Senin, 29 September 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Aroma Korupsi Pelatihan Linmas, Seriuskah APH?

Aroma Korupsi Pelatihan Linmas, Seriuskah APH?

Minggu, 28 September 2025 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo
Suasana pelatihan Linmas di Aceh Tengah yang menghasilkan kegaduhan (foto/Dok)

DIALEKSIS.COM| Indpet- Apakah program pelatihan Linmas di Aceh Tengah merupakan titipan dan bentuk pemerasan kepada kepala desa? Apakah Aparat Penegak Hukum (APH) akan mengusut kegiatan ini?

Kegiatan yang diselenggarakan Forum Reje Aceh Tengah ini benarkah pola dan modus korupsi berencana, anggaranya cukup besar?

Perhatikan suara mereka yang peduli pada uang rakyat agar digunakan untuk kemaslahaan ummat. Mereka menaruh perhatian besar pada kegiatan sehari pelatihan Linmas di Aceh Tengah. Setiap desa harus menyetor.

Mereka menantang APH untuk mengungkap kasus dugaan korupsi ini. Askhalani, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, menantang Kajari untuk melakukan penyelidikan. Mmmm menarik mengapa penyidik kejaksan?

Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, juga bersuara, pelatihan Satlinmas sehari ini kemungkinan adanya program titipan atau bahkan pemerasan terhadap Kepala Desa yang dibungkus dengan kegiatan pelatihan.

Suara pedas juga disampaikan Sudirman Mansur yang akrab disapa Haji Uma. Anggota DPD ini meminta Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera bertindak mengaudit penggunaan dana desa dalam kegiatan termasuk keterlibatan pihak ketiga.

Lain lagi yang disampaikan Koordinator MaTA, Alfian. Dia menilai kegiatan ini berpotensi korupsi. Kegiatan yang difasilitasi oleh pihak ketiga dari Medan, mengindikasikan bahwa dana desa telah menjadi "objek manfaat" bagi berbagai pihak di tingkat kabupaten dan kota.

Bagaimana tanggapan Forum Reje Aceh Tengah yang menyelenggarakan kegiatan ini, Dialeksis.com menurunkan sebuah catatan “hitam” pelatihan Linmas sehari di Aceh Tengah ini.

Desak Aparat Hukum.

Pernyataan Askhalani, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, menantang Kajari untuk melakukan penyelidikan. Mengapa Askhalani menantang pihak kejaksaan untuk melakukan penyelidikan? Sementara APH bukan hanya jaksa. Apakah karena kegiatan ini EO dari Medan, mungkin ada titipan?

Seperti dilansir Tirbunnewa, GeRAK menantang Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Tengah untuk segera melakukan penyelidikan terhadap kegiatan ini yang dianggap sebagai modus akal-akalan menghabiskan dana desa.

GeRAK menduga ada penyalahgunaan Dana Desa dalam kegiatan pelatihan yang menelan anggaran hingga Rp 5 juta per desa, padahal pelaksanaannya hanya berlangsung selama satu hari. Nilainya mencapai Rp 1,1 miliar dari seluruh desa.

Menurut Askhalani, anggaran sebesar itu tidak masuk akal untuk pelatihan singkat, terutama jika peserta hanya diikuti beberapa peserta.

"Ini sebenarnya akal-akalan. Tidak mungkin pelatihan hanya satu hari, anggarannya sampai Rp 5 juta," ujar Askhalani, mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran tersebut.

Ia menilai bahwa program pelatihan yang didanai oleh Dana Desa, terutama yang memiliki anggaran besar namun tidak efektif, seharusnya sudah dilarang sejak awal. Model pelatihan seperti ini, yang sering kali menghabiskan banyak uang tanpa dampak nyata, hanyalah akal-akalan untuk menghabiskan anggaran.

GeRAK menilai, Forum Reje salah menafsirkan surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri), untuk mengaktifkan kembali Pos Keamanan Lingkungan (Poskamling) seperti dalih yang disampaikan Ketua Forum Reje.

Surat Mendagri sebenarnya menginstruksikan pemerintah daerah untuk mendorong kembali sistem keamanan masyarakat, bukan menggunakan Dana Desa untuk pelatihan dengan skema seperti ini.

"Itu Satuan Tugas Pengamanan memang didorong oleh Mendagri, tapi bukan menggunakan Dana Desa,” sebut Askhalani.

GeRAK menduga kuat kegiatan ini adalah "akal bulus" untuk meraup keuntungan atas nama Dana Desa. Kegiatan seperti ini adalah pola dan modus korupsi berencana karena dengan anggaran besar, pelaksanaannya tidak membutuhkan banyak biaya.

GeRAK juga mempertanyakan alokasi anggaran Rp 5 juta tersebut, karena sebagian besar peserta berasal dari Aceh Tengah dan tidak membutuhkan biaya penginapan.

“Terlebih lagi, agenda utama pelatihan tersebut berkaitan dengan penggunaan Alat Pemadam Api Ringan (APAR) yang sudah tentunya menggandeng BPBD setempat dan tidak memerlukan banyak biaya,” ujarnya.

“Karena kegiatan-kegiatan model ini sangat mudah sekali memperoleh “keuntungannya” anggarannya besar, kegiatannya hanya mengundang orang, lalu tanda tangan, seolah-olah bahwa uang Rp 5 juta itu habis,” tambahnya.

GeRAK menantang Kejari Aceh Tengah untuk melakukan penyelidikan atas kegiatan pelatihan Linmas oleh Forum Reje Aceh Tengah.

Pernyataan yang hampir senada juga disampaikan Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin. Dalam pernyataan Safaruddin mendesak Aparat Penegak Hukum di Aceh Tengah mengusut penggunaan Dana Desa untuk pelatihan Linmas ini.

YARA juga menyoroti kemungkinan adanya program titipan atau bahkan pemerasan terhadap kepala desa yang dibungkus dengan kegiatan pelatihan.

Besarnya nominal anggaran serta adanya keterlibatan pihak ketiga, mengharuskan Aparat Penegak Hukum (APH) di Aceh Tengah harus segera bertindak.

Safaruddin juga menilai, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, perlu lebih selektif dalam menyetujui pelatihan yang tidak memiliki urgensi.Dana Desa seharusnya diprioritaskan pada program nyata yang menyentuh kebutuhan masyarakat.

Safaruddin mendesak Bupati, Kejaksaan Negeri (Kajari), dan Kapolres Aceh Tengah berkomitmen menjaga dana desa agar tidak disalahgunakan.

"Kejaksaan dan Kepolisian di Aceh Tengah harus menelusuri apakah kegiatan pelatihan Satlinmas tersebut merupakan inisiatif dari para kepala desa atau pun pemerasan terhadap Kepala Desa dengan bungkusan pelatihan,” sebut ketua YARA.

"Kami mendesak Bupati untuk membentuk tim investigasi menyelidiki program pelatihan Satlinmas tersebut dari mana usulnya, apakah inisiatif dari para kepala desa ataukah titipan dari oknum tertentu dengan ancaman kepada Kepala Desa", sebut Safaruddin.

EO Luar

Tidak kalah menariknya H Sudirman Haji Uma SSos, anggota DPD RI di bidang Politik, Hukum, Keamanan, dan Pertanahan, ikut menyoroti keputusan Forum Reje untuk menggunakan jasa Event Organizer dari luar Aceh.

"Apakah di Aceh Tengah atau di Aceh tidak ada EO?, apakah EO penyelenggara kegiatan di Aceh Tengah sudah sejahtera semua," tanya Haji Uma.

"Harusnya kegiatan yang menggunakan dana desa realisasinya untuk kemanfaatan masyarakat Aceh Tengah, kenapa harus gunakan EO dari luar?," Kata Haji Uma seperti dilansir TribunGayo.com.

Menurut Haji Uma, adanya potensi keuntungan yang diambil segelintir pihak dalam menyelenggarakan kegiatan tersebut. Atas hal tersebut, Haji Uma meminta Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera bertindak mengaudit penggunaan dana desa dalam kegiatan termasuk keterlibatan pihak ketiga.

"Kami dari Komite I DPD RI meminta, ini harus clear. Aparat penegak hukum harus turun menyelidiki, mengaudit penggunaan dana desa dengan nominal fantastis, Rp 1,1M di kegiatan itu," tegasnya.

Menurutnya, kegiatan yang menggunakan dana desa sudah seharus benar-benar dimanfaatkan bagi pembangunan dan peningkatan ekonomi masyarakat di desa. Anggota DPD ini mengajak masyarakat untuk mengawal setiap bentuk kegiatan yang menggunakan dana desa agar tidak keluar dari roadmap rencana pembangunan yang telah direncanakan.

“Masyarakat wajib mengawal segala bentuk kegiatan. Jangan sampai dana yang seharusnya untuk pembangunan dan peningkatan ekonomi masyarakat keluar dari roadmapnya," sebut Haji Uma.

Kegiatan Janggal

Kegiatan pelatihan Linmas di Aceh Tengah yang berbuah kericuhan ini adalah upaya menguras dana rakyat dan berpotensi pidana. Bila forum reje menyebutkan tidak ada tekanan dalam pelaksanaan kegiatan ini, namun berbeda pandangan yang disampaikan Alfian MaTA.

Besarnya nominal anggaran dan keterlibatan pihak ketiga dalam kegiatan tersebut dinilai oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) sebagai modus untuk menguras dana desa.

Koordinator MaTA, Alfian mengatakan bahwa kegiatan yang difasilitasi oleh pihak ketiga dari Medan. Mengindikasikan bahwa dana desa telah menjadi "objek manfaat" bagi berbagai pihak di tingkat kabupaten dan kota.

"Kesan yang nampak hari ini, ketika gagasan dan terobosan yang sifatnya dari desa, itu selalu menjadi objek manfaat bagi para pihak, terutama di kabupaten, yang sasarannya dana desa," ujar Alfian kepada TribunGayo.com,

Menurut Alfian, kegiatan ini sangat janggal karena Satlinmas di Aceh Tengah sudah aktif dan baru saja bertugas selama pemilihan umum (Pemilu). "Ini adalah modus dalam rangka untuk bisa menguras dana desa," tegas Alfian.

Alfian menyoroti pengakuan salah seorang reje yang mengaku mendapatkan keuntungan sebesar 7 persen dari pengelolaan anggaran kegiatan. Praktik ini, menurutnya, tidak memiliki dasar hukum dan berpotensi pidana.

"Tidak ada dasar hukum atau aturan yang membenarkan. Praktik ini jelas berpotensi pidana," kata Alfian.

MaTA juga mengidentifikasi adanya indikasi keterlibatan lembaga-lembaga negara di daerah yang turut "bermain" dalam kasus ini untuk mendapatkan keuntungan dari acara tersebut. Modus yang sering digunakan, yaitu melibatkan pihak ketiga yang berasal dari luar Aceh.

"Pengalaman MaTA ketika men-tracking kegiatan penguatan kapasitas kelembagaan desa di Kabupaten Bireuen, kita sempat lacak, alamatnya di Tebing Tinggi. Ketika kita cek, alamat itu memang rumah orang, bukan kantor. Kantornya dalam tas," ungkap Alfian.

Untuk itu, Alfian mendesak Bupati Aceh Tengah untuk memberikan atensi serius pada masalah ini. Alfian berharap agar setiap kebijakan terkait pengelolaan dana desa, termasuk penguatan kapasitas Linmas, dibahas terlebih dahulu di level kabupaten.

"Bupati harus tegas, sehingga dana desa ini tidak menjadi ajang pengurasan oleh para pihak. Kami berharap aparat penegak hukum benar-benar mengawasi dana desa ini agar digunakan untuk warga mereka," jelasnya.

Menurut coordinator MaTA, banyak kebutuhan riil di desa-desa yang seharusnya menjadi prioritas utama, seperti infrastruktur dan ekonomi. Mengalihkan dana desa untuk kegiatan yang diragukan urgensinya, apalagi dengan indikasi adanya pihak-pihak yang mengambil keuntungan, dinilai sebagai langkah yang tidak rasional dan merugikan masyarakat.

Sumber Kegaduhan

Persoalan yang membuat gaduh ini, berawal dari pelatihan Linmas yang diselenggarakan Forum Reje Aceh Tengah. Uangnya bersumber dari rakyat, dana desa, Rp 5 juta untuk setiap desa. Panitia juga belum professional dalam mengelola kegiatan, menghasilkan kegaduhan.

Setelah ribut, panitia mengubah keputusan awal soal uang saku. Miris, ada peserta pelatihan tidak mendapatkan konsumsi. Pihak panitia justru menyebutkan miskomunikasi.

Ada 220 desa yang ikut ambil bagian dari 295 desa yang ada di sana. Nilai total mencapai Rp 1,1 miliar. Menurut ketua Forum Reje Aceh Tengah, Abdul Wahid, dalam keteranganya kepada media, mulanya hanya 160 kampung yang ikut dengan mengirimkan peserta 5 orang perdesa.

Namun pada hari H bertambah 60 desa lagi, dampaknya panitia kelabakan. Konsumsi kocar kacir, ada peserta yang tidak mendapatkan makan siang. Panitia hanya memberikan uang saku Rp 100 ribu untuk seorang peserta.

Aksi protes bermunculan dan menghasilkan kegaduhan. Setelah ricuh ahirnya panitia mengubah keputusanya soal uang saku, bukan Rp 100 ribu, namun Rp 200 ribu untuk seorang peserta. Perhitungan yang tidak matang, atau adanya permainan? Benarkah kepala desa dapat persen seperti dikatakan Alfian MaTA?

Kegiatan pelatihan ini ada keterlibatan pihak ketiga. Ada isu tekanan kepada para kepala desa, bila tidak mengikuti pelatihan ini, maka dana desa mereka akan diutak atik Aparat Penegak Hukum (APH), para reje akan berhadapan dengan hukum.

Dibawah tekanan, para kepala desa “terpaksa” menurut. Mengeluarkan uang desa Rp 5 juta dan mengirimkan Linmas untuk pelatihan. Ahirnya pelatihan ini menghasilkan kegaduhan.

Soal adanya isu tekanan dari pihak tertentu agar kegiatan ini dilaksanakan, dibantah oleh Abdul Wahid, ketua Forum Reje. Menurutnya tidak ada keterlibatan pihak ketiga atau tekanan Aparat penegak hukum.

Menurutnya dalam keterangan kepada media, biaya Rp 5 juta perdesa, dipergunakan untuk pelaksanaan pelatihan mulai dari menyiapkan konsumsi makanan dan souvenir lainnya.

"Pajak makanan itu besar pak. Ditambah lagi untuk kebutuhan lain seperti souvenir. Kita juga memberikan biaya transportasi para peserta Rp 200 ribu untuk kegiatan satu hari," sebut Wahid yang juga membantah keterlibatan pihak ketiga atau tekanan aparat penegak hukum (APH) dalam kegiatan pelatihan Linmas ini.

“Kami menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang timbul.Peristiwa ini tidak terlepas dari adanya miskomunikasi serta jumlah peserta yang membludak di luar perkiraan,” sebut Wahid.

"Biaya transportasinya sudah kita tambah menjadi Rp 200 ribu. Yang perlu diketahui, acara ini dari kita untuk kita, tidak ada niat untuk mencari keuntungan. Kegiatan pelatihan itu menindaklanjuti Surat Edaran Mendagri tentang pengaktifan Linmas dan pos Kamling,” sebutnya.

Apakah program pelatihan Linmas di Aceh Tengah merupakan titipan dan bentuk pemerasan kepada kepala desa? Akankah tabir ini terkuak? Publik menanti keseriusan APH, agar kasus ini clear.

Bila salah sesuai aturan, maka harus berhadapan dengan hukum. Namun bila kegiatan ini tidak melanggar aturan, para penyelenggara dapat menghirup udara kenyamanan, tidak dihukum publik sebagai penghabis uang rakyat. Bagaimana APH? ***


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bpka - maulid