Festival Krueng Daroy: Simfoni Budaya, Sejarah, dan Harapan Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia/Naufal
Kadisbudpar Aceh, Almuniza Kamal bersama Pj Ketua TP PKK Aceh Safriati Safrizal dalam kegiatan Festival Krueng Daroy. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Feature - Dalam semilir angin pagi Banda Aceh, air Krueng Daroy berkilauan bak serpihan kaca yang menghanyutkan bayang langit. Sungai ini, saksi bisu sejarah Kerajaan Aceh Darussalam, kini merayakan dirinya sendiri, dalam sebuah festival yang mengangkat kembali kejayaan masa lampau.
Dari tepian sungai yang penuh cerita, Festival Krueng Daroy 2024 dimulai, memanggil ribuan jiwa untuk menyusuri aliran waktu, mengenang, sekaligus menyulam masa depan.
Taman Putroe Phang menjadi titik awal perjalanan. Dalam riuh tawa dan langkah ribuan orang, jejak-jejak sejarah tersingkap pelan, membawa mereka kembali ke abad ke-17. Taman ini, saksi cinta Sultan Iskandar Muda kepada permaisurinya yang berasal dari negeri Pahang Malaysia, kini menjadi ruang di mana cerita berkelindan dengan realitas masa kini.
Sebuah Napak Tilas: Tur Sejarah Krueng Daroy
Langit Banda Aceh yang biru merentang bagai kanvas besar, menyambut para peserta tur sejarah Krueng Daroy. Sebuah perjalanan kecil, tapi bermakna besar. Rute tur yang ditempuh bukan sekadar jalur olahraga, melainkan lorong-lorong bersejarah yang membawa peserta menuju kenangan tentang Kerajaan Aceh.
Langkah-langkah kecil dari anak-anak sekolah, terutama dari tingkat TK dan SD itu dengan semangat melintasi makam Sultan Iskandar Muda, tempat peristirahatan terakhir sang pemimpin agung.
Di setiap langkah, cerita berdesir di telinga. Tentang bagaimana Sultan Iskandar Muda, seorang raja visioner, memerintahkan pembangunan Krueng Daroy untuk irigasi dan transportasi, membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Sebuah sungai kecil, tapi dengan mimpi besar.
Safriati Safrizal, istri Pj Gubernur Aceh sekaligus Ketua TP PKK Aceh, menyaksikan langkah-langkah ini dengan harapan yang mengalir dalam tutur katanya.
"Banyak dari generasi kita kehilangan ingatan tentang sejarah. Acara seperti ini adalah jembatan, agar anak-anak kita tak hanya mengenal, tetapi juga mencintai warisan leluhur," ujarnya. Dalam kalimatnya terselip rasa tanggung jawab untuk menjaga agar kenangan-kenangan masa lalu tak terkubur oleh derasnya modernitas.
Tur Sejarah Krueng Daroy. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]Rute tur terus membawa mereka menuju Meuligo Gubernur Aceh, sebuah bangunan megah yang menyimpan cerita tentang diplomasi, politik, dan kehidupan rakyat Aceh pada masanya. Di sini, anak-anak mendengar kisah tentang bagaimana Sultan Iskandar Muda memimpin dengan kebijaksanaan, menciptakan sistem pemerintahan yang menjadi teladan bagi kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara.
Almuniza Kamal, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh (Disbudpar Aceh), menjelaskan dengan penuh semangat. "Kami ingin anak-anak memahami bahwa sejarah bukan hanya catatan masa lalu. Itu adalah identitas yang mengakar, yang harus mereka jaga dengan rasa cinta."
Bazaar UMKM: Ketika Sejarah Bertemu Ekonomi Kreatif
Di sudut lain festival, bazaar UMKM menjadi denyut nadi baru bagi perekonomian lokal. Stan-stan berjejer menawarkan produk khas Aceh, mulai dari kain tenun, makanan tradisional, hingga pernak-pernik yang memancarkan pesona budaya.
Almuniza Kamal menjelaskan bagaimana festival ini juga menjadi ruang bagi para pelaku usaha kecil untuk berkembang. "Kami berharap ini menjadi momentum bagi UMKM untuk menunjukkan kreativitas mereka. Dengan cara ini, kita tidak hanya mengenang sejarah, tetapi juga mendorong ekonomi kreatif yang berbasis budaya," katanya.
Sebagai bagian dari rangkaian acara, pemutaran film tentang pahlawan-pahlawan Aceh menggugah semangat generasi muda. Melalui layar lebar, mereka diajak mengenal keberanian dan pengorbanan tokoh-tokoh besar yang telah berjuang untuk tanah kelahiran mereka.
Dalam gelap malam yang disinari hanya oleh cahaya proyektor, cerita-cerita tentang perjuangan melawan penjajahan menjadi lebih dari sekadar tontonan. Ia menjadi pelajaran hidup, sebuah panggilan untuk mencintai dan menjaga warisan yang telah diwariskan dengan penuh pengorbanan.
Menjaga Api Sejarah Tetap Menyala
Festival Krueng Daroy bukan sekadar perayaan tahunan. Ia adalah upaya untuk menjaga api sejarah tetap menyala dalam hati setiap generasi. Melalui acara ini, masyarakat Aceh diajak untuk merenungkan, mengenang, dan memperkuat identitas mereka sebagai bagian dari tanah yang kaya akan warisan budaya.
Safriati Safrizal menutup dengan pesan yang menyentuh. "Sejarah adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Jika kita lupa, maka kita kehilangan arah. Mari menjaga apa yang kita miliki, agar generasi mendatang memiliki pijakan yang kokoh untuk melangkah."
Dari tepi Krueng Daroy, aliran airnya membawa pesan masa lalu ke masa depan. Sebuah pengingat bahwa sejarah bukan hanya milik mereka yang telah tiada, tetapi juga milik mereka yang hidup hari ini dan esok. Festival ini adalah sebuah janji, bahwa warisan Aceh akan terus hidup, mengalir seperti sungai yang tak pernah berhenti memberi kehidupan. [ra/nh]