Senin, 14 April 2025
Beranda / Ekonomi / Properti Aceh di Era Efisiensi: Menghadapi Dua Gelombang Kebijakan Nasional

Properti Aceh di Era Efisiensi: Menghadapi Dua Gelombang Kebijakan Nasional

Kamis, 10 April 2025 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Para pengurus REI Aceh saat pelantikan di Banda Aceh, Rabu (4/10/2023). Foto: Net


DIALEKSIS.COM | Aceh - Kondisi terkini ekonomi Indonesia alami dua gelombang besar yakni kebijakan nasional yang berkaitan dengan efisiensi tenaga kerja dan perubahan tarif ekspor-impor mulai dirasakan sektor properti di Aceh. Meskipun kebijakan ini masih tergolong baru dan belum menunjukkan efek yang drastis, pelaku usaha mulai merasakan penurunan daya beli masyarakat. Atas dua kebijakan itu, menarik ditelisik dampaknya kepada bisnis properti, salah satunya di Aceh.

Melalui pertemuan bersama Dialeksis dan jajaran pengurus Daerah Real Estate Indonesia (REI) Provinsi Aceh di Sadda Coffee belakang hotel Hermes Palace, Kamis (10/04/2025). Hadir saat pertemuan Ketua RIE Aceh Zulkifli HM Juned, Sekertaris Mursal Fahmi, dan Said Muhammad Iqbal Bendahara.

Diawali dari penjelasan Ketua DPD Real Estat Indonesia (REI) Aceh, Zulkifli HM Juned, mengungkapkan bahwa diprediksikan dalam dua bulan mendatang, dua persoalan besar akan muncul: turunnya kemampuan masyarakat dalam membeli rumah dan meningkatnya harga material bangunan.

“Kebijakan ini belum lama berlaku, tapi efek efisiensi sudah terlihat jelas, terutama dalam daya beli masyarakat,” kata Zulkifli.

Menurutnya, banyak masyarakat yang kini kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan penghasilan. “Dulu, satu orang bisa mempekerjakan 10 hingga 15 orang, sekarang hanya lima. Ini langsung berdampak pada potensi pasar properti karena kemampuan membeli rumah otomatis menurun,” tambahnya.

Kondisi ini membuat pengembang harus lebih kreatif dan inovatif dalam menjual produk. Beberapa strategi mulai diterapkan, seperti memberikan kemudahan dalam pembayaran, cicilan berjenjang, hingga program tanpa uang muka (0 DP). Tujuannya jelas tetap menjaga penjualan di tengah pelemahan daya beli.

Salah satu solusi struktural yang diusulkan Zulkifli adalah memperpanjang tenor Kredit Pemilikan Rumah (KPR) hingga 30 tahun. “Jika tenor diperpanjang, masyarakat bisa membayar cicilan lebih ringan per bulan, sehingga tetap mampu membeli rumah meskipun penghasilan terbatas,” jelasnya.

Ia memberikan contoh, seseorang dengan kemampuan membayar Rp2 juta per bulan masih bisa memiliki rumah yang layak jika tenor KPR diperpanjang. “Ini lebih baik daripada memberikan cicilan besar dengan jangka pendek yang memberatkan.”

Bank-bank di Aceh, menurutnya, mulai menanggapi situasi ini dengan memberikan tenor lebih panjang, bahkan sampai 25 tahun, dengan cicilan berjenjang. Artinya, cicilan dimulai dari nominal kecil dan bertahap naik seiring waktu.

Meski demikian, Zulkifli mengakui bahwa langkah-langkah tersebut masih belum cukup untuk mengatasi tekanan makroekonomi. Diperlukan kebijakan nasional yang konkret, terutama dalam hal subsidi dan insentif pembiayaan, agar industri properti tetap bisa berkembang.

Ia berharap pemerintah pusat mempercepat implementasi program KPR bersubsidi dengan tenor panjang dan terus mendorong stabilitas ekonomi agar daya beli masyarakat kembali pulih. “Industri ini padat karya dan berdampak besar bagi ekonomi. Jangan sampai kita kehilangan momentum karena tidak ada intervensi kebijakan yang tepat.”

Hal lain disampaikan Said Muhammad Iqbal Bendahara REI Aceh, meski pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mendukung sektor properti, seperti penghapusan BPHTB dan pemberian gratis PBG untuk rumah subsidi, pengembang di Aceh menilai kebijakan tersebut masih jauh dari efektif.

Menurutnya menyatakan bahwa realisasi kebijakan di lapangan masih menghadapi hambatan birokrasi. “Pemerintah pusat bilang PBG bisa keluar dalam satu hari, kenyataannya di daerah prosesnya masih panjang dan lambat,” katanya.

Selanjutnya Iqbal sapaan akrab dirinya lanjut menjelaskan, lambatnya proses perizinan menjadi salah satu penyebab utama stagnasi proyek-proyek properti di daerah. Hal ini juga membuat pengembang enggan mengambil risiko untuk membangun unit baru karena ketidakpastian perizinan yang dapat memakan waktu hingga berbulan-bulan.

