DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Persoalan pemberian dana Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pembangunan Aceh (PEMA) kepada Universitas Trisakti Jakarta masih terus bergulir di ruang publik.
Dukungan sebesar Rp20 juta dalam rangka Dies Natalis ke-60 universitas ternama itu sempat memunculkan persepsi simpang siur, seolah-olah PT PEMA mengabaikan kepentingan masyarakat Aceh.
Menanggapi hal tersebut, akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) sekaligus pengamat kebijakan publik dan politik Aceh, Dr. Nasrul Zaman, ST., M.Kes., menilai langkah PT PEMA itu sah secara konsep CSR dan justru bisa memberi nilai positif jangka panjang bagi Aceh.
“Kalau kita bicara CSR, maka orientasinya memang kepada pihak-pihak yang terdampak langsung oleh aktivitas industri. Namun dalam konteks ini, memberikan CSR untuk institusi pendidikan, apalagi yang relevan dengan bidang kerja PEMA, itu juga sesuatu yang sah dan bermanfaat. Jadi menurut saya, tidak ada masalah,” ujar Nasrul Zaman kepada media, Selasa (9/9).
Menurut Nasrul, besaran Rp20 juta yang disalurkan ke Universitas Trisakti tidaklah signifikan jika dibandingkan dengan potensi manfaat yang bisa lahir dari kerja sama pendidikan.
Apalagi, Trisakti memiliki jurusan yang sangat relevan dengan bisnis PEMA, seperti Teknologi Kebumian, Energi, hingga Arsitektur Lanskap.
“Jumlah Rp20 juta itu relatif kecil. Tapi yang lebih penting adalah nilai strategisnya. Dengan adanya CSR itu, PEMA bisa membangun komunikasi dan kemitraan dengan fakultas pertambangan atau teknik di Trisakti. Itu investasi hubungan kelembagaan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti aspek emosional yang terbangun, mengingat ada banyak mahasiswa asal Aceh yang menempuh pendidikan di Universitas Trisakti.
Selain itu, Universitas Trisakti juga memiliki jejak kuat dengan Aceh. Syarif Thayeb, tokoh asal Aceh, merupakan salah satu pendiri Universitas Trisakti sekaligus pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
"Ada anak-anak Aceh yang kuliah di sana. Dengan adanya CSR ini, otomatis ada kedekatan emosional yang terjalin. Jadi saya pikir itu langkah positif, bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan,” tambahnya.
Dalam pandangan Nasrul Zaman, menyalurkan CSR ke sektor pendidikan sejatinya adalah bentuk investasi sosial. Ia menekankan bahwa apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan, baik riset maupun kualitas sumber daya manusia, pada akhirnya akan memberi dampak balik yang konstruktif bagi PEMA dan Aceh.
“Kalau ke pendidikan, kita tidak bisa melihatnya semata-mata dari aspek lokasi atau lingkup wilayah. Pendidikan itu investasi. Manfaatnya bisa kembali ke Aceh dalam bentuk peningkatan SDM, riset, atau peluang kerja sama akademik. Jadi langkah PEMA ke Trisakti harus dibaca dalam kerangka itu,” paparnya.
Meski demikian, Nasrul menyarankan agar PT PEMA lebih aktif mensosialisasikan program CSR-nya kepada publik. Dengan begitu, tidak terjadi salah persepsi yang berlarut-larut.
“Polemik ini bisa jadi pelajaran penting. Saran saya, PEMA harus membuka ruang komunikasi yang lebih luas, baik dengan masyarakat maupun lembaga pendidikan di Aceh. Publikasi kegiatan CSR secara transparan akan mengurangi potensi kecurigaan,” ucapnya.
Ia juga menekankan bahwa kemitraan dengan kampus-kampus nasional seperti Trisakti jangan dilihat sebagai pengabaian terhadap Aceh, melainkan sebagai upaya memperluas jaringan.
“Selama mayoritas CSR tetap diprioritaskan untuk masyarakat Aceh, menurut saya tidak ada masalah kalau sebagian kecil diarahkan ke institusi pendidikan nasional. Itu bagian dari strategi promosi sekaligus investasi jangka panjang,” tutup Nasrul.