Kamis, 30 Oktober 2025
Beranda / Ekonomi / DJP Aceh Temukan Rendahnya Kepatuhan Pajak Sektor Tambang

DJP Aceh Temukan Rendahnya Kepatuhan Pajak Sektor Tambang

Rabu, 29 Oktober 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Kepala Bidang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Aceh, Anang Anggarjito. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kepala Bidang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Aceh, Anang Anggarjito, mengungkapkan dari sekitar 700 perusahaan tambang yang terdaftar di Aceh mulai dari sektor batubara, emas, pasir, hingga bijih besi hanya 45 perusahaan yang aktif membayar pajak.

“Tercatat ada 700 wajib pajak di berbagai bidang pertambangan. Tapi dari data kami, yang melakukan pembayaran pajak hanya sekitar 45 wajib pajak,” ujar Anang dalam diskusi publik bertajuk Masa Depan Pertambangan Aceh, Harapan atau Ancaman? yang digelar di Banda Aceh, Selasa (28/10/2025).

DJP Aceh juga menemukan adanya potensi kebocoran penerimaan pajak, karena banyak perusahaan yang beroperasi di Aceh tetapi terdaftar sebagai wajib pajak di luar provinsi, seperti di Jakarta.

“Kurang lebih 30 persen wajib pajak pertambangan tambangnya ada di Aceh, tapi mereka terdaftar di luar. Ini artinya potensi penerimaan dari Pajak Penghasilan dan Pajak Bumi dan Bangunan bisa hilang dari Dana Bagi Hasil (DBH) untuk Aceh,” terang Anang.

Oleh karena itu, pihaknya mendorong agar seluruh perusahaan tambang yang beroperasi di Aceh memindahkan pendaftaran wajib pajaknya ke wilayah Aceh agar potensi penerimaan daerah meningkat.

“Salah satu dasar perhitungan Dana Bagi Hasil itu adalah lokasi Kantor Pelayanan Pajak tempat perusahaan terdaftar. Jadi kalau terdaftar di luar, Aceh bisa kehilangan potensi besar,” tegasnya.

Anang menjelaskan bahwa pengenaan pajak di sektor tambang tidak ditentukan oleh status produksi, melainkan oleh laba usaha yang diperoleh perusahaan.

“Kalau kita bicara tentang pajak, itu tidak terkait apakah dia sudah berproduksi atau belum. Pajak dihitung dari laba usaha. Kalau perusahaan sudah melakukan penjualan dan memperoleh keuntungan bersih, dari situlah pajak akan dihitung,” jelasnya.

Namun, kata Anang, bagi perusahaan yang masih dalam tahap eksplorasi dan belum memiliki pemasukan karena biaya operasional masih besar, maka belum bisa dikenakan pajak penghasilan karena belum terdapat laba bersih (net profit).

“Ketika kegiatan usaha masih di tahap eksplorasi dan belum menghasilkan pendapatan, otomatis belum ada laba yang bisa dikenakan pajak,” tambahnya.

Lebih lanjut, Anang menjelaskan bahwa sistem perpajakan di Indonesia menganut mekanisme self-assessment, di mana wajib pajak menghitung, melaporkan, dan membayar pajaknya sendiri.

“Kami memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung dan melaporkan pajaknya secara mandiri. Tapi kalau ada perbedaan data antara laporan mereka dan data kami, maka akan dilakukan penyandingan dan pemeriksaan,” ujar Anang.

Namun, sistem ini juga membuka celah bagi ketidakjujuran pelaporan, apalagi jika perusahaan tidak transparan terhadap hasil usahanya.

“Ketika wajib pajak tidak terbuka, pengawasan menjadi sulit. Kami berharap masyarakat juga ikut memberikan informasi agar pengawasan bisa lebih efektif,” ucapnya.

Rendahnya kepatuhan pajak dari sektor tambang berdampak langsung pada lemahnya kemandirian fiskal Aceh.

Menurut Anang, kontribusi pajak terhadap keuangan daerah masih sangat kecil, dan Aceh masih sangat bergantung pada dana transfer dari pusat.

“Kalau kita bicara kemandirian fiskal Provinsi Aceh, tahun lalu hanya sekitar 16 persen. Artinya, APBD Aceh masih sangat bergantung pada transfer dana dari pusat,” jelasnya.

Ironisnya, dana transfer tersebut sebagian justru bersumber dari pajak yang semestinya juga disetor oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Aceh.

Anang turut menjelaskan bahwa beberapa jenis pajak dari sektor tambang memang memiliki mekanisme bagi hasil untuk daerah.

Misalnya, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor pertambangan yang 100 persen dikembalikan ke daerah, sementara Pajak Penghasilan (PPh) memberikan 20 persen bagian untuk daerah.

“Kalau bicara PBB sektor tambang, itu seluruhnya kembali ke daerah. Sementara untuk PPh, 20 persen juga dikembalikan. Tapi tentu kita harapkan semua perusahaan patuh agar bagi hasil ini juga optimal,” katanya.

Anang menegaskan bahwa DJP Aceh akan terus berupaya meningkatkan pengawasan dan kolaborasi dengan masyarakat serta pemerintah daerah agar kepatuhan pajak sektor tambang semakin baik.

“Kami ingin pajak menjadi kontribusi nyata bagi kemakmuran masyarakat Aceh. Karena semakin besar pajak yang dikumpulkan, semakin besar pula dana bagi hasil yang bisa kembali ke daerah,” tutup Anang. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI