DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Jumlah media online (siber) di Aceh dilaporkan mengalami penurunan seiring banyaknya perusahaan pers yang berhenti beroperasi. Dr. Ainol Mardhiah, M.Si, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh, mengungkapkan bahwa fenomena ini dipicu oleh kombinasi faktor orientasi politik, lemahnya model bisnis, minimnya inovasi konten, dan kurangnya kolaborasi antarmedia lokal.
Data Dewan Pers menunjukkan Aceh memiliki lebih dari 100 media siber dan cetak, namun hanya sekitar 45 yang terverifikasi hingga pertengahan 2024. Hal ini mengindikasikan banyak media bermunculan tetapi tidak semuanya mampu bertahan lama.
Dr. Ainol menjelaskan bahwa sejumlah media didirikan bukan untuk bisnis jangka panjang, melainkan demi kepentingan politik sesaat.
“Media yang didirikan bukan atas orientasi bisnis berkelanjutan, melainkan untuk agenda politik tertentu, cenderung tidak bertahan lama setelah momen politik berlalu,” ujarnya.
Pandangan ini sejalan dengan temuan organisasi pers di Aceh melalui Ramadhansyah yang dipublikasi Dialeksis berjudul ‘Banyak Media Siber di Aceh Belum Terverifikasi Dewan Pers’. Saat itu dirinya berstatus Dewan Penasehat SMSI; pernah mencatat banyak media “musiman” yang “hanya muncul dalam kondisi situasional… Kalau ada kepentingan, dia muncul”. Artinya, begitu tujuan politik tercapai atau momentum usai, media semacam itu kerap mati suri dan meninggalkan lanskap pemberitaan Aceh.
Selain faktor orientasi kepentingan, lemahnya sistem pemasaran dan pendanaan di perusahaan media lokal turut berperan dalam penurunan jumlah media online. Pendapatan iklan menurun drastis seiring peralihan anggaran promosi pemerintah daerah ke media lain.
“Banyak media menghadapi kesulitan finansial karena iklan yang dulu menopang operasional tiba-tiba menghilang,” kata Dr. Ainol, merujuk pada menurunnya belanja iklan dari APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) untuk media lokal.
Kondisi ini memaksa sejumlah media melakukan efisiensi hingga akhirnya gulung tikar. Seorang pengelola iklan di Aceh mengakui terjadi penurunan tajam dalam belanja iklan media, terutama yang bersumber dari APBA, sehingga alokasi untuk media cetak maupun siber menjadi sangat minim. Tanpa dukungan iklan, banyak media online kewalahan menutup biaya operasional dan perlahan menghentikan aktivitas jurnalistiknya.
Lebih mendalam Dr. Ainol juga menyoroti kurangnya sajian konten berita yang inovatif dan berkualitas sebagai faktor internal yang membuat media online Aceh ditinggalkan pembaca.
“Jika konten yang disuguhkan monoton atau hanya mengejar klik, publik lama-kelamaan kehilangan minat,” tuturnya.
Pendapat ini didukung pengamatan banyak pihak dari tracking media menyampaikan bahwa media yang hanya menjadi penyebar berita tidak bermutu dan tidak mencerdaskan akan kehilangan peran kontrol sosialnya. Dengan minimnya variasi dan kedalaman isi berita, sejumlah media lokal gagal membangun audiens loyal, berimbas pada turunnya trafik dan pendapatan. Kualitas produk jurnalistik yang rendah pada akhirnya mempercepat kejatuhan media tersebut di tengah persaingan era digital.
Terakhir, minimnya jejaring atau konsorsium antarmedia di Aceh turut melemahkan daya tahan media lokal. Dr. Ainol menilai kolaborasi antar perusahaan pers masih jarang dilakukan, padahal konsorsium dapat membantu berbagi sumber daya dan memperkuat posisi tawar media kecil. “Idealnya, sesama media lokal saling berjejaring untuk berbagi konten dan iklan, namun inisiatif semacam ini masih minim,” ungkapnya.
Organisasi pers seperti Asosiasi Media Siber Indonesia Aceh sebenarnya telah mendorong media siber di daerah untuk bergabung dalam asosiasi resmi. Ketua AMSI Aceh, Aryos Nivada, menyebut media di Aceh memang berkembang pesat, namun tidak sedikit yang stagnan atau mati suri. Karena itu, AMSI Aceh mengajak para pemilik media bergabung ke organisasi konstituen Dewan Pers agar dapat saling mendukung dan meningkatkan profesionalisme.
“Kemampuan perusahan pers di Aceh sangat butuh penguatan dari aspek konten, jejaring dan kapasitas sumber daya perusahannya,” ujarnya.
Dr. Ainol berharap ke depan ada pembenahan ekosistem pers di Aceh. Langkah seperti peningkatan inovasi konten, penguatan strategi bisnis dan pemasaran, serta kerja sama antarmedia diyakini dapat mencegah semakin berkurangnya media online lokal. “Media lokal harus beradaptasi dengan tantangan baru. Tanpa perbaikan di sisi kualitas berita dan model usaha, kita akan terus menyaksikan media-media kita berguguran,” pungkasnya.