Senin, 23 Juni 2025
Beranda / Ekonomi / Bisnis Warung Kupi Melejit Tapi Banyak Bangkrut, Ini Pesan Pemerhati Budaya Aceh

Bisnis Warung Kupi Melejit Tapi Banyak Bangkrut, Ini Pesan Pemerhati Budaya Aceh

Senin, 23 Juni 2025 13:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Pemerhati Budaya dan Sosial Aceh, Murthalamudin. [Foto: net]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Fenomena menjamurnya warung kopi (warung kupi) dan usaha kuliner khas Aceh seperti mie Aceh dan mie Bangladesh menjadi sorotan tajam berbagai kalangan.

Pemerhati Budaya dan Sosial Aceh, Murthalamudin mengungkapkan bahwa booming-nya usaha ini di berbagai daerah, termasuk di luar Aceh seperti Medan dan Jakarta, tak selalu menjadi jaminan kesuksesan. Bahkan sebaliknya, banyak yang berujung pada kebangkrutan dan tutup usaha.

"Saya melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang memerlukan evaluasi serius. Banyak yang latah membuka warung kupi hanya karena melihat yang lain ramai. Padahal, usaha itu bukan hanya soal ikut-ikutan, tapi perlu perhitungan yang matang," katanya dalam video viral yang diunggahnya di akun tiktok miliknya @abulaoot dilansir media dialeksis.com.

Ia menjelaskan bahwa banyak warung kopi dan mie Aceh dibuka dalam semangat euforia bisnis kuliner Aceh yang sedang naik daun. Namun, setelah beberapa waktu, banyak yang sepi pengunjung dan akhirnya gulung tikar.

"Penyebabnya, karena hanya ikut tren, bukan karena hitung-hitungan bisnis yang matang," katanya.

Menurutnya, pola yang terjadi adalah pelanggan hanya berpindah-pindah dari satu warung kopi ke warung lainnya, tanpa pertambahan signifikan dalam jumlah konsumen.

"Yang terjadi bukan penambahan pasar, tapi perpindahan pasar. Akibatnya, tidak semua bisa bertahan, dan hanya yang kuat dari sisi brand dan pengalaman manajemen yang bisa survive," tegas Murthalamudin.

Ia menekankan pentingnya diversifikasi usaha sebagai strategi bertahan. Menurutnya, membuka warung kopi atau mie Aceh tidak cukup hanya dengan menyajikan menu yang sama seperti lainnya.

"Harus ada keunikan, entah itu konsep tempat, suasana, kualitas pelayanan, atau bahkan kolaborasi dengan usaha lain yang bisa menopang bisnis utamanya," jelasnya.

Murthalamudin memberikan contoh brand tertentu seperti Solong Coffee yang berhasil bertahan karena memiliki identitas kuat dan pengalaman panjang. "Yang bertahan itu biasanya yang sudah punya brand kuat atau punya diferensiasi yang jelas. Bukan yang asal ikut-ikutan."

Ia memperingatkan masyarakat agar tidak gegabah berinvestasi hanya karena melihat satu dua warung ramai. Banyak yang membuka usaha dengan modal pinjaman bank atau menjual aset pribadi, namun akhirnya gagal karena tak mampu mengelola bisnisnya.

"Ini yang saya sebut sebagai 'tanjuk bagop' -- semangat tinggi tanpa kontrol, dan akhirnya membawa pada kerugian besar," ungkapnya.

Tak hanya itu, kondisi ekonomi global yang masih belum stabil, menurutnya, harus menjadi bahan pertimbangan serius.

“Kita tidak bisa mengabaikan situasi global, perang dagang, krisis energi, bahkan pengaruh geopolitik. Semua itu berdampak ke daya beli masyarakat dan kemampuan pasar dalam menyerap produk usaha,” paparnya.

Murthalamudin menyarankan, daripada membuka warung kopi baru yang belum tentu bertahan, lebih baik memperkuat yang sudah ada, atau memilih investasi yang memiliki analisa dan perencanaan matang.

"Kadang niatnya mau dapat laba, tapi malah jadi pintu rugawan yang mengganggu ekonomi keluarga. Oleh karena itu, berhati-hatilah. Jangan buka usaha hanya karena boming, tapi pikirkan keberlanjutannya," tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
dpra