Jum`at, 15 Agustus 2025
Beranda / Ekonomi / Kemenperin Kritik Pengetatan Harga Gas, Industri Terancam PHK Massal

Kemenperin Kritik Pengetatan Harga Gas, Industri Terancam PHK Massal

Jum`at, 15 Agustus 2025 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief. [Foto: dok. Kemenperin]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kebijakan pengetatan penerapan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) kembali memicu keluhan dari pelaku industri. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan keprihatinan mendalam atas kondisi ini dan menegaskan bahwa keputusan Presiden soal harga gas seharusnya tidak bisa ditawar.

"Ini seperti masalah klasik yang terus berulang. Padahal Presiden sudah menetapkan harga gas industri di angka USD6,5 per MMBtu. Kenapa masih ada lembaga yang bermain harga dan membatasi pasokan?" ujar Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief dalam keterangan resmi yang diterima pada Jumat (15/8/2025).

Febri menekankan bahwa HGBT adalah amanat Presiden, bukan sekadar kebijakan sektoral. Ia mengingatkan agar tidak ada pihak yang mencoba melakukan subordinasi terhadap keputusan tersebut.

Dampak ke Industri: Utilisasi Turun, PHK Mengintai

Pengetatan pasokan gas berdampak langsung pada industri pengguna energi besar seperti keramik, kaca, baja, pupuk, petrokimia, hingga oleokimia. Tarif tambahan atau surcharge yang dikenakan PT PGN, misalnya, disebut mencapai USD16,77 per MMBtu -- jauh di atas harga yang ditetapkan dalam HGBT.

"Biaya energi ini komponen besar dalam struktur produksi. Kalau harga naik atau pasokan dikurangi, margin usaha langsung tergerus," kata Febri. "Efeknya bisa ke mana-mana -- pabrik berhenti, investasi menurun, dan akhirnya tenaga kerja yang jadi korban."

Kemenperin mencatat, utilisasi industri keramik nasional saat ini hanya 70“71% di semester I-2025. Angka ini memang naik dibanding tahun sebelumnya, tapi bisa kembali turun jika pasokan HGBT makin seret.

BUMN Dominan, Swasta Kian Tersisih

Menurut Febri, ketimpangan alokasi gas makin terasa. Dari total volume HGBT yang tersedia sekitar 1.600 MMSCFD, sebanyak 900 MMSCFD -- atau 50% -- dialokasikan untuk BUMN seperti PLN dan Pupuk Indonesia.

"Industri swasta yang justru menopang manufaktur nasional, malah sering diberi porsi lebih kecil. Ini tidak adil," tegas Febri.

Dampaknya, sekitar 134 ribu pekerja industri kini terancam terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) jika pasokan gas diketatkan lebih lanjut. Febri merinci, sektor keramik adalah yang paling terdampak dengan 43.058 pekerja berisiko kehilangan pekerjaan, disusul industri baja (31.434 pekerja) dan petrokimia (23.006 pekerja).

Kemenperin Minta Koordinasi Serius Antar Lembaga

Kemenperin mendesak agar koordinasi lintas kementerian dan lembaga segera dilakukan. Tujuannya jelas: memastikan ketersediaan gas industri tetap aman dan adil.

“Gas bumi ini energi strategis. Jangan sampai ketimpangan alokasi ini justru mengganggu stabilitas industri nasional,” tegas Febri.

Ia juga menambahkan, sektor manufaktur bukan hanya penyumbang terbesar PDB nonmigas, tapi juga penyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

“Kalau masalah HGBT ini dibiarkan berlarut, bukan cuma investasi yang lesu. Tapi ratusan ribu keluarga bisa kehilangan sumber nafkah. Ini yang harus kita jaga bersama,” pungkasnya. [red]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI