kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Apakah Pokir untuk Mengentaskan Kemiskinan?

Apakah Pokir untuk Mengentaskan Kemiskinan?

Minggu, 26 Februari 2023 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

Ilustrasi [ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA/RWA]


Bagaimana Sebaiknya?

Sudahkah Pokir DPRA transparan dan akuntabel? Soal transparansi dan akuntabilitas dikemukan Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Saifuddin Bantasyam, SH., MA.

“Saya berharap soal Pokir harus dikedepankan akuntabilitas dan transparansi. Legislatif harus memperlakukan proyek pokir secara sama dalam pengawasannya seperti terhadap proyek-proyek nonpokir. Jangan ada pilih kasih, atau mendiamkan penyelewengan karena khawatir terkena diri sendiri,” sebutnya.

Saifuddin memberikan penilaian soal hangat Pokir dan adanya tudingan, rasa kekecewaan Asnawi anggota DPRA, yang memberi penilaian adanya pembohongan dalam menetapkan jumlah anggaran Pokir untuk masing masing personil DPRA.

“Ada beberapa hal yang saya bisa sampaikan. Jika Asnawi saja yang kecewa (anggota DPRA Red), karena mendapatkan dana pokir yang sedikit, maka publik akan menilai bahwa kekecewaan itu merupakan perasaan subjektifnya saja,” jelasnya.

Kekecewaan itu tidak merefleksikan sikap yang bersangkutan terhadap paket dana tersebut, misalnya terkait apakah pengusulan dana itu dulu melalui proses yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, jelasnya.

“Saya berharap yang mengemuka seharusnya bukan ketua dapat banyak, wakil ketua dapat lebih sedikit, anggota banggar dapat dalam jumlah yang lumayan, kemudian yang bukan anggota dewan dapat sekadarnya saja. Lalu yang dapat sedikit melakukan komplain. Cara demikian sangat personal oriented, bukan public oriented,” jelas dosen Fakultas Hukum USK ini.

Menurutnya program pokok-pokok pikiran (Pokir) itu memang sesuatu yang legal atau sah. Prosesnya dikaitkan dengan fungsi anggota dewan untuk menyerap aspirasi masyarakat dan kemudian mengusulkan aspirasi itu kepada kepala daerah.

Namun, katanya, karena KKN masih menjadi masalah besar di negeri ini, dan lembaga legislatif disebut sebagai lembaga yang koruptif, maka ada warga masyarakat yang mengkhawatirkan bahwa SKPA nantinya bermain dengan anggota legislatif saat pelaksanaan proyek.

“Potensi permainan itu ada pada saat tender atau penyediaan 'hak pawang' oleh kontraktor kepada anggota dewan,” jelasnya.

“Juga sangat mungkin terjadi,” lanjut Syaifuddin Bantasyam,” temuan oleh dewan terhadap penyimpangan proyek, dibiarkan saja oleh dewan. Belum lagi, jika instansi lain juga dijanjikan jatah dalam jumlah tertentu, proyek menjadi tak sesuai dengan rencana, dan yang dirugikan adalah masyarakat”.

Jadi, lanjut Syaifudin, dalam kaitannya dengan pokir itu, saya berharap akuntabilitas dan transparansi harus dikedepankan. Legislatif harus memperlakukan proyek dengan pokir secara sama dalam pengawasannya seperti terhadap proyek-proyek nonpokir. Jangan ada pilih kasih, atau mendiamkan penyelewengan karena khawatir terkena diri sendiri.

“Ke depan, saya juga berharap, eksekutif juga perlu mempelajari dengan sungguh-sungguh usulan tersebut. Misalnya apakah memang betul-betul karena kebutuhan rakyat, ataukah hanya sebatas imajinasi anggota dewan saja untuk daerah pemilihannya,” sebut Syaifuddin.

“Jika memang rakyat memang ternyata sangat butuh, ya tak ada masalah, tetapi harus berdasarkan prinsip tata kelola yang baik, transparan, dan akuntabel,” pintanya.

Simak juga statemen Rektor Universitas Teuku Umar (UTU) Dr. Ir. Ishak Hasan, M.Si. Dia menilai Pokir anggota dewan masih dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan dan menjembatani kesenjangan antar dan dalam wilayah konstituen.

Menurut Rektor UTU dalam keterangan menjawab Dialeksis.com, Rabu (22/02/2023) via WA, persoalan pokir diarahkan secara terukur untuk pengungkit langsung simpul-simpul subsektor penumbuhan ekonomi rakyat.

“Menurut saya Pokir Legislatif Aceh masih dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan dan menjembatani kesejangan antar dan dalam wilayah konstituen. Namun harus bisa diukur daya manfaat untuk sub-sub sektor ekonomi di daerah pemilihan,” jelasnya.

