Jum`at, 25 Juli 2025
Beranda / Feature / Janeng Bukan Lagi Pengganjal Perut, Namun Jadi Produk Andalan

Janeng Bukan Lagi Pengganjal Perut, Namun Jadi Produk Andalan

Rabu, 23 Juli 2025 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora
Keripik janeng hasil olahan dari ubi hutan asli. Foto: Nora/Dialeksis

DIALEKSIS.COM | Bener Meriah - Di tengah lebatnya rimba Kawasan Ekosistem Leuser, jauh di pelosok Kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah, ada historis tentang ketahanan hidup. Bukan tentang senjata atau kekuatan, melainkan soal makanan. 

Namanya janeng, si umbi hutan yang beracun. Namun ketika diolah oleh mereka yang ahli, umbian ini menjadi makanan, bahkan sebagai "penyelamat" untuk bertahan hidup di saat nasi sulit didapat.

"Dulu, pagi, siang, sore kami makan janeng dikasih sama ayah," ujar tokoh adat Samar Kilang Muhammad Syam atau akrab disapa Ama Tris. Tangannya gemetar, matanya berkaca-kaca saat mengenang masa kecilnya, masa yang penuh perjuangan di tengah hutan belantara.

Tokoh adat Samar Kilang, Muhammad Syam yang akrab disapa Ama Tris. Foto: Nora/Dialeksis

"Orangtua kami hanya punya itu. Janeng jadi harapan di tengah konflik, di tengah keterbatasan," katanya, Rabu (16/7/2025), saat diwawancarai di kebunnya.

Janeng--dalam dunia ilmiah dikenal sebagai Dioscorea hispida Dennst--adalah tanaman merambat yang tumbuh liar di hutan Aceh. Umbi ini mengandung racun jika salah cara dalam mengolah, namun di tangan warga Samar Kilang, janeng bisa menjadi makanan utama, pengganti nasi yang mengenyangkan sekaligus menyehatkan.

Ubi hutan asli (janeng). Foto: Nora/Dialeksis

Namun seiring berkembangnya daerah yang dulunya terisolir, masyarakat setempat kini tidak lagi menjadikan janeng sebagai makanan pokok, melainkan sebagai makanan selingan.

Menurut Ama Tris, janeng bukan sekadar bahan pangan. Ia adalah warisan. Sebuah artefak hidup dari masa lalu.

"Sejak sebelum Belanda datang, janeng sudah dikonsumsi masyarakat. Lebih mengenyangkan dari nasi. Gula alaminya rendah. Dulu, orang tua kami jarang sakit-sakitan," katanya sambil menatap ladang tempat ia menanam janeng untuk dikenalkan ke generasi baru.

Di masa konflik 1990-an, janeng kembali menjadi penyelamat. Di tengah kelangkaan bahan pokok, ia hadir sebagai pengganjal lapar bagi para pejuang yang bertahan di hutan. Tapi kini, di masa damai, janeng tak dilupakan. Justru bangkit dengan wajah baru.

Transformasi Janeng: Dari Hutan ke Pasar Nasional

Sejak 2021, janeng di Samar Kilang hadir dengan versi berbeda. Sebuah organisasi masyarakat sipil, Katahati Institute datang membawa semangat baru yaitu mengolah hasil hutan bukan kayu (HHBK) menjadi sumber ekonomi kreatif. Janeng pun kembali bersinar, tak lagi sekadar direbus, melainkan diolah menjadi keripik, kerupuk, bahkan tepung.

Ketua kelompok pengolah janeng, Rauyah yang akrab disapa Mak Jamur, masih menyimpan rapi kenangan saat produk mereka tampil di ajang Women Ecopreneur Fest di Ubud, Bali tahun 2023.

"Rasanya seperti mimpi bisa sampai ke Bali karena janeng," ucapnya dengan tawa bangga.

Ketua kelompok pengolah janeng, Rauyah atau akrab disapa Mak Jamur. Foto: Nora/Dialeksis

Kini, janeng dari Samar Kilang juga telah menembus pasar Kota Banda Aceh. Katahati Enterprise mendampingi sekitar 30 perempuan desa Samar Kilang dari hulu ke hilir, mulai pelatihan, alat produksi, hingga pemasaran.

Meskipun hasil penjualan belum sepenuhnya menjanjikan, semangat para ibu-ibu itu tak surut. Mereka percaya, janeng suatu hari akan dikenal lebih luas.

Janeng bukan sekadar makanan. Bagi warga Samar Kilang, janeng adalah simbol--ketahanan, kemandirian, dan hubungan harmonis antara manusia dan alam.

Di saat dunia menggantungkan pangan pada impor dan instan, warga Samar Kilang membuktikan bahwa hutan mampu menyediakan segalanya, tanpa harus ditebang dan dirusak. Bahwa dari belantara pun bisa lahir harapan.

Di dapur, di pasar, bahkan di panggung dunia, janeng kini hadir dengan wajah baru. Dulu pengganjal lapar, kini pembuka peluang.

Pohon Aren: Manis dari Hutan Samar Kilang

Tak hanya janeng, hutan Samar Kilang juga menyimpan manisnya pohon aren. Sejak 2021, perempuan-perempuan tangguh di sana mulai memproduksi bahan baku air nira yang diperoleh dari pohon enau menjadi gula aren. 

Tokoh adat Samar Kilang, Ama Tris melakukan ritual sebelum pengambilan air nira. Foto: Nora/Dialeksis

Mereka dilatih oleh Katahati Institute dan didukung Canada Fund Local Initiatives (CFLI), lembaga di bawah Kedutaan Kanada.

Tak kalah dengan janeng, produk gula aren Samar Kilang juga pernah tampil dalam forum bergengsi: G20 di Bali tahun 2022. Jessica Chang, Koordinator CFLI, memperkenalkan langsung produk ini kepada Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau.

“Dari Samar Kilang gula aren buatan kami bisa dikenal ke panggung dunia,” ujar Ketua Kelompok Aren, Saidah dengan senyum mengembang.

“Dari segi rasa, gula aren olahan kami lebih nikmat dibandingkan yang banyak dijual di pasaran, karena kami menjaga kemurniannya tanpa campuran gula putih.”

Ketua Kelompok Aren, Saidah. Foto: Nora/Dialeksis

Ia menjelaskan proses tradisional pengolahan nira yang masih lestari hingga kini: batang aren diketuk, diayun, dan didoakan dengan syair Gayo sebelum air niranya ditampung dalam bambu.

"Gula aren itu bisa dipakai untuk gula buat kopi, terus untuk bikin cendol dan makanan-makanan yang memerlukan gula bisa dipakai gula aren," ujar Saidah.

Produk gula aren. Foto: Nora/Dialeksis

Kini, gula aren mereka sudah dijual ke Banda Aceh, Bali, bahkan Kanada. Namun tantangannya masih banyak. Kelompok ini berharap ada dukungan lebih kuat dari pemerintah agar usaha ini tak hanya bertahan, tapi berkembang.

Gula aren banyak tumbuh di kawasan hutan. Bahkan di sebagian perkebunan penduduk sudah ada tanaman enau sebagai selingan tanaman utama. Enau yang dirawat dengan baik, bukan hanya menjanjikan rupiah dari airnya, namun daun dan batang juga bermanfaat.

Sekilas tentang Samar Kilang

Secara geografis, Kemukiman Samar Kilang berada di Kecamatan Syiah Utama, Bener Meriah. Namun akses terdekat justru dari Aceh Timur. Dulu, daerah ini sangat terisolasi. Perjalanan dari Simpang Tiga Redelong, Bener Meriah ke Samar Kilang memakan waktu hingga delapan jam, melewati jalan berlumpur dan tebing longsor.

Namun sejak 2021, jalan aspal mulus mulai membelah hutan. Kini, jarak itu hanya ditempuh dalam dua jam. Walau jalan yang dibangun dengan proyek multiyears itu, ada di beberapa kawasan yang hancur.

Salah satu titik jalan yang rusak saat menuju ke Samar Kilang. Foto: Nora/Dialeksis

Samar Kilang, berbeda dari kebanyakan wilayah Bener Meriah yang sejuk. Kawasan sungai berselimut hutan ini dikenal dengan suhu yang panas. Penduduknya--mayoritas suku Gayo--hidup dari hasil hutan: janeng, aren, dan hasil kebun, sawah dan lainnya.

Hidup di Samar Kilang tidak mudah. Saat kemarau, air menjadi masalah. Meski sungai mengalir di dekat rumah, saluran air tidak menjangkau permukiman. Mandi dan mencuci pun harus ke sungai.

Namun semangat hidup warga tetap membara. Anak-anak desa ini, sekitar 75 persen menamatkan SMA, bahkan beberapa melanjutkan kuliah. Masyarakat disana tumbuh sehat, terbiasa berjalan kaki ke kebun, mengolah lahan, dan sering bekerja di bawah terik matahari.

Walau kawasan ini dikenal dengan marginal, dengan penghidupan yang belum berkembang pesat, dari kawasan pegunungan beralirkan sungai ini pernah melahirkan seorang pemimpin di Bener Meriah, menjadi Bupati di lembah merapi ini.

Warga Samar Kilang dikenal dengan kegigihannya dalam menghadapi ganasnya alam. Termarginalkan dalam pembangunan, namun mereka tidak berputus asa dalam berjuang, bahkan ketika mereka kesulitan mendapatkan beras, alam sudah mengajarkanya untuk bertahan hidup dengan janeng.

Umbian yang sudah mendarah daging dan mengukir sejarah warga Samar Kilang, kini mulai diproduksi dalam kemasan cemilan, berupa keripik, tepung, kerupuk, bukan lagi hanya sekedar direbus.

Janeng tidak lagi sekedar menganjal perut di saat peliknya kehidupan, kini menghadirkan nuansa baru sebagai produk yang menjanjikan perbaikan ekonomi.[nr]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI