Jum`at, 08 Agustus 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Aceh Jadi Lahan Subur Buat Teroris?

Aceh Jadi Lahan Subur Buat Teroris?

Kamis, 07 Agustus 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Ilustrasi. Aceh Jadi Lahan Subur Buat Teroris?. [Foto: dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Indepth - Dua ASN di Aceh yang ditangkap Densus 88 Antiteror telah membuat persoalan teroris di Aceh menjadi sebuah ancaman yang serius. Aceh masih menjadi “lahan subur” untuk penggalangan individu agar masuk dalam lingkaran radikalisme.

Sejak 5 tahun terahir, sudah ada puluhan terduga teroris yang ditangkap di Aceh. Sebuah fakta jaringan teroris menjadikan Aceh sebagai area pergerakan. Ditangkapnya dua ASN yang bertugas di jantung ibukota Aceh, telah membuat persoalan teroris menjadi pembahasan serius.

Bagaimana hingar bingarnya Aceh akibat teroris ini, apa penilaian pengamat, langkah apa yang harus dilakukan kedepanya. Bagaimana sikap pemerintah Aceh? Dialeksis.com merangkumnya dalam sebuah catatan khusus.

Pengamat terorisme yang juga Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Al Chaidar, menilai dua aparatur sipil negara (ASN) di Aceh yang ditangkap Densus 88 Antiteror Polri pada Selasa, 5 Agustus 2025, bukan merupakan bagian dari kelompok radikal.

Sementara itu, pengamat politik dan keamanan dari Universitas Syiah Kuala, Aryos Nivada, menilai penangkapan ini sebagai indikasi serius bahwa sistem kekebalan birokrasi terhadap radikalisme belum bekerja dengan baik.

Dilain sisi, Dr. Wiratmadinata, Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Aceh, menyebutkan, penangkapan ini merupakan alarm keras bagi. Bahwa paham radikal dan terorisme masih hidup, masih beroperasi, serta secara laten masih menyusup, bahkan ke dalam tubuh birokrasi.

Sementara itu, Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, terkejut atas penangkapan dua aparatur sipil negara (ASN) di Aceh yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme. Pihaknya merencakan sosialisasi dari Densus ke Jajaran Pemko dalam mencegah teroris.

Bukan Kelompok Radikal

Bagaimana pendepat mereka yang menaruh perhatian terhadap teroris ini? Kita mulai dari Al Chaidar. Pengamat terorisme yang juga Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, menilai dua ASN yang ditangkap ini bukan merupakan bagian dari kelompok radikal.

“Sebetulnya mereka tidak radikal, tidak melakukan kekerasan. Mereka hanya ngumpul-ngumpul pengajian untuk membahas eskatologi, misalnya nanti pas sudah meninggal apakah ada yang berjuang untuk menegakkan syariat Islam,” kata Al Chaidar, seperti dilansir AJNN, Selasa (5/8/2025).

Menurutnya, penangkapan ini merupakan bagian dari pengembangan kasus terorisme yang sebelumnya terjadi di sejumlah wilayah seperti Jambi, Palembang, Lampung, Bengkulu, Bandung, dan Jakarta.

“Penangkapan itu karena pengembangan dari kasus-kasus sebelumnya yang sudah ditangkap sejak bulan Desember tahun lalu,” ujarnya.

Kedua ASN tersebut diketahui terafiliasi dengan Jamaah Negara Islam Indonesia (NII) dari faksi MJT, salah satu dari 18 faksi yang muncul setelah perpecahan di NII pasca tahun 1962.

“Mereka itu namanya Faksi MJT, hasil penelitian saya saat disertasi kemarin. Di situ saya temukan ada 18 faksi, dan masing-masing menyatakan dialah yang paling berhak,” ungkap Al Chaidar.

Menurut Al Chaidar keanggotaan NII di Aceh tidak besar, dengan aktivitas yang terbilang normal. Bahkan, jamaahnya hanya berjumlah puluhan orang. 

"Di Aceh, NII itu cuma satu faksi, isinya paling puluhan orang. Aktivitas mereka biasa saja, normal, tidak ada pakaian yang berbeda dan mereka masih diperbolehkan menjadi ASN,” katanya.

