Senjakala Gurita, Ingatan untuk Tidak Dikenang dan Tidak Terulang
Font: Ukuran: - +
Reporter : T. Muhammad Jafar
DIALEKSIS.COM | Feature - Malam itu, Jumat 19 Januari 1996, jam 20.15 lampu kapal masih terlihat dari dermaga Balohan. Warga begitu ramai di pelabuhan, menjemput sanak saudaranya dari daratan Aceh yang akan berlabuh. Suasana masih gembira, para penjemput saling bercengkerama.
Jam 20.30, lampu kapal tidak terlihat lagi, suasana mulai hening dan sepi, tidak ada yang tahu pasti bagaimana kondisi kapal yang belum sampai. 4 jam kemudian, baru dipastikan bahwa KMP Gurita telah tenggelam, 6 mil dari daratan teluk Balohan. Kepastian itu didapat dari warga yang selamat setelah berenang cukup jauh dalam ganasnya ombak dan terdampar di pantai Keuneukai.
Hari ini, ingatan ini adalah ingatan yang telah berusia 29 tahun, hampir tiga dasawarsa. Senjakala ini adalah juga pembelajaran untuk tidak terulang lagi, pelajaran bahwa kapal mungil ini dipaksa mengangkut 378 penumpang, melebihi beban normal yang sanggup dibawanya yaitu 210 penumpang, kelebihan 168 penumpang. Kapal yang terakhir saya naiki di Bulan desember 1996 ini juga dipaksa membawa 50 ton barang, 10 ton semen, 8 ton bahan bakar, 15 ton tiang beton listrik.
Dalam tragedi, yang ditahun 1996 disebut transportasi laut terbesar di Indonesia, saya kehilangan seorang kakak, bernama Fatimah Sulaiman, dia mahasiswi semester akhir Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Islam IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, sudah menyelesaikan skripsi dan hanya menunggu sidang. Kakak yang wajahnya mirip Ayu Azhari ini, pulang ke Sabang untuk memberi kabar gembira kepada Ayah dan Mak dan kepada kami semua bahwa akan segera sidang dan kemudian selesai, dia pulang juga untuk merayakan meugang bersama keluarga
Tetapi takdir punya cerita sendiri, takdir hanya punya rahasia antara dia dengan yang direnggutnya, kakak tidak pernah sampai ke Sabang dan tidak pernah memberi kabar gembira tersebut. Dia hanya memberi kabar bahwa dia telah pergi dan abadi di dasar laut bersama 283 penumpang lainnya yang tidak pernah ditemukan jasadnya. Mereka abadi di kedalaman 450 meter bersama Gurita yang mungil yang badannya tidak pernah diangkat lagi.
Kabar itu
Malam itu, jam 01.30, adik ayah yang tinggal di lorong Pantai Jaya (sekarang Juroeng Pantai Jaya), bersama istrinya datang ke rumah kami. Saat itu ayah bersama kami semua sudah tidak tidur lagi, menanti kepastian apakah kakak ada atau tidak dalam kapal yang tenggelam tersebut. Saat itu adik Ayah mengabarkan berdasarkan berita pasti yang didapatnya bahwa kakak ada di dalam kapal Gurita dan berada di dalam kamar VIP. Kami semua berharap kakak selamat dan jikapun sudah meninggal, jenazahnya bisa ditemukan.
Setelah kabar dari adik ayah itu, kepastian bahwa kakak ada dalam manifes juga kami dapat dari seorang warga gampong kami yang selamat setelah berenang cukup jauh, namanya Mus, dia menyatakan bahwa kakak berada di kamar VIP. Ada dua orang warga gampong kami yang selamat, satu Mus dan satu lagi Hasyim (sekarang sudah almarhum). Hasyim ini bercerita ketika kapal sedang tersedot tidak terlalu dalam, dia segera naik ke puncak paling atas, kemudian dia azan, ketika melompat ke laut dia menemukan sebotol aqua besar, dengan itulah dia mengapung sampai ditemukan oleh kapal nelayan. Di gampong, kami ada puluhan yang menjadi korban yang jasadnya juga tidak ditemukan.
Tentang Kakak yang pergi ini, saudara yang ada di Lamnga Masjid Raya bercerita bahwa pada hari itu, kakak membawa banyak sekali oleh-oleh. Bahkan dia mau membawa kacang tanah yang baru saja dipanen dikebun di Gampong Baro, sebelum-sebelumnya dia tidak pernah mau membawa apapun semua oleh-oleh yang titip, tetapi hari itu dia mau membawa semuanya, bahkan dengan sangat gembira sekali, sebuah isyarat bahwa dia akan pergi dan tidak kembali lagi. Semua oleh-oleh itu dibawanya jam 18.45 dari Pelabuhan Malahayati Krueng Raya.
Ketika peristiwa ini terjadi, saya masih berusia 16 tahun dan kelas III SMP. Saya ingat betul, pagi itu saya tetap ke sekolah di SMP 2 Sabang, ketika sampai di sekolah bersama puluhan siswa lainnya, Ibu Yusnani, Kepala Sekolah saat itu sambil menangis berkata kepada kami semua, "...pulanglah kalian semua, hari ini sekolah libur, ..kumpul sama keluarga, kalian semua yang sabar ya, ..." Setelah itu kami pulang dan tidak pernah ke sekolah lagi, karena 3 hari setelah itu puasa dan sekolah libur.
Di Bulan puasa, setelah tenggelam Gurita, berhari-hari warga Sabang tidak mau mengkonsumsi ikan, termasuk kami. Mereka hanya mengkonsumsi telur, ayam, daging dan Kareng. Penyebabnya adalah ada kabar ditemukannya jari dalam perut ikan, ketika ikan itu dibelah oleh nelayan. Berita ini cepat sekali tersebar dari mulut ke mulut, dan lama sekali hilangnya.
Samadiah, tahlil dan kenduri untuk yang meninggal pun dilaksanakan bergiliran di gampong kami. Di rumah kami saat itu giliran ke 7 dilaksanakannya samadiah, tahlil dan kenduri, semua sanak saudara berkumpul dan saat itu, di malam kenduri itu saya melihat kakak datang dan berdiri halaman depan rumah, dia memakai baju semuanya putih bergaun seperti putri raja-raja, dia tersenyum, melambaikan tangan dan kemudian pergi...saya tidak punya pengetahuan apa-apa ketika itu, belum belajar filsafat yang mendalam, ...dan saya yakin yang lain tidak ada yang melihat.
Desember lalu, dipuncak - puncaknya orang berlibur ke Sabang, sambil jalan pagi, saya berjalan ke Pelabuhan Ulee Lheue, saya sengaja berdiri di pintu gerbang dekat kapal bersandar, dibandingkan dengan Gurita, kapal sekarang 3 kali lipat lebih besar dari kapal Gurita, disitu saya melihat, ada kendaraan roda dua dan penumpang yang tidak diizinkan masuk lagi dan diminta untuk menunggu kapal berikutnya karena kapasitas penumpang sudah cukup dan tidak boleh lebih, artinya pelayanan transportasi sudah bagus dan mengutamakan keselamatan daripada keuntungan. Tentu ini pelajaran penting setelah 29 tahun tenggelamnya KMP Gurita.
Kini , semua itu bukan untuk dikenang secara mendalam dan menusuk sampai ke jantung hati, karena hidup harus berlanjut dengan segala karya dan persembahan, namun itu semua hanya sebagai ingatan untuk tidak terulang.
Terompet kapal dibunyikan sebanyak 3 kali, tanda kapal akan berangkat, ketika tambat dilepas, Aceh Hebat pun bergerak meninggalkan pelabuhan, dia akan melewati Gurita yang sudah abadi di kedalaman 450 meter 29 tahun lalu,
Kepada kapal yang akan berangkat saya berkata: "Pergi saja duluan, nanti aku kembali ketika cengkeh sudah berbunga, akan kupetik kenangan dan kupanen romansa..."
Banda Aceh, 19.01.25 : 11.58.
(19 Januari 1996 - 19 Januari 2025). [**]
Penulis: T. Muhammad Jafar
- Aktivitas Vulkanik Gunung Kilauea Hawai kembali Aktif, Wisatawan Diminta Waspada
- Mengenang 20 Tahun Tsunami Aceh, Adi Warsidi Ceritakan Pengalaman saat Meliput
- Hujan Lebat Berpotensi Landa Aceh 27-29 Desember 2024
- Mengenang 20 Tahun Tsunami, Pemerintah Aceh Ajak Warga Kumpul di Masjid Raya Baiturrahman