kip lhok
Beranda / Feature / Komunitas Ruang Baca Membuka Jendela Literasi Mengajak Manusia Bijaksana

Komunitas Ruang Baca Membuka Jendela Literasi Mengajak Manusia Bijaksana

Rabu, 18 Agustus 2021 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : fatur
Ruang Baca Aceh. [Foto: Tangkapan Layar]

Awalnya hanya kumpulan anak-anak muda yang ingin keluar dari dunia kelam, namun ahkirnya komunitas ini menjadi pelita. Bahkan mereka sampai mengantarkan buku ke sekolah-sekolah terpencil.

“Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat”. Sebuah pesan dari Rasul, mengajak manusia untuk berjuang mendapatkan ilmu tanpa mengenal usia, tidak mengenal waktu.

Ilmu itu sangat mahal dan susah mendapatkanya, namun bila kita rajin, senantiasa berusaha, tidak menyerah dengan keadaan, konsisten, ilmu sebagai kunci dunia itu akan didapat.

Tanpa membaca dan belajar, ilmu itu tidak akan didapat, tidak akan datang dengan sendirinya. Di Aceh, budaya membaca sudah menjadi kebiasan masyarakat. Bahkan ada yang berjam-jam nongkrong di warung kopi hanya untuk membaca, mendapatkan informasi.

Demikian dengan literasi membaca, banyak sekali sekali lembaga, komunitas, penggiat yang terus mempertahankan tradisi “kuno” dalam membaca, bahkan menjadi trend dan menjadi kebiasan masyarakat setiap hari.

Dialeksis.com, sempat berkunjung ke salah satu komunitas yang sudah membangun tradisi membaca dengan mendirikan komunitas dengan nama Ruang Baca. Kisah unik mendirikan ruang baca ini juga menarik.

Awalnya ide mendirikan komunitas ruang baca ini berawal dari sebuah kos-kosan di Aceh Tamiang. Dari sinilah munculah ide dari segelintir anak muda untuk membuat sebuah wadah.

Kemudian ide yang menjadi kenyataan itu berkembang dan maju. Di era milenial ini dan melebar diseluruh Aceh. Kota Langsa menjadi pilihan sebagai pusat komunitas Ruang Baca.

Penggagas Ruang Baca, Ricky Syahrudi yang akrab dengan panggilan Mas Kivil. [Foto: Tangkapan Layar/Instagram/maskivel/ftr]

Menurut Kivil, salah seorang penggagas Ruang Baca ini mengisahkan cerita uniknya. Ruang baca terlahir dari rasa frustasi segilintir anak muda. Kumpulan segelintir anak muda ini ingin keluar dari masa kelam yang telah mereka alami.

 “Sehingga munculnya istilah ini adalah rumah bagi kalian yang ingin menjadi orang yang berguna untuk masyarakat. Tempat berkumpul mendapatkan ilmu,” sebut Ricky Syahrudi yang akrab disapa Kivil ketika Dialeksis.com menyapanya.

Banyak buku-buku di masyarakat yang jarang disentuh, tidak dibaca pihak lain. Bagaimana bila buku-buku di masyarakat itu disumbangkan kepada sebuah komunitas, agar bisa dibaca oleh mereka yang haus ilmu.

Kegelisahan Kivil sempat diungkapkan seniman Aceh, Tgk. Rashyid ‘Meseuru Lam Ateuk Gajah, Man Dipoh Lam Bede, I bedeh Bule, Bangket Seumangat, Mulia Ke Nanggroe’. Ungkapan Tgk. Rashyid menceritakan sosok Kivil hidup dalam keadaan semu dirumahnya, melihat segilintir buku, namun tak ada yang menyentuhnya.

Makanya tidaklah heran, bila Kivil menyebutkan filosofi Ruang Baca terlahir dari kondisi hidupnya yang semu, “Ruang Baca Adalah Ruang Yang Semu”.

Namun walau sebagai kehidupan semu, bagi Kivil itu adalah satu kekuatan agar dia bisa membuat kesemuannya menjadi riuh. Mengangkat tradisi kuno membaca untuk lebih maju dan diminati oleh masyarakat.