Menurutnya, ajaran NII yang masuk ke Aceh dibawa oleh orang-orang dari Bandung dan Jakarta dengan ajaran yang bersifat eskatologis ketimbang pengajaran ideologis radikal.

“Eskatologi itu kajian teologi mengenai akhir zaman, seperti tentang bagaimana agar tidak diazab setelah meninggal. Mereka menyatakan secara bai’at,” katanya.

Meski demikian, ia mengatakan jika beberapa faksi pecahan NII pernah berkembang menjadi kelompok ekstrem dan terlibat dalam aksi teror, seperti bom Borobudur.

“Dari kelompok ini memang ada yang berkembang menjadi radikal. Kalau ditemukan senjata atau bukti lain juga bahkan bisa dipidana,” pungkas Al Chaidar.

Lemahnya Ketahanan Ideologi di Birokrasi

Sementara itu, Pengamat politik dan keamanan dari Universitas Syiah Kuala, Aryos Nivada, menilai penangkapan dua ASN yang diduga sebagai teroris merupakan indikasi serius, bahwa sistem kekebalan birokrasi terhadap radikalisme belum bekerja dengan baik.

“Fakta bahwa ASN bisa terpapar paham radikal menunjukkan lemahnya ketahanan ideologi dalam birokrasi. Ini harus jadi alarm serius. Bukan itu saja, alasan ekonomi justru sudah jadi pintu masuk rekruetmen ketimbang alasan ideologi dan agama,” ujar Aryos.

Temuan ini tentu mengejutkan. Benar-benar di luar dugaan apalagi untuk konteks Aceh. Pasalnya, selama ini orang direkrut karena karena alasan ideologi. Perekrutan yang kini menggunakan pendekatan pragmatis menawarkan bayaran, bantuan logistik, hingga janji kesejahteraan jelas menambah tugas Pemerintah juga.

“Ini sangat berbahaya. Ketika terorisme tidak lagi butuh pemahaman ideologis, tapi hanya butuh orang-orang yang lapar dan putus asa,” kata Aryos dalam keterangannya kepada media.

Penangkapan dua ASN ini, ditambah pola rekrutmen berbasis ekonomi, menurut Aryos menjadi peringatan keras bagi Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota.

Aryos menilai, program deradikalisasi belum berjalan optimal, dan harus segera ditopang oleh upaya konkret memperbaiki kesejahteraan sosial, pelayanan publik, serta kualitas hidup masyarakat dan aparatur sipil negara.

“Jika ekonomi rakyat dan ASN lemah, mereka akan lebih mudah dibujuk. Radikalisme tak akan hilang hanya dengan ceramah, tapi dengan keadilan sosial yang nyata,” sebutnya.

Penangkapan ini menurut Aryos, memperkuat fakta bahwa Aceh masih dijadikan sebagai lahan subur untuk penggalangan individu agar masuk dalam lingkaran radikalisme. Hal ini tak terlepas dari jejak sejarah panjang Aceh yang beberapa kali terlibat dalam peristiwa kekerasan ideologis.

Termasuk keterkaitannya dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang belakangan punya garis korelasi dengan jaringan Negara Islam Indonesia (NII).

"Jejak sejarah ini tidak berdiri sendiri. Ia bertransformasi dan bermetamorfosis dalam wujud baru, lebih halus, lebih menyusup, dan kini menyentuh struktur birokrasi,” jelasnya.

Aryos mencemaskan bahwa indikasi kuat keterlibatan ASN dalam jaringan terorisme merupakan bukti eksistensi nyata gerakan radikalisme di Aceh saat ini. Bukan lagi asumsi, tapi fakta. Dan fakta ini membuktikan bahwa kita sedang menghadapi musuh dari dalam.

Aryos menilai perlu adanya langkah antisipatif yang berlapis di lingkungan pemerintahan. Bukan hanya sekadar memperketat pengawasan, tapi membangun sistem deteksi dini dan penegakan nilai-nilai kebangsaan secara terus-menerus.

“Jangan sampai ini terkesan dibiarkan atau, lebih berbahaya lagi, disengaja oleh pihak-pihak tertentu dalam lingkaran kekuasaan,” katanya.

