kip lhok
Beranda / Feature / Rumah Singgah BFLF Lampriet Tempat Berbagi Duka

Rumah Singgah BFLF Lampriet Tempat Berbagi Duka

Kamis, 10 Juni 2021 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Apa yang Anda rasakan bila ke Banda Aceh membawa istri atau anak lagi sakit untuk berobat. Sementara Anda tidak punya tempat berteduh, tidak punya sanak famili? Apakah Anda akan menetaskan air mata mengadu kepada Tuhan?

Apalagi Anda ditakdirkan Tuhan hidup dalam garis kemiskinan, untuk memenuhi kebutuhan hidup saja susah. Ketika Anda berangkat ke Banda Aceh (RSUZA) dengan uang alakadarnya, sekedar cukup buat menganjal perut. Bahkan ada kalanya harus berpuasa.

Erliani, seorang ibu sembilan anak yang tinggal di salah satu ruangan yang tidak terpakai, di salah satu sekolah di Perlak, Aceh Timur, tidak mampu membendung air matanya, ketika dia harus mengantarkan anaknya berobat ke RSUZA Banda Aceh.

Dia tidak tahu mau kemana. Kalau bukan karena anaknya yang sakit, dia tidak sampai ke Banda Aceh. Untuk ke ibukota provinsi Aceh ini dia membutuhkan biaya, sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup dia sudah merasa kesulitan.

Ibu sembilan anak ini dalam sehari hanya mendapatkan penghasilan Rp 20 ribu sampai tiga puluh ribu, itu juga dia harus bergumul dengan lumpur seharian di hutan bakau.

Air bening di indra penglihatanya mengalir, ketika Erliani mendapatkan naungan, ada tempat berteduh. Saat dia menjadi keluarga dari Rumah Singgah BFLF, Jalan Gabus No. 52 Lampriet. Ternyata masih ada manusia yang berbagi, mau menampungnya saat sedang kesulitan.

Ternyata bukan hanya Erliani yang merasakan manfaat rumah singgah. Sejak berdiri tahun 2014 BFLF ini sudah menampung ratusan dari mereka yang memang sangat butuh bantuan. Rata rata keluarga pasien kanker, jantung, diabetes, serta sejumlah penyakit lainya yang terbilang parah.

“Di sini mereka bagaikan rumah sendiri, kami siapkan kebutuhan dapurnya. Mereka bisa memasak, menyuci dan mengurus kebutuhan si sakit, bahkan kami menyediakan ambulan antar jemput,” sebut Michael Oktaviano, salah seorang pengelola Rumah Singgah BFLF, Lampriet, menjawab Dialeksis.com, Kamis (10/06/2021).

Micheal mengakui terenyuh dan terekam di memorinya, ketika seorang suami dari Aceh Selatan yang mendiami rumah singgah mengurus istrinya yang sakit. Si suami cukup setia mengurusnya, mencuci pakaian dan memenuhi segala kebutuhan si istri. Tuhan sudah menakdirkan perjalan hidupnya, hingga harus meninggalkan alam pana ini.

Pengalaman lainya, dialami sepasang suami istri dari Atu Lintang, Takengon, Aceh Tengah. Si istri mengalami sakit jantung yang diantar berobat ke RSUZA. Sang suami harus tidur di lorong RSUZA, karena tidak tahu mau berteduh dimana. Tubuhnya bentol digigit nyamuk.

Anaknya yang berumur 7 tahun terpaksa dia tinggal dengan berat hati, mereka titipkan ke keluarga. Namun setelah mereka tinggal di rumah singgah, setelah difasilitasi pihak rumah singgah, ahirnya anaknya diboyong ke Banda bersama mereka, tidak lagi menjadi beban pikiran.

Pengalaman yang hampir sama soal anak yang ditinggalkan, juga dialami seorang ibu yang baru 100 hari ditinggal suaminya karena sakit. Warga Matangkuli Desa Blang, Lhoksukon, sudah sebulan setengah meninggalkan anaknya di kampung halaman.


Kembali pihak BFLF mempasiltasinya untuk tinggal bersama di rumah singgah selama dia mengurus si sakit di Banda Aceh. Menurut Micheal masih banyak kisah lainya yang mereka alami di rumah singgah.

Di rumah singgah ini kebutuhan makan mereka disediakan, bahkan para penghuni rumah singgah menjadikanya sebagai rumah sendiri. Memasak sendiri, dan berinteraksi sesama penghuni dan pengelola di sana.

Saat seseorang sedang membutuhkan pertolongan, apalagi mereka berada di negeri orang tanpa sanak saudara, biasanya bagi mereka menderaikan air mata mengadu kepada yang maha kuasa.

Sebagian dari mereka bait bait donya dikabulkan Allah dengan memberikan mereka tempat persingahan di BFLF Lampriet Band Aceh. Sebuah rumah yang dipenuhi doa doa dari mereka yang benar benar butuh pertolongan.

Rumah Singgah BFLF sudah menjadi tempat mereka berbagi duka. Meringankan beban hidup saat mereka dicoba yang maha kuasa. Pengelola rumah singgah sudah melakukan tugas kemanusian, berbagi saat manusia lain memang sangat membutuhkanya. *****Bahtiar Gayo


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda