Selasa, 04 Maret 2025
Beranda / Ekonomi / Revisi UUPA Dinilai Kunci Atasi Ketimpangan Pengelolaan Migas Aceh

Revisi UUPA Dinilai Kunci Atasi Ketimpangan Pengelolaan Migas Aceh

Senin, 03 Maret 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Juru Bicara Muallem-Dek Fadh, Teuku Kamaruzzaman alias Ampon Man. Foto: Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Aceh - Juru Bicara Muallem-Dek Fadh, Teuku Kamaruzzaman alias Ampon Man, menegaskan dua isu kritis sektor minyak dan gas bumi (migas) di Aceh yang belum tuntas sesuai Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) 2005. 

Melalui wawancara eksklusif bersama Dialeksis, Ampon Man menyoroti lemahnya regulasi sektor hilir migas dan ketidakjelasan mekanisme audit pembagian hasil migas sebagai masalah utama yang mendesak direvisi melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Ampon Man menjelaskan, meski Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) telah beroperasi di sektor hulu, Aceh hingga kini belum memiliki badan setara untuk mengatur sektor hilir.

“Regulasi hilir migas di Aceh masih belum matang karena tidak ada lembaga seperti BPH Migas di tingkat nasional. Ini alasan kuat untuk merevisi UUPA,” tegasnya.

MoU Helsinki, menurutnya, tidak membedakan kewenangan hulu dan hilir. Namun, UUPA hanya mengatur migas dalam satu pasal, sehingga revisi diperlukan untuk memperjelas kewenangan Aceh. Tanpa lembaga pengatur hilir, kontrol atas distribusi, harga, dan tata niaga migas di Aceh dinilai masih tumpang-tindih dengan kebijakan pusat.

Isu kedua adalah polemik audit pembagian hasil migas. MoU Helsinki menyebutkan peran auditor independen, yang menurut Ampon Man harus melibatkan lembaga asing demi objektivitas. Namun, mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin dalam diskusi sebelumnya menilai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa menjadi alternatif.

“Kami ragu dengan independensi BPK, terutama setelah sejumlah kasus yang menjerat anggotanya, bahkan Ketua BPK. Aceh perlu auditor independen dari luar sistem pemerintah Indonesia untuk menjamin transparansi,” ujar Ampon Man. 

Tanpa audit yang kredibel, pembagian hasil migas skema 70-30 dinilai timpang. Saat ini, Aceh hanya mendapat 70% dari pajak laba bersih (netto), sementara pemerintah pusat mengambil 30-40% dari pendapatan kotor (bruto) sebelum pembagian.

Ampon Man mengakui revisi UUPA tidak mudah, tetapi menjadi satu-satunya opsi. “Perubahan harus melalui undang-undang, bukan sekadar Perpres atau Keppres,” jelasnya. 

Ia juga mengkritik Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015 yang membatasi kewenangan Aceh hingga 12 mil laut, bertentangan dengan UUPA yang tidak memberi batasan.

“Ini contoh nyata ketidakselarasan antara undang-undang dan turunannya. PP itu harus dikaji ulang bersama pemerintah pusat,” tambahnya.

Strategi revisi UUPA memerlukan dukungan politik kuat, terutama dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Sayangnya, Ampon Man menilai DPRA masih pasif.

“Isu ini tak boleh jadi agenda eksklusif kelompok tertentu. DPRA harus ambil peran sentral, karena revisi UUPA hanya bisa diusulkan melalui mereka dan Pemerintah Aceh,” tegasnya.

Ia mengungkapkan telah berkoordinasi dengan Wakil Gubernur, Gubernur, dan Sekda Aceh. Jika proses revisi rampung pertengahan tahun ini, Aceh berpeluang mendapat tambahan Dana Alokasi Umum (DAU) 2-2,5% pada 2026.

Ampon Man menekankan, revisi UUPA bukan sekadar urusan regulasi, tetapi upaya menegakkan komitmen MoU Helsinki. “Ini tentang keadilan bagi Aceh. Jika strategi kita tepat dan dukungan politik kuat, revisi UUPA bukan mustahil,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bank Aceh
dpra
bank Aceh pelantikan