DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kinerja sektor manufaktur Indonesia menunjukkan sinyal positif pada awal kuartal IV 2025. Namun, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan, Purchasing Managers’ Index (PMI) bukan acuan utama dalam merumuskan kebijakan industri.
“Saya ingin mengajak semua pihak cermat menggunakan data PMI dari S&P Global. Sampelnya lebih sedikit dan belum cukup detail untuk melihat kondisi tiap subsektor. Kemenperin lebih mengandalkan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang komprehensif,” ujar Agus dalam pernyataan resmi, Selasa (4/11/2025).
PMI manufaktur Indonesia naik dari 50,4 pada September menjadi 51,2 pada Oktober 2025, menandai ekspansi tiga bulan berturut-turut. Komponen pesanan baru meningkat dari 51,7 ke 52,3, sementara ketenagakerjaan naik dari 50,7 ke 51,3. Output tetap stabil di level 50,0, mencerminkan keseimbangan produksi dan permintaan.
Agus menambahkan, meski ekspor melemah akibat permintaan global, konsumsi domestik tetap menjadi motor utama pertumbuhan industri.
“Peningkatan penyerapan tenaga kerja menunjukkan sektor manufaktur semakin tangguh dan mendorong penciptaan lapangan kerja,” katanya.
Kemenperin juga terus menjaga daya saing melalui efisiensi produksi, program upskilling-reskilling tenaga kerja, dan transformasi menuju industri hijau berkelanjutan. Sementara itu, inflasi harga input tercatat tertinggi dalam delapan bulan terakhir, namun kenaikan harga jual produsen masih terbatas.
Di kancah regional, PMI manufaktur ASEAN naik ke 51,6 pada Oktober, dengan Indonesia (51,2) berada di zona ekspansi bersama Thailand (56,6), Vietnam (54,5), dan Myanmar (53,1).
“Kami optimistis sektor manufaktur tetap menjadi penggerak utama ekonomi nasional,” pungkas Agus. [red]