Niat yang tulus para pegiat Ruang Baca ini memang memang belum tercapai sepenuhnya. Namun virus yang dia bawa dari perantauannya di Kota Meteropolitan DKI Jakarta, kini mulai membuahkan hasil.

Ruang Baca ini memang masih berumur jagung. Namun telah melahirkan banyak komunitas literasi dan membaca sudah mulai disenangi oleh masyarakat. Khususnya di Aceh dimana masyarakatnya lebih suka menerima dongeng dari pada menyampaikan dongeng ataupun bersyair.

Ruang semu Kivil idamkan kini mulai terang dan mulai digemari oleh banyak orang. Sebuah karya walaupun belum berhasil sesuai target yang diinginkan. Namun “Virus” yang dibawanya sudah melebar dan digandrungi masyarakat.

“Saya sempat menangis terharu, melihat ruang semu sudah digemari dan berkembang dengan lahirnya komunitas. Buku-buku orang tua yang tak tersentuh sebelumnya dan buku dari pihak lain sudah dibolak balik masyarakat,” sebut Kivil.

“Saya sudah berhasil. Ayah dan ibu saya sudah mewujudkan ilmu yang tersimpan dibuku sudah dibaca manusia. Semoga pahala dari mereka yang membaca terus mengalir,” ucap Kivil. Dialeksis memperhatikan bola matanya ada buliran air bening bahagia.

Sahabat Ruang Baca sudah menunjukan hasil, dimana sebelumnya mereka berada di masa kelam, namun kita sudah mendapatkan secercah cahaya penerang hidup. Beragam aktifitas kecil mereka sudah mulai menunjukan dampak.

Seiring dengan dinamika, ibarat sepohon kayu yang terus disirami dan dipupuk, komunitas ini bukan hanya diisi oleh segelintir anak-anak muda. Di sana sudah bergabung sejumlah orang orang hebat.

Ada kepala dinas, kepala sekolah, ahli filsafat, penulis, seniman, pecinta puisi dan juga tentu masih banyak lagi orang hebat lainnya.

Bahkan hampir 70% donatur buku juga berasal dari Pulau Jawa, dimana para donator terus mendoakan mereka dan mensupport. Ruang Baca kini juga sudah melebar diseluruh Aceh dan melahirkan ide dan gagasan hebat.

Beda pendapat itu biasa, namun rasa kekeluargaan membuat Ruang Baca menjadi sebuah komunitas literasi yang memiliki kontribusi luar biasa bagi dunia literasi membaca.

Ricky Syahrudi, kini lebih dikenal sebagai sahabat Ruang Baca Kivil. Ada pesan yang menarik di Ruang Baca ini, “Membaca, lalu cobalah jadi bijaksana”.

Komunitas ini sudah melahirkan orang-orang hebat yang menjuarai lomba puisi. Disana juga berkumpul anggota yang aktif dan juga memiliki banyak ide-ide menarik.

Ruang Baca juga aktif dalam kegiatan sosial yang langsung turun ke desa-desa, bahkan mereka turun ke sekolah sekolah terpencil, untuk membagi buku-buku sebagai bahan materi ajar kepada generasi selanjutnya.

Aksi donasi buku ke desa-desa terpencil di Aceh oleh Ruang Baca. [Foto: Tangkapan Layar/Ruang Baca]

Aksi donasi buku ke desa-desa terpencil di Aceh oleh Ruang Baca. [Foto: Tangkapan Layar/Ruang Baca Banda Aceh]

Ikram Fahmi SY adalah seorang penggagas Ruang Baca yang ada di Banda Aceh. Lelaki dengan gaya reggea, rambut gondrong kribo, berkulit sawo, menerima Dialeksis.com dengan ramah, ketika diminta keteranganya.

Seniman aktif dalam salah satu band lokal Apache13, kepada Dialeksis.com menyebutkan, Ruang Baca juga sebagai tempat bertukar pikiran, membedah buku, menambah ilmu dan juga sebagai rumah baru baginya.

