DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dua dekade setelah produksinya dihentikan, Yamaha RX-King masih menjadi legenda hidup di jalanan Indonesia. Di banyak daerah, harga motor 2-tak ini justru melambung tinggi, bahkan menyamai motor baru berteknologi modern.
Kelangkaan menjadi faktor utama. Yamaha resmi menghentikan produksi RX-King pada 2008 karena tidak lagi memenuhi standar emisi gas buang. Sejak itu, unit yang beredar di pasaran semakin terbatas. Dalam logika sederhana ekonomi, permintaan tinggi dengan pasokan minim membuat harga meroket.
“RX-King orisinal bisa mencapai Rp50 juta hingga Rp70 juta, tergantung kelengkapan part bawaan pabrik,” ujar Ghazan, penjual motor klasik di Jakarta Timur, Rabu (15/10). “Yang bikin mahal itu karena part ori sudah langka dan tidak diproduksi lagi.”
Bahkan, pernah ditemukan RX-King New Old Stock (NOS) di dealer resmi Yamaha di Medan, keluaran 2009, dengan harga setara mobil LCGC. Fenomena ini memperlihatkan betapa kuat daya tarik motor berjuluk Raja Jalanan itu. Tarikan mesin responsif, suara knalpot “ngebrong” yang khas, serta desain tangki berotot menjadikannya simbol maskulinitas di jalan raya.
“Motor ini dari pabrikan sudah punya tenaga besar. Tidak perlu ubah-ubah mesin, sudah kencang,” kata Ghazan.
Bagi banyak orang, membeli RX-King bukan soal kebutuhan, tetapi cara untuk menghidupkan kembali kenangan. “Orang rela berburu RX-King karena ingin menebus masa muda mereka,” ujar Ghazan.
Hal itu juga dirasakan Aryos Nivada, pecinta sekaligus pengguna RX-King keluaran 2005. Bagi Aryos, RX-King bukan sekadar kendaraan, melainkan bagian dari perjalanan hidup.
“RX-King mengajarkan karakter disiplin, tegas, dan bebas,” ujarnya. “Setiap kali saya tarik gasnya, ada semangat masa muda yang kembali hidup. Itu sebabnya motor ini tidak bisa digantikan oleh teknologi modern sekalipun.”
Aryos mengaku masih rutin mengendarai motornya dalam kondisi orisinal. Menurutnya, RX-King adalah “karya seni mekanik” yang tak lekang waktu.
“Ia bukan hanya cepat, tapi punya jiwa. Saat suara mesinnya menyala, seperti ada percakapan antara manusia dan mesin yang sudah saling memahami,” kata dosen FISIP USK yang dikenal sebagai pengamat politik dan keamaman itu.
Sementara itu, Rozzy Wanela, pengguna RX-King tahun 2008, mengaku motor ini sudah menjadi bagian dari keseharian dan identitasnya.
“Saya pakai RX-King bukan karena gengsi, tapi karena rasa. Setiap kali mesin 2-tak ini bergetar, ada sensasi yang tidak bisa digantikan motor lain jiwa muda itu kembali hidup,” ujarnya.
Menurut Rozzy, RX-King adalah bukti bahwa desain dan performa bisa menyatu secara sempurna. “Motor ini sederhana tapi berkarakter. Ia tidak hanya mengantar kita ke tempat tujuan, tapi juga membawa kenangan perjalanan itu sendiri,” katanya.
Cikal bakal RX-King bermula dari Yamaha RX-K yang masuk ke Indonesia pada 1980 sebagai unit CBU dari Jepang. Setelah itu muncul RX-S (1981), RX Special (1983), RX-King Cobra (1983), RX-King Master (1996), hingga The New RX-King (2002) seri terakhir sebelum produksinya dihentikan pada 2008.
Kini, dua dekade berlalu, RX-King bukan hanya legenda otomotif, tetapi juga simbol nostalgia, kebebasan, dan persaudaraan di jalan.
Seperti diungkapkan Aryos Nivada, “Setiap kali RX-King dinyalakan, yang terdengar bukan sekadar suara mesin tapi gema masa muda yang tak pernah padam.” [ra]