DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dengan garis pantai sepanjang 2.660 kilometer dan lautan seluas 295.000 kilometer persegi, Aceh seharusnya menjadi salah satu pusat kekuatan perikanan nasional.
Lautnya terbentang dari Selat Malaka, Laut Andaman, hingga Samudera Hindia. Namun, potensi besar ini hingga kini belum berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Data Asosiasi Industri Ikan Aceh mencatat, jumlah nelayan di Tanah Rencong mencapai 180.000 orang, terdiri atas 150.000 nelayan tradisional dan 30.000 nelayan komersial dengan rata-rata produksi sektor perikanan sekitar 360 ton per hari di seluruh Aceh.
Sayangnya, angka tersebut baru 42 persen dari total Potensi Perikanan Aceh, yakni dapat mencapai 272.000 ton per tahun atau setara 750 ton per hari.
“Artinya, hampir separuh potensi kelautan kita belum tergarap. Itu terjadi karena tidak adanya efisiensi dan upgrade dalam industri perikanan di Aceh ,” ujar Almer Hafis, Sekjen Asosiasi Industri Ikan Aceh, kepada wartawan dialeksis.com, di Banda Aceh, Kamis (11/9/2025).
Kondisi kian ironis ketika sebagian besar hasil Perikanan Aceh justru tidak diproses di daerah sendiri. Setiap hari, Aceh kehilangan sekitar Rp270,000,000 per hari karena hasil perikanan mentah langsung dikirim ke luar daerah tanpa melalui pengolahan di pabrik lokal. Dalam setahun, kerugian itu mencapai Rp94 miliar.
Padahal dengan angka segitu dapat membuka lapangan kerja bagi 1,800 masyarakat Aceh untuk bekerja di sektor pengolahan perikanan. Bukan hanya membuka lapangan kerja, tetapi juga mengangkat taraf hidup ribuan keluarga nelayan.
“Lebih dari 60 persen sumber daya perikanan Aceh berpindah ke luar provinsi. Masyarakat Aceh hanya melihat ikan keluar dari pelabuhan, tapi nilai tambahnya dinikmati orang lain. Kita hanya jadi penonton di laut sendiri,” tegas Almer.
Di sisi lain, akses bagi nelayan dan pengusaha lokal untuk membangun industri perikanan yang layak masih sangat terbatas. Minimnya teknologi, SDM, akses ekspor, hingga logistik membuat hasil olahan ikan Aceh tidak mampu bersaing di nasional dan internasional.
“Tidak banyak nelayan atau pengusaha di Aceh yang berani mengambil risiko untuk mendobrak industri ini. Akibatnya, harga ikan sangat fluktuatif. Nelayan selalu rugi, sementara konsumen juga dirugikan karena kualitas ikan menurun,” jelas Almer.
Padahal, komoditas seperti Tuna dari perairan Samudera Hindia yang meliputi Aceh merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Namun, potensi ekspor bernilai tinggi itu justru belum digarap maksimal.
Potret buram industri perikanan Aceh semakin terasa jika dibandingkan dengan kondisi sosial-ekonomi daerah. Meski memiliki sumber daya laut yang melimpah, Aceh masih menjadi provinsi termiskin kedua di Sumatera.
“Harusnya laut ini jadi berkah, bukan sekadar statistik. Kalau sektor perikanan kita kuat, tidak mungkin Aceh masih ada di posisi memprihatinkan soal kemiskinan,” tutur Almer.
Menurut Almer, ada beberapa solusi yang perlu segera dijalankan. Pertama, modernisasi armada melalui penyediaan kapal berteknologi pendingin (cold storage) agar ikan tetap segar saat tiba di darat. Kedua, akses permodalan bagi nelayan kecil yang selama ini sulit mendapatkan pinjaman karena terkendala agunan.
"Pemerintah harus hadir dengan skema kredit lunak. Nelayan jangan hanya jadi buruh laut, tapi bisa naik kelas,” tambahnya.
Selain itu, ia menekankan pentingnya industrialiasi pengolahan ikan di Aceh. Selama ini, sebagian besar ikan hanya dijual dalam bentuk segar tanpa nilai tambah. Padahal, produk turunan seperti fillet, ikan beku, hingga olahan kaleng bisa memperluas pasar ekspor.
"Kalau kita hanya jual mentah, Aceh akan selalu jadi penonton. Harus ada industri pengolahan agar nelayan merasakan manfaat lebih,” jelas Almer.
Langkah lain yang tak kalah penting adalah digitalisasi pemasaran. Dengan platform digital, nelayan dan pelaku usaha bisa langsung terhubung ke pembeli besar, baik domestik maupun luar negeri.
“Ini soal mindset. Kalau kita masih jual dengan cara lama di pelelangan, sulit bersaing. Pasar dunia sudah digital,” pungkasnya.