Pengamat ini juga mengkritisi efektivitas program deradikalisasi di Aceh yang selama ini dijalankan oleh pemerintah pusat. Menurutnya, kasus ini menegaskan bahwa program tersebut tidak berjalan secara maksimal.

Aryos mendesak agar deradikalisasi dijadikan program prioritas dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan partisipatif di daerah.

“Jika pemerintah pusat masih menganggap Aceh sebagai daerah rawan dalam konteks radikalisme, maka semestinya Aceh ditempatkan sebagai wilayah prioritas utama dalam implementasi program deradikalisasi. Bukan sekadar simbolik atau proyek belaka,” tegas Aryos.

Satu hal lain yang mencemaskan dari penangkapan ini, menurutnya, adalah indikasi bergesernya motivasi keterlibatan individu dalam jaringan terorisme.

“Kita harus berhati-hati membaca fenomena ini. Jangan sampai terorisme tidak lagi didorong oleh ideologi, tapi oleh motif ekonomi. Jika benar orang bergabung karena terdesak kebutuhan dana, maka ini sudah masuk ke level darurat baru,” katanya.

Fenomena ini, kata Aryos, harus menjadi alarm keras bagi semua pihak. Negara tak cukup hanya menindak, tetapi juga harus memutus ekosistem yang menopang tumbuhnya sel-sel radikal, termasuk kemiskinan, keterbatasan akses informasi, dan kegagalan membangun narasi kebangsaan di akar rumput.

“Penangkapan dua ASN di Aceh adalah potret buram dari persoalan yang tak kunjung diselesaikan secara serius. Dan jika tak segera ada langkah korektif menyeluruh, maka jangan salahkan publik jika kemudian menganggap negara tengah abai atau lebih buruk, membiarkan hal ini terjadi,” pungkas alumni Lemhannas ini.

Pencegahan Lebih Penting

Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Aceh, Dr. Wiratmadinata, menanggapi serius penangkapan dua aparatur sipil negara (ASN) oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri di Aceh, Selasa, 5 Agustus 2025.

Dr Wiratmadinata menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada kepada pihak Densus 88, yang telah sukses melaksanakan tugasnya. Penangkapan tersebut, menjadi bukti nyata bahwa virus radikalisme tidak mengenal status sosial, jabatan, ataupun institusi.

Bahkan aparatur negara pun bisa terpapar jika tidak ada upaya sistematis untuk membentengi mereka dengan literasi kebangsaan dan wawasan keagamaan yang moderat.

“Penangkapan ini alarm keras bagi kita semua. Bahwa paham radikal dan terorisme masih hidup, masih beroperasi, serta secara laten masih menyusup--bahkan ke dalam tubuh birokrasi,” ujarnya kepada Dialeksis.com.

Ia menegaskan, Aceh masih menjadi wilayah yang sangat rawan terhadap penyebaran ideologi kekerasan, terutama jika dibiarkan tumbuh di ruang-ruang yang sulit terpantau, karena terkamuflase dalam institusi-institusi publik, termasuk lembaga pemerintah atau semi pemerintah.

“Kita tidak boleh lengah. Kejadian ini menunjukkan bahwa kelompok teroris tidak hanya menyasar masyarakat biasa, yang lemah secara sosial ekonomi, tapi juga di kalangan ASN yang memiliki akses, otoritas, bahkan mungkin posisi strategis dalam pemerintahan,” tegasnya.

Menurut Wira, peristiwa ini harus menjadi catatan serius bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar lebih agresif dalam melakukan pencegahan ideologi ekstrem.

“Teroris hari ini tidak lagi bergerak dengan cara lama. Mereka menyusup secara halus, memanfaatkan celah ideologis dan kelemahan sistem pengawasan. Ketika seorang ASN bisa terpapar, itu artinya mereka telah menjadikan institusi negara sebagai target penyebaran paham mereka. Ini sangat strategis dan berbahaya,” ungkapnya.

FKPT Aceh, kata Wira, sejak awal terus mendorong penguatan literasi kebangsaan di semua lini, termasuk di lingkungan ASN, lembaga pendidikan, dan komunitas masyarakat.

