DIALEKSIS.COM | Aceh - Industri wastra tradisional Indonesia kian menunjukkan taringnya sebagai ujung tombak fesyen berkelanjutan, seiring meningkatnya kesadaran konsumen terhadap dampak lingkungan dari tren fast fashion. Produk-produk seperti batik, tenun, dan songket kini tak hanya dianggap sebagai warisan budaya, tapi juga solusi konkret atas permasalahan industri mode global.
“Wastra Nusantara hadir bukan hanya sebagai produk budaya, melainkan juga sebagai solusi,” ujar Reni Yanita, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian dalam keterangan resminya, Rabu (23/4/2025).
“Proses pembuatannya yang sarat nilai kearifan lokal, penggunaan bahan alami, serta filosofi yang terkandung di dalamnya menjadikan wastra sangat sejalan dengan konsep slow fashion.”
Slow fashion, yang menekankan kualitas, keberlanjutan, dan keadilan bagi semua pihak, kini menjadi arah baru dunia mode yang menolak produksi massal tanpa mempedulikan dampak lingkungan. Menurut Reni, wastra Indonesia memiliki semua atribut yang dibutuhkan untuk menjadi simbol dari pergeseran tren tersebut.
Kementerian Perindustrian bersama Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) juga menyadari potensi besar industri ini. “Kesadaran konsumen terhadap pentingnya perubahan gaya hidup dalam mendorong keberlanjutan lingkungan mengarahkan pada tren slow fashion yang bertolak belakang dengan fast fashion,” ungkapnya.
Fast fashion, menurut Reni, menjadi pemicu konsumsi berlebihan dan limbah tekstil yang mencemari lingkungan. Kebiasaan membeli pakaian murah dengan kualitas rendah menambah beban ekologis. Oleh karena itu, fesyen kini dituntut untuk tidak hanya menarik secara estetis, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan.
Budi Setiawan, Direktur IKM Kimia, Sandang, dan Kerajinan, menambahkan bahwa prinsip slow fashion memberikan dampak positif secara menyeluruh.
“Prinsip ini tidak hanya berdampak positif terhadap lingkungan, tetapi juga membantu memastikan bahwa para pekerja di sektor mode mendapatkan upah yang layak dan kondisi kerja yang adil,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa wastra tradisional seperti batik dan tenun memiliki karakter yang selaras dengan prinsip slow fashion: proses yang teliti, penggunaan bahan alami, dan hasil yang unik serta berkualitas tinggi. Bahkan, para perajin lokal bisa turut berkontribusi dalam edukasi konsumen mengenai pentingnya fesyen berkelanjutan.
“Untuk memperkuat ekosistem industri fesyen ramah lingkungan, perajin juga dapat ikut serta mengedukasi konsumen,” kata Budi. Ia juga menyarankan pemanfaatan bahan organik, daur ulang, dan efisiensi proses produksi sebagai strategi ramah lingkungan yang dapat diterapkan pelaku industri.
Sementara itu, desainer dan anggota Komisi VII DPR, Samuel Wattimena, menilai kampanye wastra sebagai bagian dari slow fashion akan memperkuat posisi Indonesia di panggung mode dunia.
“Ini tentu akan memperkuat identitas lokal dalam panggung mode dunia,” ungkap Samuel. “Sebab, industri wastra tradisional terbukti membuka kesempatan lapangan kerja bagi perajin lokal, meningkatkan ekspor nasional, dan mendorong perekonomian daerah.”
Ia mendorong pemerintah pusat, daerah, serta Dekranas untuk memperkuat sinergi dalam pengembangan kapasitas perajin wastra, mulai dari pelatihan, akses bahan baku ramah lingkungan, hingga promosi yang lebih luas.
Dengan seluruh potensi ini, wastra Nusantara berpeluang besar menjadi simbol dari fesyen masa depan, yang tidak hanya cantik secara visual, tetapi juga membawa nilai etis, budaya, dan keberlanjutan lingkungan. [red]