Jum`at, 24 Oktober 2025
Beranda / Ekonomi / Kaprodi Agribisnis USK: Petani Harus Melihat Lahan Sebagai Aset Bisnis

Kaprodi Agribisnis USK: Petani Harus Melihat Lahan Sebagai Aset Bisnis

Jum`at, 24 Oktober 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Koordinator Program Studi (Kaprodi) D-III Manajemen Agribisnis Universitas Syiah Kuala (USK), Mujiburrahmad. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Program Studi (Kaprodi) D-III Manajemen Agribisnis Universitas Syiah Kuala (USK), Mujiburrahmad, menilai bahwa sistem pertanian Aceh masih didominasi pola subsisten, di mana hasil panen hanya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga sendiri. Akibatnya, sektor ini tidak menarik bagi generasi muda yang ingin hidup mandiri dan produktif.

“Kenapa tidak ada regenerasi? Karena anak-anak muda melihat, kalau jadi petani, ya otomatis jadi orang susah. Lahan sempit, harga komoditas naik turun, tidak ada kepastian ekonomi. Ini yang membuat profesi petani makin ditinggalkan,” terangnya saat dimintai tanggapan oleh media dialeksis.com, Jumat, 24 Oktober 2025.

Selain itu, tantangan lain adalah minimnya inovasi di lapangan. Menurutnya, masih banyak petani yang takut mencoba teknologi baru, seperti sistem smart farming atau penggunaan benih unggul. 

“Ketika kita kenalkan inovasi baru, mereka ragu. Mereka khawatir gagal. Padahal teknologi itu justru bisa meningkatkan hasil,” katanya.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Mujiburrahmad mendorong pentingnya pendidikan dan perubahan pesan sosial tentang profesi petani. Ia menilai, lembaga pendidikan seperti universitas dan sekolah vokasi memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk pola pikir baru di kalangan muda.

“Cara mengubah pandangan itu melalui pendidikan. Kita harus menanamkan sejak dini bahwa menjadi petani itu keren, profesional, dan bisa kaya kalau dijalankan dengan prinsip bisnis,” tegasnya.

Ia mencontohkan, jika seseorang menanam sayuran di lahan sempit hanya untuk dimakan sendiri, maka itu bukan bisnis. Tapi kalau petani menanam dalam skala besar untuk dijual ke pasar dengan sistem pengelolaan modern, maka itu adalah bisnis nyata. 

“Pesannya harus diubah. Petani bukan untuk menghidupi keluarga semata, tapi untuk menghasilkan keuntungan. Petani adalah pelaku usaha,” imbuhnya.

Ia melihat rendahnya minat generasi muda Aceh untuk terjun ke sektor pertanian. Menurutnya, persoalan ini bukan semata soal lahan atau modal, tetapi tentang cara pandang dan pesan sosial yang salah terhadap profesi petani.

“Selama ini, generasi muda melihat petani identik dengan kemiskinan. Mereka menganggap bertani itu pekerjaan melelahkan, hasilnya kecil, dan tidak menjanjikan masa depan. Padahal yang salah bukan pada profesinya, tetapi pada sistem dan mindset-nya,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa di banyak negara maju, petani bukan lagi dianggap sebagai pekerja kasar, tetapi sebagai pelaku bisnis modern. Di sana, petani adalah entrepreneur yang mengelola pertanian secara profesional dan berbasis teknologi.

"Kalau di luar negeri, petani itu perusahaan. Tapi di sini, petani masih bertani hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Belum melihat pertanian sebagai bisnis yang bisa dikembangkan,” jelasnya.

Sebagai Kaprodi D-III Manajemen Agribisnis USK, Mujiburrahmad mengakui bahwa perbedaan antara teori dan praktik di lapangan masih menjadi kendala dalam mendorong lahirnya inovator muda pertanian. 

Namun, pihaknya terus berupaya menyiapkan mahasiswa agar tidak hanya paham teori, tetapi juga bisa menjadi pelaku bisnis pertanian.

“Mahasiswa kami sudah kami arahkan untuk berpikir sebagai pengusaha, bukan pekerja. Tapi memang di lapangan masih ada kesenjangan. Petani sering menolak inovasi karena belum terbiasa. Maka mahasiswa perlu menjadi agen perubahan di tengah masyarakat,” ujarnya.

Berdasarkan survei internal yang dilakukan pihaknya pada tahun 2019, minat mahasiswa pertanian untuk benar-benar menjadi petani masih sangat rendah. 

“Hasil survei menunjukkan minatnya kecil sekali. Mereka lebih ingin jadi pegawai negeri. Karena mereka menganggap jadi petani itu jalan menuju kemiskinan,” ungkapnya.

Namun demikian, Mujiburrahmad optimistis bahwa masa depan pertanian Aceh tetap menjanjikan, terutama jika generasi muda mampu memadukan teknologi digital dengan semangat kewirausahaan.

“Sekarang era smart farming. Generasi muda harus bisa menggabungkan teknologi dengan kemauan. Kalau dua hal itu bersatu, pertanian Aceh bisa maju. Karena potensi lahan kita sebenarnya besar,” katanya.

Ia berharap, Pemerintah Aceh, akademisi, dan dunia usaha dapat bekerja sama untuk menciptakan ekosistem agribisnis modern yang menarik bagi anak muda. 

“Kalau petani sudah dipandang sebagai pelaku bisnis, maka profesi ini akan kembali bergengsi. Inilah kunci regenerasi petani Aceh,” tutup Mujiburrahmad.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI