DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Aceh adalah negeri yang dianugerahi alam yang kaya. Namun, akibat salah pilih rute jalan, yang terjadi justru bencana yang terjadi, saban tahun.
Kecuali migas, ekonomi ekstraktif dengan mengeruk sumberdaya mineral di dalam perut bumi adalah pilihan yang sangat berisiko.
Ekstraksi mineral yang berada di dalam perut bumi jelas merusak dan mengancam keberlangsungan potensi green economy yang berada di atasnya.
Buktinya sudah banyak. Degradasi daya dukung alam dan lingkungan yang berujung bencana sudah sering terjadi di berbagai wilayah di Aceh.
Untuk itu, penting ditimbang ulang gagasan baru yang berujung hadirnya kegiatan ekonomi berbasis ekstraktif. Sekalipun dibungkus dengan lebel legal atau merek green mining, itu tetap saja merusak potensi green economy yang ada di atas perut bumi.
Hal itu disampaikan Bulman Satar dalam diskusi jarak jauh UBA, dengan topik “Rute Jalan Aceh: Black Economy atau Green Economy?”, Jumat (11/4) pagi.
“Jika Aceh bisa maju, kaya, makmur, dan sejahtera dengan mengandalkan green & blue economy mengapa harus memilih black economy yang berisiko merusak alam dan mengancam keberlanjutan hajat hidup lintas generasi anak cucu bansa Aceh ke depan?,” paparnya.
Untuk itu, Bulman menganjurkan untuk berpegang pada paradigma pembangunan pembangunan ekonomi produktif, kreatif, dan inovatif dengan mengolah dan memberi nilai tambah atas potensi ekonomi hijau dan biru yang kita miliki, seperti pertanian, perkebunan, pariwisata, dan perikanan, plus perdagangan.
Hanya saja, mengingat daya dukung anggaran Aceh yang sudah menyusut maka pendekatan program berbasis wilayah sudah tidak tepat. Harus diganti berbasis zona atau kawasan, seperti Basajan, Pesisir Utara-Timur, Pesisir Barat-Selatan, dan Poros Tengah Dataran Tinggi Gayo-Alas.
“Kembangkan program strategis dan champion berbasis keunggulan daerah, jadikan sebagai episentrum pertumbuhan ekonomi di di masing-masing zona kawasan tersebut,” sarannya.
Syarat dukung paling utama jelas harus dipakai pendekatan kerja secara terintegrasi (terpadu), terkoneksi (terhubung) dan terkomplementasi (saling memperkuat dan melengkapi), lintas sektoral dan lintas wilayah.
“Semua program baik di tingkat provinsi maupun kabupeten dikembangkan dan dikelola dengan pendekatan ini agar tidak terpolarisasi dan bergerak sendiri- sendiri, namun berjalan seiring dalam satu frekuensi hingga mengkristal dan solid menjadi satu modalitas dan kekuatan besar menjadikan Aceh lebih baik,” tutupnya. []