Sabtu, 06 September 2025
Beranda / Feature / Ketua DPR Aceh dan Krisis Etika Politik : Saatnya Partai Aceh Bertindak

Ketua DPR Aceh dan Krisis Etika Politik : Saatnya Partai Aceh Bertindak

Kamis, 04 September 2025 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Ketua DPRA, Zulfadli bersama Wakil Ketua DPRA Ali Basrah dan sejumlah anggota dewan lainnya didampingi Kapolda Aceh Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah maju ke tengah kerumunan massa. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Hari Senin, 1 September 2025, suasana Banda Aceh diselimuti mendung. Hujan rintik dan angin barat yang kencang tidak menghalangi ribuan mahasiswa, masyarakat, dan berbagai elemen lainnya turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka di depan Gedung DPR Aceh.

Aksi berjalan tertib, tanpa perusakan fasilitas umum, bahkan diapresiasi banyak pihak sebagai contoh kedewasaan berdemonstrasi di Aceh. Pesan yang dibawa sederhana namun mendalam, wakil rakyat di DPR Aceh harus kembali meneguhkan komitmen moral dan politiknya sebagai penyambung lidah rakyat.

Setidaknya ada beberapa poin tuntutan yang semestinya ditanggapi serius oleh DPR Aceh, mulai dari permintaan maaf publik, evaluasi tunjangan dan pendapatan, komitmen etika dan integritas, hingga tekad membangun Pemilu 2029 yang bersih dari politik uang. Semua ini adalah refleksi mendasar untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.

Namun, ironi justru datang dari dalam gedung dewan itu sendiri. Ketua DPR Aceh, Zulfadhli A.Md atau yang akrab disapa Abang Samalanga, melontarkan pernyataan kontroversial dengan meminta agar tuntutan massa ditambah frasa: “Aceh Pisah dengan Pusat, mau tulis biar aku teken?”. 

Pernyataan ini sontak menimbulkan tanda tanya besar, mengapa pimpinan lembaga legislatif justru melempar narasi yang berpotensi memicu perpecahan, alih-alih meredakan situasi ?

Apakah ucapan tersebut bisa dikategorikan sebagai makar ? Jawabannya tentu berada di tangan aparat penegak hukum. Namun yang jelas, sikap seorang Ketua DPR Aceh yang mengumbar pernyataan sensitif semacam ini adalah tindakan tidak bijak, apalagi di tengah krisis kepercayaan publik terhadap wakil rakyat.

Bukan kali ini saja Zulfadhli menuai sorotan karena sikap emosionalnya. Pada tahun 2021, saat skor sidang pertanggungjawaban APBA 2020, ia bersama sejumlah anggota DPR Aceh lainnya terlibat pengeroyokan terhadap Tantawi dari Partai Demokrat. Peristiwa ini mencoreng marwah DPR Aceh di hadapan publik.

Kasus lain terjadi pada rapat paripurna, 21 Februari 2025, terkait pelantikan Wakil Ketua DPR Aceh dari Fraksi Partai Golkar, Ali Basrah. Dalam forum resmi yang disiarkan langsung di kanal YouTube DPR Aceh, Zulfadhli menuding Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah alias Dek Fadh (Ketua Gerindra Aceh) dan Teuku Irsyadi (Bendahara Gerindra Aceh) sebagai “dalang” pengangkatan Plt Sekda Aceh, Drs. Al-Hudri MM.

Tudingan tersebut tidak hanya menyerang pribadi, tetapi juga berpotensi merusak hubungan harmonis yang sudah terjalin selama 15 tahun antara Partai Aceh dan Partai Gerindra, termasuk antara Mualem dan Prabowo Subianto. 

Publik menilai, tindakan itu adalah fitnah yang tidak pantas diucapkan seorang Ketua DPR dalam forum resmi.

Sikap emosional, ujaran provokatif, dan tuduhan tanpa dasar memperlihatkan krisis kepemimpinan di tubuh DPR Aceh. Bahasa yang seharusnya menjaga marwah lembaga legislatif justru berubah menjadi “bahasa warung kopi” yang penuh serangan personal.

Padahal, saat ini Pemerintah Aceh sedang serius memperjuangkan perpanjangan dana Otonomi Khusus di Jakarta. Narasi mengancam pusat seperti yang dilontarkan Zulfadhli tidak hanya mencederai citra lembaga, tetapi juga bisa memperkeruh proses lobi politik yang sedang dijalankan.

Publik pun bertanya-tanya, apakah layak seorang kader Partai Aceh yang ditugaskan memimpin parlemen mengumbar pernyataan tanpa koordinasi, bahkan berpotensi mengadu domba?

Situasi ini seharusnya menjadi alarm bagi Partai Aceh untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Jabatan Ketua DPR bukanlah arena pribadi, melainkan amanah partai dan tanggung jawab moral kepada rakyat. Jika sikap emosional dan kontroversial terus dibiarkan, yang rugi bukan hanya lembaga DPR, tetapi juga Partai Aceh sendiri yang bisa kehilangan kepercayaan publik.

Evaluasi dan pergantian Ketua DPR Aceh menjadi langkah mendesak demi menjaga marwah lembaga legislatif. Masyarakat Aceh berhak mendapatkan wakil rakyat yang beretika, bermoral, dan bekerja untuk rakyat, bukan pemimpin yang mempermalukan lembaganya dengan sikap tak terkendali.

Krisis etika politik di DPR Aceh adalah cermin dari lemahnya pengendalian diri seorang pemimpin. Jika Partai Aceh ingin tetap relevan dan dipercaya, langkah konkret harus segera diambil. Sebab rakyat sudah lelah melihat wakilnya lebih sibuk mengumbar emosi daripada memperjuangkan aspirasi.[]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
sekwan - polda
damai -esdm
bpka