DIALEKSIS.COM | Feature - Di tengah gelombang bencana yang terus menghantam Aceh, Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem, tampil bukan sekadar sebagai gubernur, melainkan sebagai sosok yang hadir penuh hati. Ia turun ke lapangan, berhari-hari bersama rakyat, memastikan bantuan benar-benar sampai ke gampong-gampong yang paling membutuhkan. Ia ikut mengantar logistik, menembus daerah terisolasi, dan menuntut birokrasi bekerja lebih gesit dari biasanya.
Air mata seorang pemimpin
Dalam laporan resmi, Mualem sempat menangis. Tangis itu pecah ketika ia menyampaikan betapa banyak gampong hancur, korban berjatuhan, dan rakyat terisolasi karena infrastruktur rusak, termasuk jaringan internet. Air mata itu bukan kelemahan, melainkan cermin empati seorang pemimpin yang hatinya menyatu dengan luka rakyatnya.
Ketegaran di tengah keputusasaan
Ketika sejumlah kepala daerah kabupaten/kota menyerah, merasa tak sanggup menghadapi beratnya kerusakan, Mualem justru berdiri tegak. Ia tahu, seorang pemimpin tidak boleh runtuh ketika rakyat membutuhkan arah. Ia menegaskan bahwa pemerintahan harus bergerak lebih cepat, lebih gesit, dan lebih tanggap dari biasanya.
Menggalang dukungan luas
Mualem tidak hanya menjalin komunikasi dengan Pusat. Ia sadar daya rusak bencana ini terlalu besar untuk ditangani satu pihak. Karena itu, ia menggalang dukungan dari berbagai lembaga, organisasi, dan pihak lain di luar Pusat. Solidaritas lintas batas menjadi kunci agar rakyat Aceh tidak merasa sendirian menghadapi kehancuran.
Membela rakyat dalam kebijakan darurat
Di tengah situasi genting, Mualem bahkan mendorong BPH Migas agar sistem pengisian BBM dengan barcode tidak menghambat tim penanggulangan bencana maupun masyarakat. Baginya, kebijakan harus berpihak pada rakyat, terutama di saat darurat.
Patah hati di langit Aceh
Saat berada di pesawat, Mualem patah hati melihat dari ketinggian keadaan rakyat di bawah yang memohon dukungan segera. Ia tahu, setiap kali tiba di satu daerah, di daerah lain rakyat juga menanti bantuan yang sama. Beban hati itu terasa berat, terlebih ketika ia sadar distribusi bantuan tidak mudah, harus lewat udara, dan penuh keterbatasan. Di titik itulah Mualem berserah diri kepada Allah, memohon kekuatan agar tetap tegar memimpin.
Pilu di Posko Komando
Dari Posko Terpadu Pemerintah Aceh, laporan terbaru per 2 Desember 2025 pukul 20.00 WIB mematahkan hati:
• Wilayah terdampak: 18 kabupaten/kota, 229 kecamatan, 3.310 gampong.
• Korban terdampak: 229.767 KK atau 1.452.185 jiwa, dengan rincian 1.435 luka ringan, 403 luka berat, 249 meninggal dunia, dan 227 hilang.
• Pengungsian: 828 titik, menampung 157.321 KK atau 660.642 jiwa.
• Kerusakan fasum: 138 perkantoran, 51 tempat ibadah, 201 sekolah, 4 pesantren.
• Kerusakan infrastruktur: 302 titik jalan, 152 jembatan.
• Kerusakan harta benda: 77.049 rumah, 182 ternak, 139.444 hektar sawah, 12.012 hektar kebun.
• Distribusi logistik: masuk 8.703 unit (51.216 ton), keluar 6.656 unit (28.605 ton), stok tersisa 2.047 unit (22.711 ton).
Angka-angka ini bukan sekadar data, melainkan wajah penderitaan rakyat yang harus segera ditolong.
Kilas Balik: Bencana Hidrometeorologi dan Langkah-Langkah yang Terbaca Tapi Tak Terbendung
Bencana besar yang melanda Aceh berawal dari fenomena hidrometeorologi -- cuaca ekstrem akibat interaksi atmosfer dan hidrologi. Curah hujan yang melampaui batas normal mengguyur Aceh berhari-hari, membuat sungai meluap, tanggul jebol, dan banjir bandang tak terbendung. Air yang turun dari langit berubah menjadi gelombang kehancuran, merendam gampong, merusak infrastruktur, dan memutus jaringan komunikasi.
Namun bencana ini bukan tanpa tanda. Sejak 30 September 2025, BMKG telah memprediksi risiko banjir di Aceh. Tanggal 6 Oktober, sosialisasi kesiapsiagaan digelar. 7 Oktober, Mendagri menginstruksikan siaga bencana ke seluruh kepala daerah. Lalu 20 Oktober, BMKG mengirim surat resmi ke Gubernur Aceh tentang siaga hidrometeorologi.
Tapi hujan deras mulai melanda sejak 24 Oktober, dan banjir mulai menyebar. Sekda Aceh menggelar rapat koordinasi pada 27–28 Oktober, dihadiri BNPB. 18 November, Gubernur Aceh melepas bantuan logistik sebagai langkah konkret, bukan simulasi. Namun banjir terus meluas, dan pada 27 November, status tanggap darurat ditetapkan. Di akhir bulan, BNPB menyatakan Aceh sebagai prioritas nasional dalam penanggulangan bencana.
Fenomena ini erat kaitannya dengan perubahan iklim global. Pemanasan suhu bumi meningkatkan intensitas uap air di atmosfer, sehingga hujan ekstrem lebih sering terjadi. Di Aceh, kondisi geografis yang dikelilingi pegunungan dan sungai besar membuat dampaknya semakin parah: banjir bandang, tanah longsor, dan isolasi wilayah.
Mualem berdiri di tengah badai ini sebagai pemimpin yang menangis bersama rakyatnya, tegar menggalang dukungan, dan berserah diri kepada Allah. Air mata, ketegaran, dan doa berpadu menjadi simbol kepemimpinan Aceh di masa paling kelam, ketika bencana hidrometeorologi menguji daya tahan rakyat dan pemimpinnya. [arn]