“Kita butuh kerja sama semua pihak. Bukan hanya tugas Densus 88. Pemerintah daerah harus berani membuat kebijakan yang mencegah radikalisme tumbuh, bukan sekadar reaktif setelah ada penangkapan,” ujarnya.

Ia juga mengapresiasi langkah cepat Densus 88 dalam mengungkap jaringan terorisme tersebut. Namun, ia mengingatkan bahwa pendekatan keamanan saja tidak cukup.

“Kita tidak bisa hanya mengandalkan penangkapan. Pencegahan jauh lebih penting. Tanpa membangun kesadaran ideologis, kita hanya akan terus sibuk memadamkan api tanpa pernah tahu siapa yang membawa bensinnya,” pungkasnya.

Terkejut

Ditangkapnya dua ASN yang diduga sebagai teroris membuat publik terkejut. Banyak pihak tidak menyangka ASN masuk dalam jaringan teroris ini.

Keterkejutan itu juga datang dari Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal. Dari dua ASN yang ditangkap itu, satu diantaranya berada di bawah naungannya, ZA alias SA (47), yang bekerja di Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh dan MZ bekerja di Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Provinsi Aceh.

"Saya sangat terkejut dengan informasi tersebut. Tadi saya sempat berkoordinasi dengan Densus 88. Sebelumnya kami juga sudah pernah duduk bersama membahas upaya pencegahan terorisme, termasuk rencana sosialisasi dari Densus ke jajaran Pemko Banda Aceh," kata Illiza saat diwawancarai Dialeksis.

Dia mengaku tidak menyangka ASN bisa terlibat dalam jaringan terorisme, meskipun kasus serupa pernah terjadi sebelumnya.Pemko Banda Aceh sangat terbuka terhadap kerja sama dalam upaya pencegahan dan penanganan terorisme.

"Terima kasih kepada Densus 88 yang telah menjalankan tugasnya dengan baik. Tanpa mereka, kita mungkin tidak mengetahui adanya ASN yang terlibat dalam kelompok teroris, karena ini sangat berbahaya dan bisa menyebabkan perpecahan di tengah masyarakat," sebutnya.

Namun penekanan lebih jauh dalam upaya pencegahan terorisme, langkah apa yang akan ditempuh Pemda, dan pemerintah pusat untuk Aceh, seperti yang diharapkan pengamat dan Forum Koordinasi Pencegahan Teroris, sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.

Penangkapan dua ASN di Aceh ini memang mengejutkan. Menurut Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri AKBP Mayndra Eka Wardhana, penangkapan itu dilakukan penyidik setelah melakukan pemantauan dalam beberapa bulan terakhir.

Dijelaskan Eka, berdasarkan perannya pelaku ZA diduga terlibat aktif mendanai salah satu organisasi teror di Aceh. Selain itu, ZA juga bertugas mengelola aliran dana untuk kegiatan logistik dari aktivitas kelompok teror itu.

"Sementara M ditangkap karena memiliki peran strategis sebagai salah satu petinggi jaringan teror di wilayah Aceh, yang bertugas melakukan perekrutan dalam rangka kaderisasi," sebut Jubir Densus 88.

Penyidik Densus 88 turut mengamankan sejumlah barang bukti berupa satu unit laptop, telepon genggam, flashdisk, serta senjata tajam yang digunakan dalam rangka pelatihan.

"Tim penyidik menduga barang bukti ini memuat bukti penting berupa data-data kelompok, jaringan pendukung, serta dokumen terkait aktivitas kelompok," jelasnya.

Eka menjelaskan saat ini kedua pelaku tengah diperiksa secara intensif oleh penyidik. Pihaknya tengah mendalami keterkaitan kedua pelaku dalam jaringan teror yang lebih luas.

"Penangkapan ini merupakan bagian dari pengembangan operasi penanggulangan teror yang terus dilakukan oleh Densus 88 di berbagai wilayah. Kami memastikan setiap jaringan yang teridentifikasi akan ditindak sesuai hukum yang berlaku," pungkasnya.

Penangkapan dua ASN yang diduga sebagai teroris ini telah mencuatkan imej dan garisan fakta, bahwa Aceh menjadi lahan subur tempat teroris. Banyak sudah teroris yang ditangkap di Aceh, sejak lima tahun lalu diperkirakan mencapai puluhan. [bg]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI