Jum`at, 08 Agustus 2025
Beranda / Ekonomi / Ketua BEM FEB USK: 40 Persen Uang Keluar dari Aceh Bukti Gagalnya Ekonomi Daerah

Ketua BEM FEB USK: 40 Persen Uang Keluar dari Aceh Bukti Gagalnya Ekonomi Daerah

Rabu, 06 Agustus 2025 23:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala (USK), Afwan Aulia. Dokumen untuk dialeksis.com. 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Fenomena aliran dana yang masif keluar dari Provinsi Aceh kembali menjadi perbincangan publik setelah pernyataan Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Aceh, Agus Chusaini, mengungkapkan bahwa sekitar 40 persen uang yang masuk ke Aceh kembali keluar dari daerah ini. 

Menanggapi itu, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (FEB USK), Afwan Aulia, melihat fenomena ini bukan semata-mata sebagai persoalan konsumsi, tapi juga refleksi dari belum tertatanya prioritas pembangunan ekonomi daerah.

“Ketika 40 persen uang mengalir ke luar Aceh, itu bukan sekadar angka, tapi alarm. Artinya kita belum punya ekosistem ekonomi yang kuat dan menarik bagi warga sendiri untuk membelanjakan uangnya di sini,” ujar Afwan saat diwawancarai media dialeksis.com pada Rabu, 6 Agustus 2025.

Menurut Afwan, salah satu penyebab dominasi arus uang keluar Aceh berasal dari perilaku konsumtif generasi muda yang lebih memilih berlibur dan menghabiskan uang di luar provinsi, seperti ke Medan, Malaysia, bahkan Thailand. Hal ini dipicu oleh minimnya wahana hiburan dan infrastruktur wisata di Aceh.

“Anak-anak muda kita lebih senang ke Medan atau luar negeri saat liburan. Karena Aceh belum mampu menyediakan tempat-tempat yang menarik, nyaman, dan layak untuk menghabiskan waktu serta uang mereka,” kata Afwan.

Bagi Afwan, solusi terhadap persoalan ini bukan sekadar membangun lebih banyak pusat perbelanjaan atau taman hiburan, tetapi juga membenahi fondasi ekonomi daerah.

“Aceh perlu segera memperkuat sektor industrinya. Pasar perlu ditata, infrastruktur harus diperbaiki, dan regulasi harus ramah terhadap investor. Selama hal-hal mendasar itu belum dibenahi, jangan harap ada investor yang mau masuk dan bertahan lama di Aceh,” tegas Afwan.

Ia menilai bahwa regulasi yang kaku justru menjadi penghambat. Salah satunya adalah monopoli sistem keuangan yang hanya mengizinkan perbankan syariah, melalui penerapan Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS).

“Monopoli perbankan syariah di Aceh harus segera dievaluasi. Saya tidak menolak sistem syariah, tapi harus ada diversifikasi agar masyarakat punya pilihan. Bukalah akses bagi bank konvensional dengan merevisi Qanun LKS. Bahkan, bank syariah sendiri pun harus diperbanyak agar tidak stagnan di satu-dua nama besar,” jelasnya.

Lebih jauh, Afwan menantang Pemerintah Aceh untuk tidak terus-terusan bergantung pada dana otonomi khusus (otsus) atau transfer dana pusat. Menurutnya, sudah saatnya Aceh menemukan identitas ekonomi baru dan arah pembangunan jangka panjang.

“Kita ini seolah-olah bingung, mau dibawa ke mana Aceh ini? Apakah kita mau menjadi daerah wisata? Industri halal? Pendidikan? Perdagangan lintas Selat Malaka? Itu harus diputuskan secara strategis dan disepakati bersama,” ujarnya.

Menurutnya, tanpa arah yang jelas, kebijakan pembangunan Aceh akan terus bersifat tambal-sulam. “Kalau tidak ada strategi makro, maka APBA hanya akan jadi alat rutinitas tahunan. Bukan alat transformasi ekonomi. Padahal, APBA itu kekuatan yang luar biasa kalau digunakan dengan visi yang benar,” tambahnya.

Afwan juga menekankan pentingnya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ia menilai Aceh terlalu lama “dimanjakan” oleh transfer pusat, hingga lupa membangun kapasitas fiskal sendiri.

“Kalau kita mau mandiri, kita harus bisa menghasilkan uang sendiri. Bukan terus-menerus berharap dari Jakarta. Kemandirian fiskal itu harus jadi prioritas, dan itu hanya bisa tercapai jika investasi tumbuh, lapangan kerja meningkat, dan ekonomi riil berjalan,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI