Kerkhof Peucut: Saksi Bisu Perjuangan Aceh Lawan Kolonial
Font: Ukuran: - +
Reporter : Redaksi
Komplek makam Kerkhof Peucut. [Foto: dok. Acehtourism.travel]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di jantung Banda Aceh, di antara hiruk pikuk kota yang perlahan merajut kembali ingatannya, berdiri sebuah tempat yang menyimpan kisah-kisah bisu dari masa lalu. Tempat itu bernama Kerkhof Peucut, sebuah pekuburan sunyi yang luasnya mencapai 150 x 200 meter, tersembunyi di belakang Museum Tsunami Aceh di Jalan Teuku Umar, Kampung Sukaramai.
Langkah pertama melewati gerbang yang berdiri dengan megah membawa siapa saja ke dalam dunia yang berbeda. Pada dinding pintu masuk, terpampang sebuah tulisan dalam bahasa Belanda, Arab Melayu, dan Jawa: *"Untuk sahabat kita yang gugur di medan perang."* Kata-kata itu menggema, seperti doa yang terus hidup meski suara aslinya telah lama menghilang.
Nama-nama, sebanyak 2.200, terukir di dinding pintu masuk, setiap hurufnya bercerita tentang prajurit yang jatuh, waktu, dan lokasi mereka menemui ajal. Setelah melewati gerbang, hamparan nisan putih menyambut, masing-masing berbeda dalam bentuk, ada yang seperti salib, ada pula yang menjulang seperti tugu kecil. Di sinilah ribuan serdadu Belanda beristirahat, bersama sejumlah pribumi yang turut direkrut sebagai tentara Marsose dan pasukan KNIL. Mereka, orang-orang dari Ambon dan Pulau Jawa, menjadi bagian dari perang besar yang membara di tanah Rencong.
Setiap makam memiliki cerita. Tanda "Amb" pada nisan menandakan prajurit asal Ambon, sedangkan tanda "I" menunjukkan prajurit pribumi lainnya, termasuk dari Jawa. Mereka datang sebagai bagian dari pasukan Hindia Belanda, tapi di tanah Aceh ini, mereka juga menjadi saksi keperkasaan dan keberanian penduduk setempat. Kerkhof, yang berarti "halaman gereja" atau "kuburan" dalam bahasa Belanda, berbagi ruang dengan makam seorang pangeran Aceh yang tragis, Meurah Pupok, putra Sultan Iskandar Muda yang dihukum rajam oleh ayahnya sendiri karena melanggar hukum kerajaan tiga abad sebelum Belanda menginjakkan kaki di sana.
Sejarawan mencatat bahwa perang Aceh adalah salah satu perlawanan terbesar di Nusantara terhadap kolonialisme Belanda. Mulai tahun 1873, tanah Aceh menjadi medan perang yang penuh darah dan keberanian. Pada pertempuran pertama di Masjid Raya Baiturrahman, Mayor Jenderal J.L.H. Pel Kohler, pemimpin pasukan Belanda, tewas tertembak. Masjid Raya sempat terbakar, namun kemudian dibangun kembali sebagai simbol keteguhan masyarakat Aceh. Kohler sendiri, meski jasadnya sempat dimakamkan di Tanah Abang, Jakarta, akhirnya dipindahkan ke Kerkhof atas izin pemerintah Aceh.
Nisan-nisan di Kerkhof terbagi dalam kelompok tahun dan lokasi pertempuran. Dari pertempuran pertama di Banda Aceh pada 1873 hingga berbagai konflik lainnya di pelosok Aceh, setiap kelompok nisan seolah menjadi bab dalam buku sejarah. Namun, tidak semua nama terhubung dengan lokasi spesifik; beberapa hanya mencatat tahun, seperti 1896 hingga 1935, menunjukkan bahwa sebagian dari mereka jatuh di tempat yang tidak lagi bisa ditemukan.
Pintu gerbang komplek makam Kerkhof Peucut. [Foto: muji/acehtrend]Waktu berlalu, dan setelah Belanda pergi, Kerkhof sempat terabaikan. Kuburan ini menjadi sunyi dan penuh lumut, hingga seorang kolonel Marsose bernama J.H.J. Brendgen datang pada 1976. Melihat kondisi yang memprihatinkan, ia mendirikan Yayasan Dana Peutjut yang hingga kini merawat makam tersebut. Bahkan ketika tsunami dahsyat melanda Aceh pada 26 Desember 2004, menghancurkan banyak bagian kompleks ini, yayasan itu kembali membangun dan memperbaiki dengan dana yang tidak sedikit.
Kerkhof Peucut bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir. Ia adalah saksi bisu, monumen, dan pengingat bagi siapa saja yang ingin mendengar kisah-kisah tentang keberanian, pengorbanan, dan keadilan. Bagi Aceh, kompleks ini adalah bukti keadilan Sultan Iskandar Muda dalam menerapkan hukum, serta kegigihan masyarakat Aceh dalam mempertahankan tanah mereka.
Kini, tempat ini telah menjadi bagian dari jejak wisata sejarah di Banda Aceh, memanggil setiap jiwa yang ingin menyelami sejarah, mendengar bisikan masa lalu, dan merenungi arti sebuah perjuangan.[adv]