DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Fenomena penuhnya warung kopi di Banda Aceh setiap kali terjadi pemadaman listrik kembali mencuat dalam beberapa hari terakhir. Banjir yang menyebabkan robohnya tower PLN membuat listrik padam berjam-jam hingga berhari-hari di sejumlah wilayah. Kondisi ini memicu warga berbondong-bondong mencari warung kopi yang tetap menyediakan aliran listrik dan akses internet.
Budayawan sekaligus Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala, Herman RN, menilai fenomena tersebut bukan hanya perilaku spontan warga, melainkan bagian dari perjalanan panjang budaya ngopi masyarakat Aceh.
“Fenomena ‘ngopi’ bagi masyarakat Aceh memiliki akar budaya yang panjang. Sejak masa Kesultanan Aceh, kopi bukan hanya komoditas perdagangan, tetapi juga penanda identitas sosial dan budaya,” ujar Herman kepada Dialeksis.com, Kamis (27/11/2025), saat diminta responnya terkait hal tersebut.
Menurutnya, warung kopi sejak dulu telah menjadi ruang dialog publik. Banyak persoalan, mulai dari politik, sosial, bahkan urusan keluarga, kerap diselesaikan di meja kopi. Karena itu, keberadaan warung kopi yang bertaburan di Aceh merupakan bagian dari tradisi yang terus berkembang.
Namun kini, muncul fenomena baru yang semakin memperjelas fungsi warung kopi di Aceh, khususnya di kota-kota besar. Setiap terjadi pemadaman listrik, Herman mengatakan, hampir seluruh warung kopi langsung dipadati pengunjung.
“Nyaris tidak ada tempat duduk lagi,” ujarnya.
Ia turut menceritakan pengalamannya saat pemadaman listrik kemarin. Setelah menerima informasi sekolah anak diliburkan lebih cepat, ia bersama keluarga langsung mencari warung kopi. Prioritas utama yang dicari adalah warung kopi yang memiliki genset, sehingga tersedia aliran listrik. Setelah itu barulah dipilih yang menyediakan jaringan internet.
Menurut Herman, kondisi ini menunjukkan bahwa warung kopi sedang menghadapi tantangan sekaligus inovasi. Pemilik warung kopi dituntut untuk beradaptasi minimal menyediakan arus listrik alternatif, sementara internet menjadi nilai tambah.
“Bagi siswa atau mahasiswa, keberadaan listrik dan wifi menjadi kebutuhan. Sedangkan bagi pekerja kantor atau pebisnis, listrik lebih penting, internet bisa dari paket data,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Herman menilai banyak warung kopi di Aceh kini mulai ramah anak. Bentuknya semakin terbuka dan dilengkapi area bermain, seperti perosotan, ayunan, hingga mandi bola. Inovasi ini menjadikan warung kopi tidak hanya ruang budaya dan sosial, tetapi juga ruang keluarga.
“Orang datang bukan hanya untuk ngopi, tapi sekaligus memberi ruang bagi anak-anak bermain,” katanya.
Dalam situasi bencana seperti banjir dan pemadaman listrik kali ini, fungsi warung kopi semakin terasa signifikan. Menurut Herman, warung kopi berperan sebagai titik kumpul warga yang membutuhkan ruang aman, nyaman, dan terang. Di sana mereka bertukar informasi, berdiskusi, hingga memantau perkembangan situasi.
Karena itu, warung kopi dengan konsep ruang terbuka lebih diminati dibandingkan café tertutup. “Warung kopi menjadi ruang publik yang mempersatukan banyak orang. Dalam kondisi bencana, ruang ini menjadi tempat untuk membangun solidaritas dan bertukar informasi,” pungkas Herman. [ra]