
"Sarah beruntung bisa keluar. Tapi tanpa gencatan senjata yang diperpanjang, banyak nyawa tak akan terselamatkan," pungkas Ahmed Tawfik.