Ikram Fahmi SY, Penggagas Ruang Baca Banda Aceh. [Foto: Tangkapan Layar/Instagram/akang_gendang13]

Ikram bergabung dengan Ruang Baca sejak tahun 2019, dimana Ruang Baca terbentuk 30 September 2018. Dia bercerita, Ruang Baca memiliki celetukan-celetukan abstrak ketika sedang berkumpul. Solidaritas yang tinggi dimana rasa saling menghargai dan menjunjung tinggi perbedaan pendapat.

“Komunitas yang dibentuk ini bertujuan bukan hanya sebuah wadah dan rumah saja, tapi adalah sebuah tempat untuk saling berbagi suka dan duka,” sebut Ikram.

Bagi Ikram Ruang Baca itu menjadi rumah baru baginya , disana dia pertama kali ia bertemu sosok Kivil (Ruang Baca Kota Langsa) dan Budi (Ruang Baca Kota Langsa).

Soal Ruang Baca Banda Aceh, Ikram mengisahkan, komunitas disini aktif dengan kegiatan diskusi dan bedah buku, ataupun tempat bertukar pikiran. Awalnya anggotanya mencapai 30, kini hanya 3 orang yang aktif.

Kegiatan Ruang Baca Banda Aceh. [Foto: Ruang Baca/Dialeksis/ftr]

Mengapa hal itu terjadi? “Tentu dalam sebuah komunitas ada saja orang-orang yang memiliki sebuah keinginan menjadi sosok yang terkenal ataupun mempolitisi komunitas tersebut sebagai wadah dari kepentingan pribadi,” sebutnya.

Ikram tidak suka hal itu, Ruang Baca dibentuk sebagai tempat ataupun wadah yang dimana orang berkumpul untuk meningkatkan budaya literasi membaca.

Kecintaan Ikram terhadap rumah barunya dia pertahankan dengan prinsipnya, penuh disiplin agar tradisi kuno (literasi membaca) tidak hilang. Karena jika tradisi kuno ini dipolitisi sebagai kepentingan pribadi akan berdampak buruk bagi komunitas.

Kegiatan lapak baca gratis oleh Ruang Baca Banda Aceh. [Foto: Ruang Baca/Dialeksis/ftr]

Ikram mengutip sebuah petuah bijak dari Buya Hamka. “Kecantikan yang abadi terletak pada keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang. Bukan terletak pada wajah dan pakaiannya”.

Kutipan itu membuat Ikram semakin semangat mempertahankan agar Ruang Baca menjadi sebuah wadah untuk menambah ilmu dan bukan sebagai ajang kepentingan politik.

Ikram berharap, Ruang Baca Banda Aceh dapat terus berkembang, bukan hanya sebuah wadah kecil saja, namun juga bisa menjadi wadah mengembangkan minat baca dari segala aspek dan perkembangan zaman yang modernisasi seperti saat ini.

“Jadikan sebuah komunitas sebuah wadah menambah ilmu, bukan sebuah ajang mempolitisi kepentingan pribadi,” pinta Ikram.

Bedah Buku

Bagaimana membedah buku, Rizky tim Dialaksis.com sempat berbagi ilmu dengan Ikram. Karena seniman ini ahli dalam urusan sastra, otomatis buku yang dibedah lebih bernuansa sastra.

Buku Pengantar Sastra Aceh. [Foto: Tangkapan Layar/Instagram/Ruang Baca Banda Aceh]

Bedah buku pengantar sastra Aceh menjadi asik. Dikutip dari Instagram @RUANGBACA_BNA, tertulis bahwa Sastra Aceh dalam buku ini sastra berbahasa Aceh.

Sastra tersebut terdiri atas lisan dan sastra tulis. Saat ini banyak sastra lisan yang sudah dituliskan, tetapi sastra lisan tersebut bukanlah sastra tulis. Ia adalah sastra lisan yang dituliskan (dicatat atau diaksarakan) dan kemudian didokumentasikan.

Dalam buku ini sudah jelas dan memberi pemahaman bagi setiap pembaca bagaimana perjalanan sastra Aceh. Beberapa pepatah buku ciptaan Dr. Mohd. Harun, M.Pd. atau lebih dikenal Harun al Rasyid salah satunya ‘Som salah peulumah saleh’.

Mantra dalam silsilah Aceh sering disebut ‘neurajah’. Mantra ini pada tempo dulu masih mempercayai akan roh gaib atau sebuah mantra yang dapat membuat sesuatu berjalan lancar. Sebagai contoh, sebut saja dengan ‘Neurajah Menderes Nira Ijuk’.

Ataupun istilahnya Acehnya H’Iem dan jenisnya sampai kedalam Seulaweut (Salawat) yang sudah menjadi keabsahan masyarakat Aceh secara umum.

Materi dalam Buku Pengantar Sastra Aceh

Saat bercerita dengan Ikram bersama tim Dialeksis.com, ditemukan penjelasan, dalam buku sastra Aceh memiliki banyak pepatah, dongeng legenda, dan pantun. Salah satu cerita yang diangkat dalam buku ini adalah dongeng binatang ‘Peulandok Ngon Singa’.

Dongeng binatang (fable) adalah dongeng yang ditokohi binatang, baik binatang peliharaan maupun binatang liar, seperti binatang menyusui, binatang melata, burung, ikan dan serangga.

Binatang itu dalam dongeng dapat berbicara dan berakal budi layaknya seperti manusia. Dalam cerita seperti ini biasa mengandung pesan moral, yakni ajaran baik dan buruk dari perbuatan dan kelakuan.

Cerita dongeng binatang atau tokoh dalam cerita dongeng binatang ini sangat bergantung dimana dongeng tersebut lahir. Hampir setiap daerah memiliki kisah dongeng yang menarik, mengajarkan manusia untuk berpikir memperbaiki diri. Kisah dongeng ini menjadikan binatang seperti kancil, harimau, gajah, tikus, buaya, babi, dan kera, atau hewan lainya sebagai pemeran utama.

Peulandok misalnya, sering sekali diibaratkan sebagai hewan cerdik, biasanya kancil sering sekali menjadi tokoh utama dari sebuah dongeng dengan buaya.

Ada seekor kancil yang ingin menyeberang sebuah sungai yang dipenuhi dengan buaya yang lapar. Kancil harus melintasi sungai itu. Dia dikejutkan dengan apa yang dihadapinya, sekumpulan buaya lapar.

Setiap mahluk ada rasa takutnya, itu lumrah. Ahirnya sang kancil mencari akal untuk dapat menyeberang. Akal cerdik kancil ini sering kita dengar dimasyarakat dengan istilah akal peulandok.

Kancil meminta para buaya untuk berbaris membentuk jembatan, dengan iming para buaya dapat memakan dirinya tanpa harus berebut dan saling berkelahi. Tentu buaya menanggapi permintaannya dengan senang hati dan mulai berbaris membentuk seperti sebuah jembatan.

Dengan akal liciknya, si kancil menjadikan buaya bahan bulan-bulanan, Dia melompati satu persatu buaya itu sambil menghitungnya. Hingga sang kancil selamat ke seberang sungai.

Tokoh seperti kancil sering sekali di jadikan binatang yang cerdik, tetapi licik, dalam ilmu folklor dan antropologi disebut dengan istilah the trickster atau tokoh penipu.

Banyak tuntutan hidup yang dapat diambil dari berbagi kisah dongeng yang dahulu dituturkan secara lisan. Menemani tidur anak anak pada masa dulu. Kisah yang mengajarkan kepada manusia bagaimana memaknai hidup.

Itu secuil kisah yang sempat dibedah. Masih banyak kisah lainya. Namun di Ruang Baca ini bukan hanya memajang buku legenda untuk dibaca. Sejumlah buku buku lainya tersusun rapi menanti manusia untuk membolak balik halamanya.

Sebuah komunitas yang terlahir dari rasa putus asa, ahirnya mampu melahirkan karya yang berperan mencerdaskan anak bangsa. Ruang Baca sudah mengajarkan manusia untuk bijaksana dalam membuka jendela dunia. [ftr]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda