DIALEKSIS.COM | Jakarta - Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebut stok beras nasional saat ini sebenarnya dalam kondisi surplus. Namun, harga beras di pasar masih menunjukkan anomali. Menurut dia, hal ini dipengaruhi oleh sejumlah persoalan struktural di sektor penggilingan padi dan perilaku pasar yang belum sehat.
"Stok kita cukup, tapi harga masih naik-turun. Ini bukan soal kurangnya pasokan, tapi soal struktur pasar dan perilaku sebagian pelaku usaha," kata Amran yang dilansir pada Minggu (17/8/2025).
Amran menjelaskan bahwa persoalan utama terletak pada ketidakseimbangan antara kapasitas giling nasional dan volume produksi padi. Saat ini, kapasitas penggilingan padi -- terutama dari penggilingan kecil -- jauh melampaui jumlah produksi beras nasional.
“Penggilingan kecil saja jumlahnya 161 ribu unit, dengan kapasitas 116 juta ton per tahun. Padahal, produksi padi nasional hanya 65 juta ton,” ujarnya.
Ketimpangan kapasitas ini membuat banyak mesin giling tidak beroperasi atau hanya beroperasi sebagian waktu, terutama di luar musim panen.
Ia menambahkan, ketimpangan harga juga menjadi tantangan tersendiri. Menurutnya, penggilingan besar cenderung mampu membeli gabah dengan harga lebih tinggi, sehingga menyulitkan penggilingan kecil untuk bersaing.
“Kalau yang kecil beli Rp6.500, yang besar bisa Rp6.700. Kalau yang kecil naik ke Rp6.700, yang besar naik lagi ke Rp7.000. Ini menggeser ruang gerak mereka,” kata Amran.
Meski demikian, Mentan melihat ada perkembangan positif dari dinamika pasar. Ia menyebut bahwa berkurangnya penjualan beras premium di ritel modern justru mendorong peningkatan permintaan di pasar tradisional, yang memberi peluang bagi penggilingan kecil.
“Setelah terjadi pengurangan premium di supermarket modern, penjualan di pasar tradisional naik. Ini berkah untuk penggilingan kecil,” ungkapnya.
Amran juga menyoroti adanya dugaan praktik kecurangan dalam perdagangan beras yang turut mendorong kenaikan harga tidak wajar. Ia memastikan sejumlah pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum.
Selain itu, ia membantah bahwa tingginya harga disebabkan oleh penyerapan besar oleh Perum Bulog. Menurut dia, Bulog hanya menyerap sekitar 8 persen dari total beras yang beredar di pasar.
“Yang diserap Bulog hanya 2,8 juta ton dari total 34 juta ton beras. Artinya, hanya sekitar 8 persen. Sisanya 92 persen diserap oleh swasta,” ujarnya.
Dari hasil pemantauan terakhir, Amran menyebut harga beras mulai menurun di beberapa daerah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Aceh. Hanya beberapa wilayah seperti Sumatera Utara yang masih mencatatkan harga tinggi.
“Kami pantau sudah terjadi penurunan di banyak wilayah. Ini pertanda struktur pasar mulai bergerak ke arah yang lebih baik,” tutupnya. [*]