DIALEKSIS.COM | Myanmar - Serangan udara terhadap sebuah biara Buddha di wilayah Sagaing, Myanmar tengah, menewaskan sedikitnya 23 orang yang berlindung di kompleks tersebut, ungkap beberapa sumber.
Serangan udara yang terjadi pada Jumat malam (11/7/2025) terhadap biara budha di Desa Lin Ta Lu, Kotapraja Sagaing, wilayah Sagaing, melukai sekitar 30 orang lainnya, 10 di antaranya dalam kondisi kritis, menurut seorang anggota kelompok perlawanan.
Anggota perlawanan tersebut, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan kepada The Associated Press bahwa 23 warga sipil, termasuk empat anak-anak, tewas setelah sebuah jet tempur menjatuhkan bom sekitar pukul 01.00 dini hari di sebuah bangunan di biara desa tersebut, tempat lebih dari 150 orang dari desa-desa terdekat berlindung untuk menghindari pertempuran di wilayah tersebut dalam beberapa pekan terakhir.
Media daring independen Myanmar, Democratic Voice of Burma, melaporkan bahwa jumlah korban tewas bisa mencapai 30 orang. Informasi ini belum dapat dikonfirmasi.
Militer tidak segera mengomentari insiden di biara tersebut, yang terletak sekitar 35 km (20 mil) di barat laut Mandalay, kota terbesar kedua di negara itu. Sebelumnya, militer menyatakan hanya menyerang target perang yang sah, menuduh pasukan perlawanan sebagai teroris.
Myanmar telah dilanda kekacauan sejak militer merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021, yang memicu perang saudara. Setelah demonstrasi damai ditumpas dengan kekuatan mematikan, banyak penentang pemerintahan militer mengangkat senjata, dan sebagian besar wilayah negara kini terlibat konflik.
Militer semakin gencar menggunakan serangan udara untuk melawan pasukan oposisi, termasuk Pasukan Pertahanan Rakyat (PDU) yang bersenjata di wilayah Sagaing, benteng perlawanan bersenjata. Perlawanan tersebut tidak memiliki pertahanan yang efektif terhadap serangan udara.
Serangan di biara tersebut terjadi beberapa minggu setelah ratusan tentara terlibat dalam serangan dengan tank dan berbagai pesawat di wilayah sekitar lima kilometer (tiga mil) dari Lin Ta Lu untuk merebut kembali wilayah yang dikuasai kelompok perlawanan.
Ribuan orang dari desa-desa terdekat mengungsi ke kota-kota dan desa-desa lain, termasuk Lin Ta Lu, kata pejuang perlawanan tersebut.
Nay Phone Latt, juru bicara Pemerintah Persatuan Nasional oposisi, mengatakan kepada AP bahwa rezim militer telah berupaya merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai perlawanan menjelang pemilihan umum yang direncanakan akhir tahun ini. Pemilu ini secara luas dipandang sebagai upaya untuk menormalisasi perebutan kekuasaan oleh militer melalui kotak suara dan untuk memberikan hasil yang memastikan para jenderal tetap memegang kendali. [*]