“Yang menjadi perhatian kita adalah berapa banyak dana Pokir tersebut mengalir ke Wilayah Barat Selatan (Barsela). Hasil amatan saya selama ini lebih banyak ke Wilayah Pantai Utara Timur. Padahal realitas kantong kemiskinan lebih banyak di Barsela,” sebutnya.

Menurutnya, kondisi yang berlangsung di seluruh pelosok Aceh saat ini memperlihatkan bahwa "ekosistem sosial" kita memang mengharuskan memasukkan variabel sosial sebagai angka toleransi terhadap indikator kearifan lokal, "biaya sosial" bagi pemangku jabatan sebagai wakil rakyat. Tempat rakyat mengadu dan menyampaikan berbagai keluhan termasuk hal-hal yang bersifat pribadi masyarakat sebagai konstituen.

“Dulu saya tidak terlalu merasakan dan kurang terlalu percaya dengan besaran hitungan nilai dan angka kearifan lokal dan biaya sosial perlu dimasukkan dalam beban biaya hidup. Sekarang baru terasa bahwa realitas sosial yang telah terbentuk sebagai ekosistem sosial kita ternyata memang sulit untuk diabaikan,” jelasnya.

Di sisi lain, jelasnya, Pokir Legislatif juga bisa berfungsi sebagai jaring (katup pengaman) sosial sebagai "penyambung hidup" masyarakat. Khususnya di gampong- gampong, disaat-saat ekonomi Aceh tumbuh dengan sulit akibat residu konflik, terjangan tsunami dan pandemi Covid-19, sebutnya.

Untuk Mengentaskan Kemiskinan?

Apakah Pokir DPRA merupakan bagian dari upaya mengentaskan kemiskinan? Ini yang belum terjawab, publik belum mengetahuinya untuk apa saja Pokir dewan ini. Apakah akuntabel dan transparansi?

Ada harapan dana Pokir dipergunakan untuk mengentaskan kemiskinan di Aceh. Simaklah pernyataan mantan Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman. Menurutnya, sebaiknya minimal 50 persen dari Pokir dewan diperuntukkan untuk program pengentasan kemiskinan dan pembangunan rumah duafa.

"Karena rakyat Aceh sangat menderita terus dibelenggu kemiskinan," kata Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Aceh ini.

"Paling penting adalah memastikan bahwa Pokir tersebut dilakukan secara tepat dan tanggung jawab serta terbebas dari kepentingan yang dapat merugikan keuangan negara,” ujarnya saat diwawancarai Dialeksis.com, Kamis (23/2/2023).

Aceh menurut Aminullah, masih berada di garis kemiskinan dengan persentase 14 persen lebih, Aceh sendiri merupakan provinsi termiskin di Sumatera. Kemiskinan rakyat Aceh akan bisa selesai berangsur-angsur berkurang, jika semua stakeholder turun tangan dan berbenah, bersama-sama memperhatikan rakyat kecil.

Lantas, untuk apakah Pokir 2023? Apakah merupakan upaya untuk mengentaskan kemiskinan di Aceh? Ini yang belum terjawab, belum jelas untuk apa saja peruntukan Pokir itu.

Tidak ada salahnya, kita simak sentilan Mendagri soal kemiskinan di Aceh. Mendagri Tito Karnavian dengan tegas menyebutkan Aceh belum kreatif dalam memanfaatkan dana lima besar tertinggi di Indonesia.

Aceh anggarannya masih bergantung pada transfer pusat. Pendapatan dari PAD kecil. Komposisi belanjanya sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai barang jasa. Untuk rakyat hanya 20-25 persen. Itu juga setiap tahunya ada Silpa.

Mendagri Tito Karnavian berharap, di 2023 kesempatan emas mengubah manajemen, agar sebagian besar anggarannya untuk rakyat dan bisa mengembangkan potensi yang mendatangkan PAD.

Tito menjelaskan, harusnya belanja pegawai, administrasi dan lainnya itu lebih kecil dibanding dana belanja modal untuk kepentingan masyarakat. Dia juga menyebutkan, Aceh memiliki dana besar serta telah menerima dana otonomi khusus (otsus) sejak 2008 dengan total sekitar Rp 95 triliun.

"Anggaran (Aceh) nomor 5 terbesar di Indonesia dengan penduduk hanya 5 juta harusnya bisa memberikan impact," jelasnya.

Menurutnya, permasalahan Aceh masih miskin meski, dana melimpah adalah kesalahan manajemen yang harus diselesaikan. Dia meminta uang Aceh tidak berhenti di tingkat elite pejabat saja. Mendagri meminta penjabat kepala daerah di Aceh untuk memperbaiki permasalahan tersebut.

Bagaimana dengan Pokir 2023 DPRA yang kini menjadi pembahasan publik? Apakah ini bagian perjuangan DPRA untuk mengurangi angka kemiskinan di Aceh. Atau dana Pokir hanya dinikmati segelintir kaum saja, kita ikuti perkembanganya. *Bahtiar Gayo

Halaman: 1 2
Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda