Kamis, 03 Juli 2025
Beranda / Ekonomi / PMI Manufaktur Nasional Kontraksi Lagi, Pelaku Usaha Masih Wait and See

PMI Manufaktur Nasional Kontraksi Lagi, Pelaku Usaha Masih Wait and See

Rabu, 02 Juli 2025 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Indri

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief. [Foto: dok. Kemenperin]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kinerja sektor manufaktur Indonesia kembali melemah pada Juni 2025. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia turun menjadi 46,9, dari sebelumnya 47,4 pada Mei 2025. Ini menjadi sinyal bahwa aktivitas sektor manufaktur nasional masih berada di zona kontraksi selama dua bulan berturut-turut.

Penurunan PMI Indonesia sejalan dengan tren negatif yang juga dialami sejumlah negara ASEAN, seperti Vietnam yang anjlok ke 45,6, Malaysia ke 48,6, Thailand ke 49,5, dan Singapura ke 49,6.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut penurunan ini disebabkan oleh dua faktor utama: belum hadirnya kebijakan yang pro terhadap dunia usaha, serta lemahnya permintaan pasar, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

"Dua faktor yang menyebabkan PMI Indonesia pada Juni 2025 masih kontraksi dan menurun dibanding bulan Mei 2025 yakni, pertama perusahaan industri masih menunggu kebijakan pro-bisnis, dan kedua pelemahan permintaan pasar ekspor dan domestik serta penurunan daya beli di Indonesia,” kata Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, dalam keterangan resmi yang diterima pada Rabu (2/7/2025).

Pengusaha Tunggu Revisi Impor dan Aturan Entry Port

Menurut Febri, pelaku industri masih menantikan kebijakan penting, termasuk revisi Permendag No. 8 Tahun 2024 yang mengatur relaksasi impor produk jadi. Pemerintah telah mengumumkan pencabutan relaksasi ini pada Senin (30/6/2025), dan pengusaha berharap dampaknya bisa terasa dalam dua bulan ke depan.

"Perusahaan industri, terutama di sektor tekstil dan pakaian jadi, menunggu realisasi kebijakan ini. Ini sinyal positif yang bisa menumbuhkan kembali optimisme," ujarnya.

Selain itu, para pelaku usaha juga berharap ada aturan tegas soal pembatasan pelabuhan masuk (entry port) bagi produk impor jadi. Hal ini dinilai krusial untuk melindungi pasar domestik dari serbuan barang murah dari luar negeri.

"Pembatasan entry port sangat penting, terutama bagi produk dalam negeri yang sulit bersaing dengan barang impor dari negara yang mengalami oversupply," tegas Febri.

IEU-CEPA Jadi Harapan Baru Ekspor

Kebijakan strategis lain yang dinanti adalah penandatanganan IEU-CEPA (Indonesia“European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement). Perjanjian ini diyakini bisa membuka akses pasar baru ke Eropa bagi pelaku industri ekspor.

"Setelah penandatanganan IEU-CEPA, pasar Eropa akan terbuka lebar. Ini membuat perusahaan lebih percaya diri menatap pasar ekspor," tutur Febri.

Daya Beli Melemah, Permintaan Lesu

Faktor pelemahan lainnya berasal dari dalam negeri. Melemahnya daya beli masyarakat menyebabkan penurunan konsumsi produk manufaktur, terutama produk sekunder dan tersier.

"Masyarakat saat ini lebih memilih menahan belanja dan fokus pada kebutuhan dasar, terutama kelompok menengah ke atas yang lebih memilih menabung atau investasi," jelasnya.

Meski begitu, Kemenperin mencatat beberapa sinyal positif mulai muncul, seperti belanja pemerintah pada sektor konstruksi dan insentif liburan sekolah yang mulai menggeliat di akhir Juni.

"Kami mengapresiasi insentif seperti gaji ke-13, program liburan anak sekolah, dan belanja infrastruktur. Ini diharapkan bisa mendongkrak demand dan utilisasi industri ke depan," pungkas Febri. [in]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI