kip lhok
Beranda / Feature / Kenang Juita Pasca-Tsunami Aceh: Sekolah di Tenda, Buku Three in One, Kini Dihujani Prestasi

Kenang Juita Pasca-Tsunami Aceh: Sekolah di Tenda, Buku Three in One, Kini Dihujani Prestasi

Jum`at, 25 Desember 2020 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Roni
Juita Sulidarianti. [IST]

DIALEKSIS.COM | Simeulue - Tsunami 2004 lalu menyimpan beragam kenangan bagi masyarakat Aceh. Tidak hanya kehilangan harta benda, tapi juga nyawa ikut melayang akibat terseret derasnya bencana gelombang besar ini.

Tak cukup sampai di situ, pasca-tsunami masyarakat mulai menghadapi masa-masa sulit di pengungsian. Rumah runtuh digoncang gempa dan tersapu tsunami. Makanan serba terbatas karena pasar mati. Pakaian pun begitu.

Adalah Juita Sulidarianti, salah satu warga Desa Latiung Kecamatan Teupah Selatan Kabupaten Simeulue. Bocah yang masih kelas satu SD itu harus menerima dengan ikhlas rumah yang menjadi tempatnya bermain sehari-hari dan menjalani kehidupan dengan baik bahagia, dirusak gempa dan direndam tsunami.

"Waktu itu kami mengungsi ke Transmigrasi, tempat keluarga. Di sana serba terbatas, mulai dari makan, pakaian dan sebagainya. Tapi dibawa asyik aja karena waktu itu juga masih kecil," jelas Juita kepada Dialeksis.com, Jumat (25/12/2020).

Ia bercerita, waktu itu harus bersekolah selama hampir dua tahun di tenda sederhana dengan fasilitas yang serba kekurangan, menunggu pembangunan rumah sekolah baru yang hancur dihantam gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 lalu.

"Kami sekolah di bawah tenda dengan papan tulis seadanya. Kapur terbatas, buku three in one, satu buku untuk tiga orang. Itu pun di tenda digabung semua kelas, karena tendanya waktu itu terbatas," kenang Juita.

"Kemudian papa juga buat rumah kecil-kecilan untuk tempat tinggal kami, soalnya nggak enak tinggal terus di tempat keluarga. Waktu itu papa buat rumah di daerah Trans Jaya, awalnya cuma satu kamar, di situ piring, di situ tempat makan, tidur dan semua aktivitas," tambahnya.

Masa-masa sulit itu kemudian membuat Juita lebih kuat dan lebih tangguh. Usai menamatkan SD di Desa Latiung, wanita asal Pulau Simeulue ini memilih hijrah dan menutut ilmu ke Pesantren Jabal Nur Jadid di Aceh Barat Daya (Abdya).

"Selama enam tahun di sana, alhamdulillah menjadi juara pesantran sejak kelas tiga SMP sampai lulus SMA. Kemudian sempat menjadi juara Pidato Bahasa Arab se-Kabupaten Abdya juga," ungkap Juita.

"Kemudian lulus dari Jabal Nur Jadid, lanjut mondok di Dayah Ulee Titi selama tiga tahun. Kami di sana dalam setahun tiga kali ujian, dan alhamdulillahnya juara kelas selalu selama tiga tahun, kecuali ada sekali yang juara dua," tambahnya.

Juita yang kini dihujani prestasi itu sedang melanjutkan pendidikan program hafal Qur'an di Kuntum Indonesia, Kota Cilegon, Provinsi Banten. Menurutnya, bencana tsunami di masa lalu harus menjadi refleksi untuk lebih baik, tangguh dan selalu bersyukur atas apapun yang Allah berikan kepada hambanya.

"Perihal tsunami bukan hanya soal kerusakan alam secara sains, geologi dan semacamnya. Tapi juga karena keserakahan dan maksiat kita sebagai manusia, makanya Allah tegur dengan musibah. Kalau Allah sudah timpakan azab, mau orang baik atau jahat dan serakah, semuanya kena," ungkap Juita.

"Hikmah yang bisa diambil pasca 16 tahun tsunami Aceh adalah, segala sesuatu itu harus dijaga, disyukuri. Kalau Allah kasih nikmat segini jangan dirusak. Kemudian memperbaiki diri dengan selalu menjaga ketaatan kepada Allah, selalu semangat menatap mimpi, masa depan dan terus menjadi yang bermanfaat bagi banyak orang," tutupnya.

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda