DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemadaman listrikyang berlarut-larut di Aceh sejak Senin sore, 29 September 2025, memukul telak sektor usaha. Salah satu yang paling merasakan dampaknya adalah industri percetakan.
Ketua Asosiasi Grafika Aceh, Tarmizi, mengatakan krisis listrik kali ini membuat banyak percetakan di daerah itu tidak bisa beroperasi.
Mesin-mesin pencetak buku, majalah, hingga dokumen perkantoran berhenti total. Akibatnya, jadwal produksi berantakan dan pengusaha menanggung kerugian yang tidak kecil.
“Ini sangat memengaruhi dari semua aspek, mulai dari jam operasional hingga target pemasukan,” kata Tarmizi saat dihubungi media dialeksis.com, Rabu, 1 Oktober 2025.
Menurut dia, para pekerja tetap masuk kerja sebagaimana biasa. Namun, tanpa aliran listrik, mereka tidak bisa menjalankan pekerjaan yang seharusnya menghasilkan pendapatan bagi perusahaan.
“Karyawan hadir, tapi operasional produktif tidak berjalan. Perusahaan tetap menanggung beban gaji dan biaya operasional, sementara income tidak ada,” ujarnya.
Kondisi tersebut kian pelik karena berimbas langsung pada hubungan dengan pelanggan. Banyak klien terpaksa menunda atau bahkan membatalkan pesanan mereka.
“Tentu saja ini sangat merugikan perusahaan. Orderan tertunda, pemasukan hilang,” kata Tarmizi.
Asosiasi Grafika memperkirakan kerugian yang ditanggung tiap perusahaan percetakan akibat tidak beroperasi bisa mencapai jutaan hingga puluhan juta rupiah per hari. Jika pemadaman terus berlanjut, potensi kerugian akan semakin membengkak.
Yang lebih mengkhawatirkan, kata Tarmizi, adalah risiko kerusakan mesin produksi bila listrik padam dan menyala secara tidak stabil.
Mesin percetakan berkapasitas besar yang bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah sangat rentan terhadap lonjakan arus.
“Sejauh ini kami belum mendapat laporan ada mesin yang rusak. Tapi jika itu terjadi, kerugian bisa menembus ratusan juta. Itu akan menjadi beban yang luar biasa berat bagi pengusaha,” ucapnya.
Pemadaman listrik berkepanjangan ini menjadi catatan serius bagi dunia usaha di Aceh. Bagi industri percetakan, listrik adalah nadi yang menentukan hidup-matinya produksi.
“Kalau situasi ini terus berulang, sulit membayangkan bagaimana percetakan bisa bertahan,” tutur Tarmizi.