Jum`at, 19 Desember 2025
Beranda / Feature / Ketika Karbon Jadi Strategi PEMA Menjaga Masa Depan Dunia

Ketika Karbon Jadi Strategi PEMA Menjaga Masa Depan Dunia

Minggu, 13 Juli 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

PT Pembangunan Aceh (PT PEMA) mulai menggali potensi karbon dari kawasan hutan dan lahan kritis di Aceh melalui pendekatan Nature-Based Solutions (NBS) -- solusi berbasis alam yang mengharmonikan kepentingan ekologi dan ekonomi. [Foto: Ilustrasi AI oleh dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Feature - Di Aceh, hutan bukan sekadar hamparan hijau yang membentang dari kaki Bukit Barisan hingga pesisir timur.

Ia adalah ingatan, penyangga hidup, sekaligus saksi panjang hubungan manusia dengan alam. Kini, di tengah desakan krisis iklim global dan tuntutan pembangunan berkelanjutan, hutan Aceh memasuki babak baru, bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai aset strategis masa depan.

PT Pembangunan Aceh (PT PEMA), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah Aceh yang bergerak di sektor energi, industri, perdagangan, dan lingkungan, mengumumkan langkah strategis yang menandai perubahan arah pembangunan ekonomi daerah.

Perusahaan ini mulai menggali potensi karbon dari kawasan hutan dan lahan kritis di Aceh melalui pendekatan Nature-Based Solutions (NBS) -- solusi berbasis alam yang mengharmonikan kepentingan ekologi dan ekonomi.

Pada fase awal, lebih dari 100.000 hektare lahan di Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Aceh Timur ditetapkan sebagai kawasan prioritas.

Wilayah-wilayah ini dipilih bukan semata karena luasnya, tetapi karena denyut kehidupan yang masih terjaga di dalamnya, hutan lindung, hutan adat, lahan gambut, dan hutan desa yang selama ini menjadi penopang kehidupan masyarakat lokal.

Di Aceh, hutan kini berbicara dengan bahasa baru. Ia tak lagi hanya sunyi dalam hijau, tetapi bersuara dalam angka, data, dan nilai ekonomi, tanpa kehilangan ruhnya sebagai penjaga kehidupan.

Nature-Based Solutions, sebagaimana didefinisikan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), merupakan upaya melindungi, mengelola secara berkelanjutan, serta merehabilitasi ekosistem alam, sembari menghadirkan manfaat nyata bagi keanekaragaman hayati dan kesejahteraan manusia.

Di Aceh, konsep ini diterjemahkan sebagai ekonomi hijau yang berpihak pada alam dan manusia sekaligus.

Direktur Utama PT PEMA, Mawardi Nur, mengatakan bahwa proyek karbon ini bukan sekadar transaksi kredit emisi, melainkan transformasi tata kelola sumber daya alam. PEMA menggandeng Sagint, perusahaan teknologi dan infrastruktur aset digital lingkungan yang berbasis hukum di Kerajaan Arab Saudi dan Amerika Serikat.

Teknologi Sagint memungkinkan validasi, registrasi, serta pemantauan stok karbon secara real-time, berbasis kecerdasan buatan, data geospasial, dan uji biomassa langsung di lapangan.

Kolaborasi ini menjadikan Aceh sebagai salah satu wilayah pertama di Indonesia yang menerapkan sistem MRV (Measurement, Reporting, and Verification) berbasis bukti ilmiah yang transparan dan terukur. Setiap ton karbon yang diserap hutan dicatat, diverifikasi, dan diawasi dengan standar global, menghilangkan keraguan, mencegah manipulasi, dan memastikan akuntabilitas.

“Proyek ini bukan hanya soal ekonomi karbon, ini tentang bagaimana kita mengembalikan kedaulatan pengelolaan hutan kepada orang Aceh sendiri, dengan standar dunia. Kami ingin menjadikan hutan sebagai aset strategis yang menghasilkan nilai ekonomi tanpa menebang satu pohon pun," ujar Mawardi.

Saat ini, PEMA tengah menyelesaikan pemetaan legal dan sosial atas lahan-lahan potensial. Pendekatan yang digunakan bersifat transdisipliner melibatkan akademisi, lembaga swadaya masyarakat lingkungan, serta perwakilan komunitas adat dan lokal.

Setiap keputusan dirancang agar tidak merampas ruang hidup masyarakat, melainkan memperkuat peran mereka sebagai penjaga hutan.

Dengan asumsi konservatif rata-rata potensi serapan karbon sebesar 10 ton CO₂ per hektare per tahun, proyek ini diproyeksikan menghasilkan lebih dari 1 juta ton CO₂e per tahun.

Jika dikonversi dengan harga karbon global saat ini, yakni sekitar USD 10-20 per ton, nilai ekonomi yang tercipta diperkirakan mencapai USD 100-200 juta per tahun dalam beberapa tahun ke depan.

Namun transformasi hijau Aceh tidak berhenti di hutan. Di pesisir utara, tepatnya di Lapangan Arun, babak lain dari transisi energi sedang disiapkan.

Provinsi Aceh akan menjadi lokasi pertama di Indonesia, bahkan Asia, untuk penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) serta Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) berkelas dunia.

Hal ini ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara PT Pema Global Energi (PGE), anak usaha PT PEMA, dengan PT Pupuk Indonesia (Persero). Berdasarkan studi geologi dan geofisika tahun 2023, Lapangan Arun dinilai sangat ideal untuk pengembangan CCS/CCUS.

Reservoir batu gamping dengan lapisan penutup yang kuat menjadikannya aman sebagai lokasi penyimpanan karbon, dengan risiko kebocoran yang sangat minim.

Teknologi ini memungkinkan karbon dioksida dari fasilitas produksi ditangkap dan diinjeksi kembali ke dalam reservoir. Pada fase CCUS, proses ini bahkan dapat meningkatkan produksi migas yang ada.

Setelahnya, fase CCS akan memastikan CO₂ tersimpan secara permanen, mengubah emisi menjadi jejak yang tak lagi mencemari atmosfer.

Bagi PEMA, kolaborasi ini bukan sekadar kerja sama bisnis. Ia adalah ikhtiar panjang membangun masa depan, menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan kapasitas teknologi lokal, dan mewariskan lingkungan yang lebih lestari bagi generasi mendatang.

"Keamanan dan kenyamanan investasi di Aceh kami jamin sepenuhnya. Pemerintah Aceh siap mengawal setiap investasi yang masuk demi kemajuan daerah,” tutup Mawardi. [adv]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
pema