DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Dewan Penasehat Persatuan Tukang Aceh (PTA), Drs. Isa Alima, menegaskan bahwa profesi tukang di Aceh tidak cukup hanya dipandang sebagai pekerja kasar yang memegang palu dan paku.
Tukang harus memiliki kompetensi, sertifikasi, dan daya saing agar mampu menjawab tantangan pembangunan dan persaingan global yang semakin ketat.
“Pada prinsipnya, tukang di Aceh itu punya kemampuan luar biasa. Tapi mereka membutuhkan pendidikan khusus tentang attitude, kebiasaan kerja, kedisiplinan, dan tentu saja sertifikasi keahlian. Itu yang membedakan tukang biasa dengan tenaga profesional,” ujarnya kepada media dialeksis.com di sela-sela Diskusi Publik Optimalisasi Pertukangan Aceh untuk Meningkatkan Kompetensi dan Daya Saing Tukang dalam Menghadapi Tantangan dan Peluang, yang digagas Persatuan Tukang Aceh di Banda Aceh, Rabu (10/9/2025).
Isa menjelaskan, perusahaan-perusahaan besar yang menggarap proyek pembangunan di Aceh menuntut legalitas keahlian dari setiap tenaga kerja.
Sertifikasi menjadi tanda sah bahwa seorang tukang benar-benar ahli di bidangnya, setelah melalui proses pelatihan menyeluruh.
“Perusahaan besar tidak hanya melihat skill lapangan, tapi juga menilai kerapian, attitude, dan kedisiplinan. Semua itu diukur lewat sertifikasi. Tanpa sertifikat, tukang Aceh sulit diberi kesempatan,” katanya.
Menurutnya, kesempatan mengikuti pelatihan dan sertifikasi masih terbatas. Padahal, di Aceh sudah ada lembaga yang bisa memfasilitasi, seperti GLPT di Dinas Tenaga Kerja maupun lembaga di bawah dinas pekerjaan umum.
"Kalau tukang tidak diberi akses untuk pelatihan dan sertifikasi, selamanya mereka tidak akan berdaya. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus hadir,” tegas Isa.
Lebih jauh, Isa Alima mengingatkan generasi muda Aceh agar tidak meremehkan profesi tukang. Menurutnya, tukang bukanlah pekerjaan kelas dua, melainkan profesi terhormat yang menjadi tulang punggung pembangunan.
“Jangan merasa tukang itu hina. Justru tukang adalah kelas nomor satu, karena mereka memberi keindahan, rumah, dan perlindungan kepada masyarakat. Tanpa tukang, pembangunan tidak akan pernah berdiri,” ungkapnya.
Ia juga menekankan bahwa tukang memiliki cakupan yang luas, tidak hanya sebatas tukang batu. “Tukang itu ada tukang taman, tukang seni, tukang dekorasi, semua yang memberi nilai tambah bagi kehidupan. Generasi muda jangan alergi dengan profesi ini. Kalau punya keahlian, tekuni dengan percaya diri,” tambahnya.
Di sisi lain, keresahan juga datang dari masyarakat Aceh. Banyak warga mempertanyakan mengapa proyek-proyek besar di daerah masih didominasi tukang dari luar.
“Kalau bukan tukang Aceh yang membangun Aceh, siapa lagi? Jangan biarkan anak negeri hanya jadi penonton di rumah sendiri,” katanya.
Isa Alima mengajak semua pihak, baik pemerintah daerah, kontraktor, maupun lembaga pendidikan untuk melahirkan kebijakan nyata yang benar-benar berpihak pada tukang lokal.
“Ini soal masa depan pembangunan Aceh. Tukang Aceh harus diberdayakan, bukan disisihkan. Dengan kompetensi dan sertifikasi, mereka bisa bersaing dan menjadi pelaku utama pembangunan di tanah kelahirannya sendiri,” pungkasnya. [nh]