Ia menekankan bahwa pemerintah daerah perlu memperbaiki sistem pelayanan perizinan, termasuk memangkas alur birokrasi dan memanfaatkan sistem digital. “Kalau izinnya mudah dan cepat, pengembang pasti akan lebih aktif membangun,” ujarnya.

Said Muhammad juga menyoroti pentingnya edukasi kepada masyarakat agar lebih sadar akan pentingnya memiliki rumah daripada membelanjakan penghasilan untuk konsumsi gaya hidup. Banyak masyarakat Aceh yang gagal mendapatkan KPR karena sudah memiliki terlalu banyak cicilan non-produktif seperti kredit motor atau gadget.

“Kalau pendapatan habis untuk bayar cicilan motor dan HP, ya wajar bank menolak permohonan KPR. Harus ada edukasi bahwa rumah adalah kebutuhan utama,” katanya. Ini menjadi tantangan besar bagi REI Aceh dan pemerintah dalam membangun kesadaran finansial masyarakat.

Ia kembali menegaskan pentingnya kebijakan perpanjangan tenor KPR hingga 30 tahun sebagai solusi konkret. “Dengan cicilan kecil dan jangka panjang, orang bisa punya rumah tanpa terbebani secara finansial. Ini penting untuk menjangkau pasar MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah),” tegasnya.

Meskipun pemerintah telah mewacanakan program KPR dengan tenor 30 tahun, realisasinya masih minim dan terbatas di kota-kota besar. IRE Aceh berharap kebijakan tersebut bisa segera diterapkan secara nasional dan merata hingga ke daerah.

Dengan sistem pembiayaan yang lebih fleksibel dan perizinan yang lebih cepat, ia yakin backlog perumahan di Aceh bisa ditekan. “Kami optimistis, kalau regulasinya mendukung, Aceh bisa bangun 3.000 hingga 5.000 unit rumah per tahun,” ungkap Iqbal.

Meski diterpa berbagai tantangan ekonomi nasional, sektor properti di Aceh masih menunjukkan potensi pertumbuhan, khususnya di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar. Menurut Ketua DPD Real Estat Indonesia (REI) Aceh, Zulkifli HM Juned, permintaan rumah tetap tinggi.

“Banyak orang tua dari luar daerah yang membeli rumah untuk anaknya yang kuliah di Banda Aceh. Ini jadi pasar yang konsisten setiap tahun,” ungkap Zulkifli.

Ia menambahkan bahwa skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi menjadi pilihan utama karena lebih menguntungkan dibandingkan menyewa. “Daripada sewa Rp15 juta setahun, lebih baik cicil rumah Rp12 juta. Itu jadi milik sendiri,” jelasnya.

Namun, berbagai kendala masih menghambat calon pembeli untuk mengakses KPR. Salah satunya adalah ketatnya persyaratan dari perbankan. Banyak masyarakat yang gagal mendapatkan persetujuan kredit karena penghasilan dianggap tidak mencukupi atau karena sudah memiliki beban cicilan lain.

“Padahal kadang mereka mampu, tapi karena data pengeluaran tidak rapi atau punya cicilan lain, bank langsung menolak,” katanya. Ini menunjukkan pentingnya edukasi finansial agar masyarakat memahami cara mengelola penghasilan untuk keperluan prioritas seperti rumah.

Dari sisi pengembang, berbagai insentif dan kemudahan sudah ditawarkan, mulai dari promosi 0 DP, KPR instan, hingga penggratisan biaya administrasi. Bahkan beberapa pengembang menggratiskan BPN sampai pertengahan tahun.

“Kami bantu semaksimal mungkin agar rumah tetap terjangkau. Tapi tanpa dukungan regulasi dan akses kredit yang mudah, penyerapan pasar tetap lambat,” ujar Zulkifli.

Ia juga mendorong pemerintah agar mempercepat proses perizinan proyek perumahan. Proses yang lambat dan birokratis membuat pengembang enggan berinvestasi, padahal kebutuhan rumah terus meningkat setiap tahun.

Dengan target nasional pembangunan 3 juta unit rumah per tahun, kontribusi dari daerah seperti Aceh sangat dibutuhkan. Namun, menurut Zulkifli, realisasi saat ini masih jauh dari target. “Secara nasional saja baru 220 ribu unit per tahun. Kalau tidak ada terobosan, backlog rumah akan terus membesar,” katanya.

Zulkifli optimis bahwa dengan perpanjangan tenor KPR, percepatan izin, dan edukasi kepada masyarakat, sektor properti Aceh akan tetap tumbuh positif. “Kami di REI Aceh punya target realistis: 3.000 sampai 5.000 unit rumah per tahun. Itu bisa tercapai kalau semua pihak bersinergi,” tutupnya.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
dinsos
inspektorat
koperasi
disbudpar